[CS] Fri(end) - 1
Hoax kalau persahabatan cewek dan cowok tidak diganggu setan TTM. Apalagi kalau mereka begitu dekat sampai kayak pranko. Meski bertengkar tiap hari dan saling hujat menjadi hobi, faktanya cinta hadir karena terbiasa.
"DILHAAAAM!" Jeritan menggelegar seorang cewek berpipi tembam membuat penduduk kelas XI-IPS 1 jantungan berjamaah.
"GERHANA! Lo kalau mau teriak-teriak sana aja di hutan, biar jadi Tarzan sekalian!" balas Chacha yang duduk di meja dekat pintu masuk. Di antara yang lain, dia memang paling kaget.
Gerhana nyengir lebar selama beberapa detik, sebelum kemudian wajahnya berubah horor. Napasnya masih memburu, badannya masih gerah karena berlari dari gerbang masuk ke kelas yang ada di lantai dua. Semua itu dilakukan demi meledakkan amarahnya pada sang sahabat.
"Memang sahabat luknut lo! Lo tega banget ninggalin gue! Udah mah gue nungguin lo sampe lumutan di rumah!" amuk Gerhana begitu berdiri di depan meja Dilham.
"Tolong, tolongin gue, woy!"
Bukan, Dilham bukan minta tolong agar dirinya terbebas dari amukan Gerhana, melainkan hero-nya tengah dalam bahaya karena dikepung musuh.
"Yaaaah!" Cowok itu setengah melempar ponsel ke meja dengan tampang dongkol. "Lo tega banget sih!" Dia memukul bahu Dika, teman mabarnya.
Dika tidak menyahut karena sedang fokus push di detik-detik terakhir.
"Victory!"
Suara dari ponsel itu membuat mereka langsung bersorak bahagia.
"Aaa! Sakit, sakit, sakit!" teriak Dilham begitu Gerhana menjambak rambut ikalnya dengan gemas.
"Apa? Apa lo?" tantang Gerhana sambil memelotot garang.
Dika beringsut menjauh, takut kena amuk cewek beraroma vanila itu.
"Lo punya hape, kan? Kalo lo gak bisa jemput gue, KABARI BEGO! Jangan bikin gue nunggu. Ngeselin tau gak! Gue sampe hampir kesiangan gara-gara sahabat laknat kek lo!" amuk Gerhana. Tunggu! Dia belum selesai mengeluarkan unek-uneknya.
"Terus sekarang, lo malah asyik-asyikan mabar pas gue marah. Lo tuh ya ....!" Cewek itu memejamkan mata dan mendengkus.
Dilham masih duduk manis di kursinya, tentu dengan tangan Gerhana yang masih menjambak rambutnya. Saat cewek itu marah, dia cuma bisa diam saja.
Siswa yang lain cuek bebek, sudah terbiasa melihat KDRT dalam hubungan sepasang sahabat itu.
"Lagian lo kemarin ngeselin sih. Maksa mabar malah jadi beban," celetuk Dilham setelah memastikan Gerhana tidak akan bicara lagi.
Sepasang mata bulat cewek itu berkilat marah pada Dilham.
"Eh, eh, Pak Asep masuk!"
Bisik-bisik siswa menyelamatkan Dilham dari amukan Gerhana. Cewek itu melepas tangannya setelah kembali menjambak Dilham. Kemudian, beranjak melangkah ke meja paling pojok.
"Minggir lo!" titahnya pada cowok yang baru mengeluarkan buku.
"Lah, kamu kan duduk sama Dilham, Ge," protes cowok itu.
"Suka-suka gue lah, Asep! Sana lo!"
Di depan kelas, Pak Asep mengernyit dan menatap penasaran pada salah satu muridnya yang berisik itu.
Hmm, nasib nama pasaran, bikin salah paham. Dia sempat menduga bahwa Gerhana telah bersikap tidak sopan padanya, tetapi ternyata Asep yang dimaksud cewek itu orang lain.
