(54) Alasan - Hatano

Request dari avira34

Fandom: Joker Game

Hatano x Reader

Happy Reading!

(Disarankan membuka video yang ada di media sambil membaca~)

.

.

.

( 1 )

Pagi ini cuacanya sangatlah enak, langit yang dipenuhi awan-awan putih dan sinar matahari yang terhalangi oleh awan-awan membuat suasana kota menjadi sejuk. Diantara kerumunan orang, terlihat seorang laki-laki sedang berjalan tanpa tujuan.

Hatano namanya.

Melihat sekelilingnya yang ramai oleh orang-orang membuat Hatano merasa sesak, sampai akhirnya dia melihat sebuah menara untuk melihat keseluruhan kota, yang tentunya berada di tengah kota. Melihat tidak ada yang menaiki menara (mungkin masih terlalu pagi untuk kesana), Hatano putuskan untuk menaiki menara—setidaknya dia tidak akan merasa sesak disana.

Begitu sampai di depan pintu masuk menara, Hatano meraih pintu masuk dan bersamaan dengan tangan seseorang. Menoleh ke pemilik tangan, Hatano melihat seorang perempuan dengan rambut (h/c) serta iris (e/c) yang ikut membalas tatapannya. Perempuan itu memakai baju kaos yang ditutupi jaket, celana jeans panjang dan sepatu sport.

"Em, halo," ucap perempuan itu mengangguk canggung.

Hatano membalas anggukan perempuan itu, "apa kau mau naik menara?"

Perempuan itu mengangguk, "kau juga? Bagaimana kalau naik bersama-sama?"

"Oh, boleh," jawab Hatano sekenanya—satu orang tidak akan merubah suasana disana, kan?

Hatano membuka pintu masuk, mempersilahkan perempuan itu untuk masuk dulu—dan menyusul masuk setelahnya.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau pergi ke menara? Masih terlalu pagi untuk melihat seluruh kota, kau tahu," ucap perempuan itu memulai pembicaraan, saat mereka memasuki lift.

Hatano meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya, "aku bisa katakan hal yang sama untukmu, nona. Aku hanya ingin menghindari kerumunan—itu saja."

Perempuan itu tertawa, "apa kau merasa sesak 'di bawah' sana?"

"Diam kau," sambar Hatano, sadar perempuan itu mengejek tinggi tubuhnya.

Balasan yang diterima hanyalah tawa yang sama, "aku ke menara untuk istirahat," ucap perempuan itu.

Hatano yang berada di belakang perempuan itu hanya bisa melihatnya menundukkan kepalanya.

"Ah, aku (Name)," ucap perempuan itu menoleh ke belakang, mengulurkan tangannya pada Hatano.

"Hatano," balas Hatano menyalami tangan (Name).

"Tugas kuliahku akhir-akhir ini sangat memberatkan, jadi aku ke menara untuk istirahat—menghirup udara pagi," ucap (Name).

Hatano langsung menebak usia (Name)—mungkin antara 17-21, yang jelas lebih muda darinya.

"Bagaimana denganmu?" tanya (Name) tidak menoleh ke arah Hatano.

"Hanya menghilangkan stress karena pekerjaan," jawab Hatano singkat.

"Eh, kau sudah bekerja!?" pekik (Name) tak percaya, "kupikir kau masih SMA atau kuliah sepertiku!"

"Berhenti mengejekku!" sambar Hatano.

Lift mengeluarkan suara 'ding!' pertanda mereka sudah sampai di lantai teratas menara. (Name) keluar bersama Hatano. Begitu pintu lift tertutup, (Name) berjongkok dan mulai melepas tali sepatunya.

"Apa yang kau lakukan?"

"Lebih enak saat berada di menara tanpa alas kaki, kau tahu," ucap (Name).

Tapi gerakan (Name) terhenti saat melihat seorang perempuan berambut (h/c) sedang berdiri di ujung menara.

—Siapapun yang melihatnya pasti tahu, perempuan itu akan melakukan bunuh diri.

"Hei, apa yang kau lakukan!? Hentikan itu!" teriak (Name) yang kini sudah berdiri, menarik perhatian perempuan yang memiliki warna rambut yang sama dengannya itu.

