WARISAN MAMI

Kamu kuper lily!" Ledek teman-temanku seringkali.

"Eh, enak aja. Bukan gitu, aku juga gak tahu kenapa mamiku selalu mengajariku hal-hal kayak gitu," jawabku membela diri.

"Mulai dari cara berpakaian, cara berjalan, cara berbicara, cara makan, semua diatur berdasarkan undang-undang mami," lanjutku. Teman-temanku tertawa semua.

Ah, kenapa sih mami mendidikku kolot begini? Aku semakin terisolir dari pergaulan teman-temanku yang modern atau bahkan super modern. Tetapi aku tidak bisa berbuat banyak karena watak mami yang keras.

Semenjak umur 10 tahun aku memang tinggal bersama nenek yang aku panggil mami, karena konflik rumah tangga orang tuaku yang mengharuskan aku dibesarkan oleh nenekku.

"Lily, kamu itu perempuan, memakai baju tidak boleh sama dengan laki-laki, harus beda! tunjukkan kalau kamu ini perempuan, bukan laki-laki!" tegur mami saat melihat di tumpukan baju dalam lemariku ada baju yang menurutnya tidak cocok dikenakan perempuan.

"Teman-teman lily biasa pakai kayak gini kok. Nggak apa-apa. Ini model masa kini mi." Aku berusaha menjelaskan kepada mami. Wajah keriput mami malah cemberut.

"Tidak lily, kamu jangan ikut-ikutan teman-teman kamu, belum tentu betul, mami minta baju ini tidak usah kamu pakai lagi!" Aku merengut, kecewa dengan keputusan mami. Alamat nanti jadi bahan ledekan teman-teman lagi. Mami sibuk memilih dan memilah pakaianku yang cocok dan tidak cocok menurutnya.

***

"Lily bangun! habis subuh jangan tidur lagi!" tegur mami ketika melihatku tidur habis subuh. Aku menggeliat perlahan mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menahan kantuk yang berat.

"Memangnya kenapa gak boleh mi?" tanyaku sedikit kesal kepada mami yang melarangku melakukan sesuatu yang menurutku sepele. Kening mami sedikit mengernyit.

"Aku ngantuk mi, semalam belajar sampai larut."

"Pokoknya gak boleh, pamali!" kata mami, nada suaranya agak meninggi.

"Pamali kenapa mi?" tanyaku lagi sambil menguap.

"Nanti rezekimu seret." kata mami bernada kesal, barangkali menurutnya aku mulai pandai mendebat.

"Terus apa yang harus aku lakukan mi?" tanyaku pura-pura ingin tahu.

"Banyak yang bisa kamu lakukan, lakukanlah, asal tidak tidur!" kata mami sambil berlalu dari kamarku.

Hari-hari yang kulalui selalu itu-itu saja. Maksudnya, harus sesuai dengan tata tertib mami. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Selalu dalam pantauan mami. tak jarang teman-temanku mengatai aku gadis kuper.

"Mi, aku dikatain gadis kuno sama teman-temanku." Kuperhatikan ekspresi wajahnya, mami hanya diam.

Kusangka nenekku sudah mulai menyadari sikapnya padaku, sehingga aku mendapat peluang untuk berbicara mengenai teman-temanku yang gaya hidupnya super gaul, bebas menentukan apa saja tanpa tata krama kolot seperti yang kata mereka tidak pas dengan zaman.

"Teman-temanku sering memakai baju dan sepatu model baru kayak yang di tivi itu lho mi, yang suka dipakai artis." Sejenak kuhentikan kata-kataku, menanti reaksi mami. Kukira ini kesempatan baik. Sebelum mami membuka mulut, kuluncurkan terus kata-kataku.

"Dan teman-temanku sering menikmati makanan impor, tidak seperti aku yang hanya makan makanan produksi daerah saja. Pergaulan mereka luas dan aktif dalam berbagai kegiatan. Bahkan diantara mereka ada yang menjadi bintang iklan, model, gadis sampul, artis sinetron, penyiar radio, atlit terkenal!" kataku dengan semangat reformasi. Tentu saja, berita tentang seorang bapak yang stress gara-gara anak perempuannya minta uang 200 juta untuk bayar makelar biro artis tak kusampaikan pada mami.

