(36) Ragu - Akabane Karma

Request dari Kurogane_Luna

Fandom: Ansatsu Kyoushitsu

College!Karma x College!Reader

Happy Reading!

"Bagaimana kabarmu, (Name)-chan?"

"Aku baik-baik saja, Karma."

"Hee, apa ada kejadian menyenangkan yang terjadi?"

Perempuan berambut (h/c) itu menyelipkan rambutnya di belakang telinganya, kemudian tersenyum kecil.

"Aku kalah pada pemilihan ketua BEM* dari Gakushuu, yang membuatku jadi wakil ketua dan dia sebagai ketua," jelas (Name) kemudian fokus ke depan, "lalu, bagaimana denganmu, Karma?"

(*BEM = Badan Eksekutif Mahasiswa, sejenis OSIS tapi tingkatannya di Universitas)

Laki-laki yang ditanya tersebut hanya bisa menghela napas, kemudian tersenyum.

"Seperti biasa, membosankan," jawab Karma, "oh, ngomong-ngomong BEM, aku menjadi ketua BEM."

Iris (Name) melebar, "benarkah? Selamat ya Karma!" ucapnya dengan senang.

Tapi kemudian senyum (Name) luntur dari wajahnya.

"Jadi," ucap (Name) memulai, "kau akan semakin sibuk dari sekarang, huh?"

Karma hanya tersenyum seperti biasa.

"Kau juga begitu kan? Walaupun wakil, tapi tetap saja kau sibuk."

Tangan Karma kemudian terangkat, tapi kembali dia turunkan.

"Ayolah (Name), jangan pasang wajah sedih seperti itu," ucap Karma, "jika tidak karena jarak dan sekarang kita hanya bertemu lewat Skype, aku mungkin sudah memelukmu."

Ya, kini kedua pasangan itu hanya berhubungan lewat video Skype.

(Name) mengulas senyumnya kembali, "baiklah."

"Nah, begitu dong," ucap Karma, "walaupun kita sedang LDR-an, aku akan tetap menghubungimu tiap malam—yang mungkin mulai sekarang akan ditemani laporan BEM."

"Kau tahu, aku mungkin saja juga punya laporan yang sama, Karma," sahut (Name) sedikit tertawa.

"Mungkin saja, tapi aku rasa Asano bukan tipe pemberi masalah pada orang lain, walaupun itu adalah wakilnya sendiri," komentar Karma.

"Hm, pengalaman pernah menjadi wakil Gakushuu saat SMA?" tanya (Name).

Karma memutar bola matanya, "kau sendiri menjadi bendahara saat kita SMA, kan?"

"Oh, kalau diingat-ingat, kau selalu kabur saat Gakushuu menyuruhmu melakukan sesuatu," ucap (Name).

"Hei, kenapa kau menjelek-jelekkanku? Apa kau berada di pihak Asano sekarang?"

"Hm, apa kau cemburu?" tanya (Name).

"Mungkin."

"Kita sudah berpacaran selama hampir 4 tahun, kau masih ragu padaku, Karma?" tanya (Name).

"Ingin rasanya aku menjitakmu lalu menciummu, (Name)," ucap Karma, "kau itu cantik, bukannya wajar aku was-was karena aku tidak bersamamu?"

Pipi (Name) sedikit memerah saat mendengar ucapan Karma, "a-aku tidak pernah terbiasa dengan ucapan blak-blakanmu, Karma."

"Kau tidak perlu terbiasa~" ucap Karma, "melihat reaksimu itu tidak pernah membuatku bosan."

(Name) mengerutkan alis, kemudian teringat sesuatu.

"Lalu bagaimana denganmu, Karma?"

"Huh?"

"Kau hampir tidak pernah menceritakan kehidupan kuliahmu sejak awal. Sementara aku, sepertinya tidak ada yang kurahasiakan padamu, Karma," ucap (Name) memasang wajah sedih, "apa kau tidak mempercayaiku untuk menceritakan hal seperti itu?"

Karma hanya tersenyum sedih, kemudian menggeleng pelan.

"Bukannya aku tidak ingin mempercayaimu, tapi aku tidak mau kau stress karena urusanku."

"Tapi aku menceritakan semuanya padamu," sahut (Name).

"Itu agar kau tidak stress, menahan semuanya sendiri. Kau tinggal sendiri, ingat?"