Perempuan itu menoleh ke arah (Name).

"Ya ampun, masih pagi juga," gerutu (Name) pelan dimana hanya Hatano yang bisa mendengarnya, "ada apa?"

Perempuan itu mulai membuka mulutnya.

"Aku pikir, aku akan bersama dengannya, kupikir dia mencintaiku. Ternyata aku salah, takdirnya bukan untuk bersamaku, melainkan dengan perempuan yang lain, dia mencintai perempuan lain," ucap perempuan itu bercerita panjang lebar.

(Name) menggertakkan giginya.

"Yang benar saja!? Kau datang lebih awal dariku yang ingin beristirahat ini hanya dengan alasan sepele seperti itu!?" bentak (Name) membuat Hatano menoleh ke arahnya dengan sedikit terkejut, "kau beruntung, tidak ada satu hal pun yang diambil darimu, ataupun sesuatu yang berharga diambil tepat di depan matamu."

Perempuan itu tampak terkejut dengan ucapan (Name), sebelum akhirnya tersenyum kecil dan kembali memasuki pagar pembatas menara.

"Aku merasa lebih baik setelah membicarakannya—terima kasih," ucap perempuan itu memasuki lift.

Suasana menjadi sunyi, sampai akhirnya (Name) menghela napas panjang.

"Haah, way to go to ruins my day," gumam (Name) sebelum akhirnya menoleh pada Hatano, "kurasa aku akan pulang, aku tidak mood untuk berada di sini sekarang," ucap (Name) kemudian kembali mengikat sepatunya dan pergi meninggalkan Hatano sendiri.

___

( 2 )

Keesokan harinya, Hatano kembali berada di depan pintu masuk menara—dan benar saja, di jam yang sama (Name) muncul. (Name) masih memakai jaketnya, dan jeans yang sama, yang membedakan hanyalah baju yang (Name) pakai.

"Ah, Hatano," sapa (Name) singkat, "kau kemari lagi?"

Hatano mengangguk singkat, "merokok di atas ternyata tidak buruk juga,"

"Eew, aku tidak suka bau rokok," komentar (Name), dan mereka berdua masuk ke dalam menara.

"Apa yang kau lakukan setelah meninggalkan menara?" tanya Hatano.

(Name) memasang pose berpikir, "mhm, hanya kembali ke rumah. Bagaimana denganmu?"

"Aku merokok di atas, setelah itu turun."

"Hee~"

(Ding!)

Pintu kembali terbuka, dan seperti yang dilakukan (Name) kemarin, dia mulai melepas ikatan sepatunya.

—Dan lagi-lagi, ada seorang perempuan disana, diluar pagar pembatas.

(Name) kembali berdiri dengan wajah tak senang.

"Hei, apa yang kau lakukan!?" pekik (Name)—dengan nada kesal kental di ucapannya.

Perempuan yang berdiri diluar pagar pembatas itu menoleh, menunjukkan iris (e/c) yang berlinang air mata.

"A-aku ingin pergi dari dunia ini! Tidak ada yang mau menemaniku di sekolah, aku merasa itu bukanlah tempatku—teman-teman menjauhiku, semua hakku diambil, aku di-bully!" ungkap perempuan itu menangis tersedu-sedu.

(Name) mengepalkan tangannya.

"Yang benar saja!? Kau datang lebih awal dariku yang ingin beristirahat ini hanya dengan alasan sepele seperti itu!?" bentak (Name) kembali membuat Hatano terkejut, "kau beruntung, masih ada orang tua yang mencintaimu—mereka sedang menunggumu di rumah! Apa kau sadar, saat kau berdiri disini, ibumu sedang membuat sarapan yang hangat dan enak untukmu, serta ayahmu yang sedang membaca koran—yang juga sedang menunggumu untuk berbicara bersamanya."

Perempuan itu kemudian menangis semakin keras, tapi kali ini bukanlah kesedihan. Setelah merasa tenang akhirnya perempuan itu tersenyum ke arah (Name) dan memasuki pagar pembatas menara.