***
"Neng, ojek, Neng?"
Gerhana mendongak kemudian melayangkan tatapan sinis. Dia tidak menyahut, memilih kembali berjalan sambil main ponsel.
Dilham tidak menyerah, terus melajukan motor secepat langkah Gerhana.
Angin bertiup dingin kala itu, sementara langit mulai dihiasi gumpalan awan kelabu. Dedaunan berjatuhan, sampah-sampah di jalanan makin berserakan akibat tertiup angin.
"Neng-"
"MAAF, ANDA SIAPA, YA?" Gerhana berteriak tepat di depan muka sahabatnya.
"Ludah lo muncrat, woy!"
Gerhana menjitak helm Dilham. "Sembarangan kalo ngomong!"
"Ih, bau!" Dilham malah tidak peduli dengan kemarahan cewek itu.
"Sialan!" bentak Gerhana. Dia kembali melangkah dengan kedua kaki yang dientakkan.
Dilham tertawa pelan. Tingkah Gerhana saat marah benar-benar lucu, makanya dia senang sekali kalau memancing amarah cewek itu.
Cowok itu meraba dadanya. Ada detak yang makin cepat di dalam sana. Kembali dia tersenyum tipis, kemudian menyalakan motornya.
"Naik! Kalau mau hujan-hujanan terus kesamber geledek sih ya tinggal jalan aja."
Gerhana menatap Dilham dengan sengit. Bibirnya makin terkatup rapat. Dia makin dongkol dengan tingkah dan ucapan cowok yang sudah menjadi sahabatnya sejak mereka kecil.
"Gak mau, ya?" simpul Dilham. Dia tampak berpikir, sebelum akhirnya melihat kemunculan Dika.
Setahunya, tadi cowok itu ke sekolah naik angkot karena motornya sedang dibengkel.
"Oy, Dik! Jalan lo?" Dilham melambai.
Gerhana menatap sinis. Apa-apaan cowok itu?
Dilham menyalakan motor dan putar balik. Daripada menunggu cewek yang ngambek, sementara hari akan hujan, dia lebih baik segera pulang, kan? Ego cewek lama-lama akan luluh kalau dibiarkan, begitu menurutnya.
Mulut Gerhana terbuka lebar-lebar begitu cowok itu berhenti di depan Dika. "Dasar sahabat bangsul!" makinya.
Kedua cowok itu sudah berlalu. Dilham sempat-sempatnya menyalakan klakson saat melewati Gerhana.
"Bye!"
"Setaaan!" Dan Gerhana pun mengabsen semua hewan yang ada di kebun binatang untuk meluapkan amarahnya.
Gerimis mulai turun, langit makin menghitam. Dika dan Dilham terjebak di lampu merah.
"Lo katanya cinta sama si Gerhana, kok tega banget ninggalin dia," celetuk Dika yang bosan menunggu balasan chat dari pacarnya.
"Hah, apaan? Knalpot motor lo mau diganti?"
Dika menjitak helm Dilham. "Ngalihin pembicaraan aja kebiasaan lo. Itu nyali lo segede apa sih, sampe ngadepin cewek satu aja kek banci," cibirnya tidak tanggung-tanggung.
Seminggu lalu, Dika memang mendengarkan curhatan teman mabarnya itu. Meski tidak mengatakan secara langsung, Dilham mendeklarasikan bahwa dia telah jatuh cinta pada sahabatnya.
"Cinta? Gak mungkin deh. Kami akan jadi sahabat selamanya."
"Sahabat sehidup semati, serumah setangga," sindir Dika.
Lampu sudah berganti hijau. Dilham melajukan motornya, tetapi kemudian berhenti di pinggir jalan.
"Lo bisa turun? Kasihan si Gerhana kalau sampe kehujanan."
Meski merasa bangga, Dika tetap menggerutu juga. "Bucin lo ngerugiin gue," omelnya.