"Begitu juga denganmu," gumam (Name).

"Aku sudah biasa sejak SMP, (Name)."

(Name) mengembungkan kedua pipinya, membuat Karma terkekeh kecil.

"I'm the man in the relationship, (Name). Tidak lucu jika aku justru membuatmu stress, benar?"

(Name) hanya menghela napas, lalu tersenyum pada Karma.

"Baiklah, aku tidak akan bertanya," ucap (Name).

"Bagus. Sekarang aku harus mengerjakan tugas kuliahku, sampai nanti, (Name)."

Video Skype dimatikan, membuat senyum (Name) hilang.

"Aku bahkan belum mengucapkan selamat malam padanya," gumam (Name) menyentuh layar laptopnya.

Kemudian (Name) meletakkan tangannya di depan dadanya—dimana perasaan sesak sedikit dia rasakan, (Name) kembali menghela napas, mematikan laptopnya dan pergi tidur, mengingat dirinya tidak memiliki tugas seperti Karma.

___

"(Name), kau melamun lagi."

"Eh?" (Name) berkedip beberapa kali, kemudian menoleh ke sebelahnya dimana Gakushuu sedang menatapnya sambil bertopang dagu.

"Apa yang dipikirkan oleh kepala cantikmu itu?"

Pipi (Name) memerah saat mendengar pertanyaan Gakushuu, kembali fokus pada bukunya yang ada di atas meja. Sementara Gakushuu kembali fokus pada bukunya juga.

"Berhenti berkata seperti itu, Gakushuu," ucap (Name), "kau tahu aku pacaran dengan Karma."

"Tahu kok," jawab Gakushuu singkat, "tapi apa itu artinya kau akan mengabaikan perasaanku padamu?"

(Name) hanya tampak ragu untuk menjawab, sebelum akhirnya menoleh pada Gakushuu—membuat laki-laki itu membalas tatapannya.

"Kupikir kau sudah tidak menyukaiku lagi," komentar (Name) canggung, "aku sudah menolakmu saat acara kelulusan waktu SMA, kan?"

"Ya, kau sudah menolakku," sahut Gakushuu, "dan aku ingin klarifikasi sesuatu. Aku tidak menyukaimu, aku mencintaimu, (Name)."

(Name) langsung berdiri dari bangkunya dan mengambil semua bukunya.

"Aku tidak suka dipermainkan seperti ini Gakushuu," gumam (Name) dengan sorot mata sedih, "kau tahu statusku, kau sudah ditolak dan kenapa kau justru mengatakan hal seperti ini?"

(Name) berjalan menjauhi Gakushuu, tapi terhenti saat Gakushuu memegang pergelangan tangannya.

"Kau tidak lupa agenda BEM besok kan?"

"Kunjungan ke universitas lain? Ya, aku ingat—aku sudah mendapat surat perintah dari universitas," jawab (Name), "sekarang—aku permisi," gumam (Name) membuat pegangan Gakushuu terlepas darinya.

Sementara Gakushuu hanya terdiam melihat (Name) menjauh darinya, kemudian melihat tangannya yang menggegam pergelangan tangan (Name). Tak lama kemudian Gakushuu mengepalkan tangannya, kemudian kembali fokus pada lembaran-lembaran yang ada di atas meja.

"Laki-laki macam apa kau, yang berani membuat perempuan seperti (Name) melamun, Akabane?"

___

(Name) menjejakkan kakinya ke tanah, setelah beberapa jam perjalanan dari universitas mereka.

"Gakushuu, apa sulitnya mengatakan tujuan kita?" tanya (Name) menoleh ke belakangnya, dimana dia melihat Gakushuu yang sedang melangkah turun dari bus yang mereka naiki selama perjalanan.

"Kau akan tahu saat kita sampai, bukannya jawabanku begitu?" sahut Gakushuu, "sekarang kita sudah sampai, kau bisa lihat sendiri universitas apa ini, kan?"

Perhatian (Name) yang awalnya terfokus pada Gakushuu akhirnya berpindah ke depan, dan iris (Name) melebar saat dia melihat nama universitas yang mereka kunjungi.

"Sepertinya kita datang terlalu pagi," ucap Gakushuu berdiri di sebelah (Name), "aku akan pergi berkeliling sebentar, apa kau mau ikut, (Name)?" tanyanya kemudian.