"Aaah, sekarang aku lapar," ucap perempuan itu membersihkan air matanya, "aku merasa lebih baik setelah membicarakannya, terima kasih," ucap perempuan itu memasuki lift.

Déjà vu, itulah yang Hatano pikirkan.

"Ungh, sudah dua orang yang menghancurkan dua hariku berturut-turut," gerutu (Name), "ada apa dengan orang-orang akhir-akhir ini, apakah bunuh diri sekarang sedang viral?"

(Name) kembali mengikat tali sepatunya sebelum akhirnya menoleh pada Hatano.

"Aku akan pulang ... lagi," ucap (Name) menghela napas lelah, "kuharap kau tidak marah karena kutinggal dua kali."

Hatano menggeleng, "tidak apa-apa, tiap orang memiliki masalah mereka masing-masing."

Sudut bibir (Name) sedikit bergerak saat Hatano berbicara, sebelum akhirnya tersenyum kecil.

"Ya, kadang ada masalah yang tidak bisa kau ceritakan pada orang lain."

Hatano menoleh pada (Name) dengan sedikit penasaran. Ucapan (Name) barusan memiliki arti tersembunyi, kan?

"Kalau begitu aku pulang dulu, Hatano."

Hatano tersadar, dan saat dia menoleh ke arah (Name)—perempuan itu sudah berada di dalam lift, melambai kecil padanya.

'Apa perempuan itu—(Name), punya masalah?' pikir Hatano.

___

( 3 )

"Apa menara ini jadi tempat favoritmu untuk merokok?" itulah yang (Name) ucapkan pertama kali saat dia melihat Hatano sudah berada di depan pintu masuk menara.

"Dan kau sendiri? Masih kemari walaupun sudah 'gagal' dua kali?"

"Aku suka tempat ini, bahkan sebelum kau datang," jawab (Name) mengembungkan kedua pipinya tidak terima, dan mereka berdua memasuki lift.

"Ya, ya, terserah padamu," ucap Hatano singkat.

'Apa perlu kutanyakan, ada apa dengannya?' pikir Hatano bersandar di dinding lift.

"Hei (Name)."

"Hm?"

"... Tidak jadi."

"Mou, membuatku penasaran saja," gumam (Name) melirik kesal pada Hatano.

'Sebaiknya jangan, ya?'

(Ding!)

Pintu lift terbuka, dan kali ini (Name) tidak berjongkok untuk membuka tali sepatunya.

—Karena dia sudah melihat seorang perempuan berdiri di tempat yang sama dengan orang-orang sebelumnya, yang kali ini memiliki jaket yang sama dengan (Name) pakai, yang kini sudah terlipat rapi di pagar pembatas.

Hatano yang kini berdiri di sebelah (Name)—yang sebelumnya selalu berada di belakang (Name)—menoleh ke arah (Name) dan sedikit terkejut dengan ekspresi yang (Name) tunjukkan.

Bukan ekspresi kesal yang tampak, melainkan ekspresi syok.

Menyadari ada kehadiran orang lain, perempuan itu menoleh ke belakangnya. Kini Hatano tahu kenapa (Name) tampak terkejut. Dari lengan hingga kaki (dimana hanya memakai rok pendek) perempuan itu, penuh dengan luka lebab, luka sayat, plester dan perban, hampir menutupi seluruh bagian yang terlihat—setengah mumi, sepertinya.

Perempuan itu tersenyum kecil seolah sadar dengan tatapan syok (Name), "aku kesini, hanya berharap hal kecil, tidak perlu hal yang merepotkan—aku hanya ingin menghilangkan semua luka ini, yang bertambah tiap kali aku pulang ke rumah."

Kekerasan dari orang tuanya, itulah yang Hatano pahami dari ucapan perempuan itu.

"Kurasa, dengan melompat dari sini—aku tidak perlu mendapatkan luka ini saat pulang ke rumah," ucap perempuan itu kembali menghadap ke arah kota—siap untuk melompat.

"N-nee, berhentilah, kumohon."