"Tenang, gue ganti rugi dengan gendong lo sampe ke mythic."
Kemudian, Dilham memacu motornya ke arah sekolah.
Ternyata Gerhana sedang duduk sendirian di bawah pohon. Dia memeluk lutut dengan kepala menunduk. Samar-samar terdengar tangisan.
Dilham berhenti tepat di depannya. "Ayo, naik!" titahnya.
Namun, cewek itu tetap diam.
Dilham mengernyit, menyadari bahwa ada yang aneh pada sahabatnya. Dia pun mematikan mesin motor lalu melepas helm. Terdengarlah olehnya tangisan cewek itu.
Bergegas Dilham turun dan menghampiri sahabatnya. Dia panik saat mengetahui bahwa cewek itu tengah menangis, dan ... bisa jadi itu karenanya.
"Ge ..., kamu ...." Dilham bingung harus mengatakan apa. Dia memilih duduk di samping cewek itu.
Gerhana mengangkat kepala. Terlihatlah sepasang matanya yang memerah dan terus mengeluarkan air. "Jahat banget sih lo!"
Tidak tahu harus menjawab apa, itu yang dirasakan Dilham. Dia tidak menyangka kejailannya akan membuat cewek itu menangis. Karena biasanya setelah melakukan satu kejailan, yang ada mereka akan perang.
Jangan-jangan ....
"Jahat banget sih lo, Dilham! Jahat, jahat, jahat! Lo pikir gue cewek apaan, hah? Lo tinggalin gue gitu aja, dua kali lagi! Belum lagi, lo tuh jadi cowok, kalo abis bikin salah, punya rasa bersalah kek! Dingin banget lo, kek kulkas! Kulkas mah enak bisa dipake dan ngasilin duit, lah lo cuma jadi beban aja!"
Gerhana mengomel panjang lebar sambil menangis. Dilham malah merapikan duduk dan mendengarkan dengan baik. Malah dia mengangguk-angguk, seolah-olah omelan Gerhana adalah ceramah.
Hujan akhirnya turun, tetapi Gerhana masih belum puas mengomeli sahabatnya. Tangisannya disembunyikan air hujan.
Sekarang Gerhana mengomel karena barang-barang miliknya akan basah, termasuk buku dan ponsel.
"Makanya, aku bilang juga tadi kita buruan pulang."
Satu kalimat dari Dilham menyulut amarah Gerhana. Dengan cepat tangan kanannya mencapit telinga Dilham. "Nggak peka banget sih jadi cowok! Gue tuh masih kesel, masih pengin ngomelin sampe telinga lo robek!"
Dilham angguk-angguk. Selama Gerhana pakai gue-lo, berarti emosinya belum mereda.
Benar saja, Gerhana kembali mengoceh panjang lebar sambil menangis. Dia membahas apa saja, bahkan sampah yang mengambang di depan mereka pun jadi bahan baru untuk omelan cewek itu.
Sepertinya dugaannya benar, bahwa Gerhana tengah memulai masa bulanannya. Karena apa pun akan menjadi salah di depan cewek yang sedang datang bulan.
"Udah ngomelnya? Kita makin basah kuyup kalau terus di sini." Dilham berujar sambil memeluk Gerhana.
Dia bukan cari kesempatan. Memang begitulah cara menenangkan cewek di dalam pelukannya ini.
Dia sudah mengamankan tas mereka dengan mantel, sementara motornya masih di tempat semula, dibiarkan kehujanan bersama mereka. Toh, motor tidak akan demam kan, meski kehujanan atau kepanasan.
Emosi Gerhana akhirnya mereda dan sekarang dia mulai kedinginan.
Dalam detik-detik yang menghangatkan itu, Dilham melebarkan senyum. Dia merasa bersalah sekaligus bahagia. Bersalah karena telah membuat cewek itu menangis dan bahagia karena dia tahu cara membuat cewek itu berhenti menangis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top