(Name) terdiam, sebelum akhirnya mengangguk singkat.

"Kupikir kau akan menemui Akabane?" tanya Gakushuu mulai berjalan memasuki lingkungan universitas, dengan (Name) mengikuti di sebelahnya.

"Dia bahkan tidak tahu kalau aku akan kunjungan kesini—well, aku sendiri tidak tahu kalau kunjungan kita akan kesini," jawab (Name), diam-diam mengepalkan sebelah tangannya.

Gakushuu yang menyadari kepalan tangan (Name) hanya bisa menghela napas, "baiklah," ucap Gakushuu, "jangan melakukan ini hanya karena kau wakilku, oke?"

(Name) hanya mengangguk, "aku hanya ingin ada orang yang kukenal berada dalam pandanganku."

"Huh, (Name)-san?"

(Name) berhenti, begitu juga dengan Gakushuu. (Name) menoleh sumber suara yang sangat (Name) kenali.

"Nagisa-kun?" sahut (Name) sedikit terkejut, melihat laki-laki berambut biru yang sudah dia kenal sejak SMP.

"Apa yang kau lakukan di...sini?" Nagisa langsung canggung saat menyadari tatapan datar dari Gakushuu.

"Proker dari universitasku," jawab (Name), "ngomong-ngomong Nagisa, apa yang kau lakukan disini?"

(*Proker = Program Kerja)

"Hm, aku kuliah disini, kau tidak tahu?" sahut Nagisa.

(Name) menggeleng, "bagaimana aku bisa tahu? Kita lost contact sejak SMP kan? Karena kau masuk SMA yang berbeda denganku."

Nagisa hanya tersenyum, "kurasa selama beberapa tahun terakhir Karma tidak pernah membicarakanku padamu," ucap Nagisa.

Seketika senyum (Name) luntur, bersamaan munculnya perasaan sesak yang dia rasakan tempo hari. (Name) tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya menatap Nagisa.

"Em, Nagisa-kun, apa kita bisa ke café? Banyak hal yang ingin kubicarakan padamu," ucap (Name).

"Aku bisa saja karena kelasku nanti siang, tapi—" Nagisa tampak tidak nyaman saat menoleh ke arah Gakushuu yang diam.

Gakushuu yang menyadari maksud Nagisa hanya bisa mendengus pelan.

"Kembalilah saat reuni kalian selesai, aku juga bisa sendiri jika berhadapan dengan BEM universitas ini," ucap Gakushuu pada (Name), "oh, jika reuni kalian sampai malam—langsung saja ke hotel tempat kita menginap, kau tahu tempat dan bagaimana caranya ke sana, kan? Oh, kau juga ingat kamar hotelmu, kan? Bersebelahan dengan kamarku—"

"Kamar nomor 24 lantai 6, sedangkan kamarmu nomor 25," potong (Name) tapi kemudia dia mengerutkan alisnya, "lalu tujuanku sebagai wakilmu apa? Berikan aku batas waktu pasti, jika tidak aku akan keterusan, dan bisa membantumu."

"Lebih baik begitu," gumam Gakushuu, namun tidak cukup keras untuk didengar (Name).

"Huh?"

"Jika kuberi batas, lebih baik kau tidak perlu reuni sama sekali," ucap Gakushuu.

(Name) mengembungkan kedua pipinya, "fine! Jangan salahkan aku jika aku tidak ada sampai urusanmu selesai," gerutu (Name).

"Hei, sebenarnya tanpamu pun aku bisa melakukannya," sahut Gakushuu memandang remeh (Name), "membawa wakil adalah formalitas bagi ketua, ingat?"

"Tch, aku membencimu," sambar (Name) ngambek.

"Tapi aku mencintaimu, (Name)," balas Gakushuu disusul seringai khasnya.

Wajah (Name) seketika menjadi merah, namun (Name) hanya memutar tubuhnya lalu berjalan menjauh dari Gakushuu, tak lupa menyeret Nagisa. Gakushuu yang ditinggal hanya bisa memutar bola matanya lalu melanjutkan langkahnya.

___

"Sudah lama sekali ya?" gumam (Name) menyesap minuman yang sudah tersisa setengah.