Hatano menoleh ke arah (Name), dan melihat mata (Name) yang sudah berkaca-kaca, siap untuk meneteskan air mata kapanpun. Tangan (Name) gemetaran, yang kemudian (Name) letakkan keduanya di depan dadanya. Perempuan tadi menoleh ke arah (Name), memberikan tatapan kosong padanya.

"Apa yang harus kulakukan?" bisik (Name)—yang sepertinya hanya untuk dirinya sendiri.

Hatano hendak menjawab, tapi kemudian (Name) menatap perempuan itu.

"Aku tahu, aku tidak berhak menghentikanmu—aaah, mou! Pergilah dari sini!" pekik (Name) memejamkan matanya dan sedikit menunduk, "melihatmu hanya membuat dadaku terasa sesak dan sakit!"

Iris Hatano melebar, baru kali ini dia melihat sosok (Name) menjadi berantakan seperti ini, walaupun baru 3 hari mereka bertemu. Perempuan itu kemudian tersenyum, memakai jaketnya lalu memasuki pagar pembatas.

"Kurasa bukan hari ini," ucap perempuan itu berjalan melewati (Name), "tapi terima kasih, sudah menghentikanku."

Setelah perempuan tadi memasuki lift, suasana kembali sunyi. Tapi sunyi kali ini bukanlah sunyi yang membuat nyaman, melainkan sunyi yang diam-diam membuat sesak.

"Aku pulang," ucap (Name) singkat sebelum akhirnya berjalan ke lift.

'Kurasa ... (Name) harus menceritakan masalahnya.'

___

( 4 )

Aneh.

Harusnya (Name) sudah berada disini 10 menit yang lalu. Tapi disinilah Hatano, berdiri di depan pintu masuk menara—menunggu kedatangan (Name).

"Apa dia sudah menemukan tempat yang lebih baik?" gumam Hatano.

Tanpa pikir panjang, Hatano akhirnya memasuki lift dan menekan nomor teratas. Suasana jadi aneh saat tidak ada (Name).

Hatano rasa dia harus menarik kata-katanya dua hari yang lalu, bahwa satu orang tidak akan merubah suasana.

(Ding!)

Lift terbuka, dan Hatano berjalan keluar lift.

Dan betapa terkejutnya Hatano saat melihat (Name) berdiri diluar pagar pembatas.

Kali ini (Name) memakai celana pendek dan baju kaus putih, serta jaketnya sudah terlipat di pagar pembatas. Kini Hatano dapat melihat sesuatu yang membuatnya merasa déjà vu—tubuh (Name) dipenuhi luka, sama seperti perempuan kemarin, tapi lebih parah dan ... menakutkan.

"Hei," ucap (Name) masih fokus ke arah kota, "10 menit menunggu kedatanganku ya?"

"Apa ... yang kau lakukan?" tanya Hatano.

Akhirnya (Name) menoleh ke arah Hatano, dimana ada perban di pipi dan matanya.

"Aku ingin istirahat ... selamanya."

"... kenapa?" tanya Hatano.

(Name) memejamkan matanya, berpikir sejenak sebelum akhirnya sebuah senyum terukir di wajahnya.

"Alasan pertama, pacarku selingkuh di depanku, dan sahabatku direbut oleh perempuan yang sama," ucap (Name) memulai, "alasan kedua, aku dijauhi di kelas, teman-teman mengira akulah yang selingkuh, dan sahabatku mulai mem-bully-ku, aku merasa tidak berhak berada di kelasku sendiri," sambung (Name), "alasan ketiga, orang tuaku selalu memperlakukanku dengan ... buruk. Setiap kali aku pulang, aku selalu dipukuli, dan dilempar botol bir oleh mereka berdua."

Kemudian (Name) membuka matanya, menunjukkan iris matanya yang tidak menunjukkan cahaya kehidupan, melainkan warna (e/c) yang suram.

"Apa itu alasan yang cukup?" tanya (Name).

Hatano hanya diam, dan itu membuat (Name) terkekeh lalu kembali menghadap kota.

"Terima kasih sudah menemaniku, Hatano."

___

(A/N)
Terinspirasi dari lagu vocaloid: Watashi no R (My R) by Hatsune Miku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top