Begitu sampai di café terdekat, (Name) langsung masuk ke dalam café tersebut—dengan Nagisa yang masih diseret oleh (Name). Setelah memesan minuman dan makanan ringan, (Name) mulai menceritakan banyak hal pada Nagisa, mulai dari kegiatan selama SMA hingga kegiatannya kuliah. Dan disinilah mereka, setelah puas bercerita tentang satu sama lain.

"Oh iya (Name)-san, karena kau sudah jauh-jauh kemari bukannya seharusnya kau menemui Karma-kun. Maksudku, dia pacarmu, kan?" tanya Nagisa.

(Name) berhenti minum, dan merasakan kembali rasa sesak seperti sebelumnya. Setelah beberapa saat akhirnya (Name) menurunkan gelasnya, dan menatap Nagisa yang memperhatikannya dengan heran.

"Mhm, mungkin nanti saja," jawab (Name) melirik ke arah lain, "maksudku—dia ketua BEM dan aku...," (Name) berhenti dan hanya bisa menghela napas panjang.

Nagisa yang melihat ini pun hanya bisa mengerutkan alis dengan heran.

"Apa kalian ada masalah?" tanya Nagisa mencoba melakukan kontak mata dengan (Name).

Pundak (Name) langsung menegang, dan perempuan itu semakin menghindari kontak mata dengan Nagisa.

"Sepertnya masalahnya ada padaku," gumam (Name) pada akhirnya, dan melakukan kontak mata dengan iris biru Nagisa.

"Apa kau mau bercerita?" tanya Nagisa kembali.

"Aku tidak tahu kalau ini pantas diceritakan," jawab (Name), "bagaimana kalau dengan Karma, apa kau bisa menceritakan sesuatu padaku, Nagisa-kun?"

"Bukannya lebih baik kalau kau bertanya pada Karma-kun—" Nagisa berhenti berbicara, membuat (Name) menoleh ke arahnya dengan sedikit heran.

"Nagisa-kun?" karena tak mendapat respons berarti dari Nagisa, akhirnya (Name) mengikuti arah pandangan sang laki-laki.

Dan iris (Name) melebar saat melihat Karma bersama... seorang perempuan.

Lalu (Name) teringat, perempuan itu adalah salah satu murid kelas 3-E, Okuda Manami. Tangan (Name) kembali ke dadanya, karena rasa sesak yang sama kembali dia rasakan.

'Perasaan ini lagi,' batin (Name) menunduk

"Belum selesai juga, reuninya?"

(Name) mengangkat kepalanya dan melihat Gakushuu sedang menatapnya.

"Apa rapatnya sudah selesai?" tanya (Name) menyunggingkan sebuah senyum di wajahnya.

"Sudah, dan aku kemari bersama Karma serta wakilnya," jawab Gakushuu duduk di kursi yang kosong.

"(Name)~"

(Name) meneguk ludahnya perlahan, 'ini dia.'

"Halo, Karma," balas (Name) berdiri dari kursinya lalu mendekati Karma.

(Name) kemudian mengangkat kedua tangannya, berharap pelukan kecil dari Karma.

"Oh iya, (Name). Aku belum memperkenalkan wakilku padamu, kan?" tanya Karma kemudian menoleh Okuda yang tampak gugup sendiri, "berbeda dengan universitas kalian, disini kami menggunakan pasangan untuk mencalonkan diri. Aku ketua dan Manami wakilnya~"

(Name) menekan kedua bibirnya—mencoba mempertahankan senyumannya, dan perlahan menurunkan kedua tangannya.

"H-halo, (Surname)-san," sapa Okuda, "Karma-kun banyak bercerita tentangmu."

'Sudah menggunakan nama pertama, ya?' (Name) menutup matanya, 'yaah, mereka sudah dekat dari SMP, walaupun SMA sempat lost contact.'

(Name) mengigit bagian bawah bibirnya, rasa sesak di dadanya semakin jadi—semakin sakit.

Ingin sekali rasanya (Name) menangis sekarang, demi melampiaskan rasa sakitnya.

'Aku harus pergi, jika tidak—' (Name) mulai merasakan pandangannya menjadi buram, '—aku akan menangis di depan mereka.'

Karma yang tidak mendengar sepatah kata pun dari (Name), akhirnya menoleh ke arah (Name) yang menunduk—dengan wajah yang tertutupi oleh rambut (h/c)nya.

"(Name)—"

Karma tak menyelesaikan ucapannya, karena (Name) sudah berjalan dan meninggalkan mereka semua tanpa mengucapkan apa-apa. Iris mata Karma melebar saat melihat (Name) mengusap singkat matanya—mengusap air mata yang akan jatuh.

Secara refleks kaki Karma langsung bergerak untuk mengejar (Name).

'Bahkan suaraku akan terdengar aneh jika aku berbicara,' pikir (Name) terisak-isak, mengangkat kepalanya dan melihat sebuah tempat pemberhentian taksi di depannya—membuat langkah cepat (Name) berubah menjadi lari kecil.

"(Name)!!"

Tubuh (Name) tampak menengang sesaat—dan itu membuat (Name) jadi berlari semakin cepat. Begitu sampai di tempat pemberhentian, (Name) melihat ke arah jalan dan melihat sebuah taksi sedang menuju ke arahnya—tanda jeputannya akan datang dan membuat (Name) lega.

Tapi tubuhnya kembali menegang saat ada yang memegang bahunya dan memutar tubuhnya—yang tak lain adalah Karma sendiri.

"Hei, kenapa kau menangis?"

"A-aku tidak ingin membicarakannya sekarang," gumam (Name) terisak-isak.

Karma menarik napas singkat, kemudian mengangkat kepala (Name) dengan meletakkan kedua tangannya di kedua sisi kepala (Name).

"Pasti ini salahku," ucap Karma singkat—menatap mata (Name) langsung.

Iris mata (Name) melebar, dan dia langsung menepis kedua tangan Karma—serta langsung masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya.

"Tolong ke Hotel Hanabi, tuan," ucap (Name) singkat.

Lalu (Name) merasakan handphone-nya bergetar—tanda sebuah panggilan datang. (Name) tahu siapa yang menelponnya, dan (Name) menjawab panggilan itu.

"Karma," ucap (Name) mendahului Karma, "a-aku merasa kacau hari ini, s-setelah semua ini. Aku tidak mau diganggu—terutama olehmu."

"Jelaskan padaku, (Name). Aku tidak tahu dimana letak kesalahanku jika tidak kau beritahu."

Tangan (Name) yang bebas kemudian meremas bagian depan bajunya, dimana rasa sesak yang tak kunjung hilang berada.

"Kau tidak pernah menceritakan kehidupanmu padaku, Karma," ucap (Name), "aku tahu kau tidak ingin membebaniku—tapi inilah efeknya, aku jadi ragu."

"Ragu...? (Name), kau tidak berencana untuk—"

"Aku tidak bisa menghilangkan perasaan curiga ini semenjak kita kuliah, Karma," potong (Name) dengan air mata yang kembali mengalir, "dan perasaan curiga ini membuatku sulit bernapas—sesak di dadaku ini tidak bisa kuabaikan begitu saja."

(Name) menarik napas singkat, kemudian tersenyum sedih.

"Aku ingin percaya kau akan membantah kalau kau ada rasa khusus pada Okuda-san," ucap (Name), "tapi saat melihat kalian menggunakan nama pertama satu sama lain, dan mengingat ucapanmu saat SMP dulu, bahwa Okuda-san adalah orang yang enak diajak bicara olehmu—membuat kepercayaanku goyah, Karma."

"(Name)...."

"Aku hanya ingin kebahagiaan, Karma," sambung (Name), "bukan rasa sesak ini."

(Name) mengigit bagian bawah bibirnya dengan kuat—sampai sedikit berdarah.

"Kumohon Karma, aku ingin menghilangkan rasa sesak ini—dan kebahagiaanmu."

"Lepaskan aku, Karma."

"Akhiri hubungan ini."

"Kumohon...."

Tanpa basa-basi, (Name) langsung mematikan handphone-nya. Air matanya kini sudah mengalir deras, namun tidak ada suara yang keluar dari mulut (Name).

Karena rasa sesak yang ada justru semakin sakit—membuat (Name) kesulitan bernapas.

'Tidak apa-apa,' batin (Name) mengepalkan kedua tangannya, 'ini pilihan terbaik untuk kami berdua. Rasa sesaknya akan hilang...'

Senyum sedih terukir di wajah (Name).

"Aku akan baik-baik saja."

___

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top