"Penggemar mereka banyak mi, tidak hanya dari kalangan perempuan, tapi kalangan laki-laki juga, pokoknya ngetop deh, hebat ya mi?" kulihat mami masih terdiam. Matanya yang sayu disela-sela kulitnya yang keriput menandakan ketidak sukaan. Bahkan tarikan napasnya kian panjang dan berat. Ia memandangku dengan tajam, dengan sorot mata yang menyilaukan.

"Lily, kamu itu cucu mami. Jadi harus nurut sama mami!" tegas mami, menyentak dan menghujam hatiku, dadaku berdegup.

"Tidak usah terkesan gaya hidup diluar kebiasaanmu itu. Kita tidak boleh takluk oleh zaman. Model pakaian tidak harus mengikuti zaman yang berubah-ubah. Model pakaian bukan untuk menutupi rasa minder, malu, karena takut dikatakan kunolah, ketinggalan zamanlah, kolotlah." Mami terus berbicara, tenang mendekati diriku yang duduk terpaku di kursi rotan tua.

"Lily, kamu harus memahami, model pakaian adalah cermin keyakinan sekaligus penghias kepribadian seorang muslimah. Maka, sebagai seorang muslimah, setiap kali mau mengenakan pakaian dan berdandan, seharusnya kamu merenung: apakah model pakaian yang kukenakan dan dandananku sudah mencerminkan keyakinan dan menghiasi kepribadianku sebagai muslimah?" Aku tak menduga akan keluar kata-kata penuh ruh dari bibir mami yang sedikit bergetar.

"Model pakaian kita semestinya mencerminkan keyakinan kita terhadap perintah Allah dan sunah Rasulullah. Model pakaian yang tidak mengikuti sunah tentu saja tidak mungkin bisa menutupi batin yang gelisah karena senantiasa didera tipuan perubahan zaman." Mami mengelus pundakku, halus dan lembut.

"Kemudian, kamu tidak usah membayangkan kebahagiaan dengan memandang keadaan luar orang lain. Tidak usah berangan-angan ingin seperti teman-teman kamu yang katamu sukses menjadi model, bintang iklan, artis, gadis sampul, artis sinetron, atlit nasional, dan sebagainya. Hal itu cuma sangkaan..."

"Maksudnya apa mi?" kata-kata mami yang melembut membuatku sedikit berani bertanya.

"Kamu memandang teman-teman kamu hidup senang karena sukses menjadi bintang iklan, bintang sinetron, atlit nasional, dan sebagainya. Sementara teman-teman kamu memandang justru hidup kamu bahagia dengan kesederhanaanmu."

"Sudahlah lily, mengapa kamu harus membuat susah hidupmu sendiri dengan memikirkan kesenangan lahiriyah orang lain? padahal bisa saja hal itu tipuan syetan yang merasuk kedalam hatimu supaya kamu tidak kehilangan rasa syukur dengan apa yang telah diberikan Allah kepadamu, yang kini sudah dimiliki olehmu."

Mami memegang ujung kerudungku dan mengusap lembut pipi kananku dengan punggung jemarinya. "InsyaAllah, kamu pun akan menjadi wanita mulia dan anggun dengan bedak tipis dan kerudung ini." Tersipu aku, tak percaya kutatap wajahku pada kaca jendela yang satu engselnya rusak.

"Kamu masih muda, tidak seperti mami yang sudah tua. Kamu belum banyak membaca tanda hakikat hidup. Mungkin sebentar lagi mami masuk kubur..."

Kulihat ada sedikit gurat duka pada rona wajah mami yang memancarkan nur kewibawaan dan kesejukan. Hari-hari mami memang senantiasa menjaga wudhu dan sholat tahajud.

"Mami sayang kamu, mami ingin kamu jadi cucu yang baik, semua yang mami lakukan demi masa depanmu, mami khawatir kamu terjerumus ke dalam hal yang enggak-enggak, mami sangat berharap padamu, sekarang mungkin kamu belum banyak merasakan, tapi nanti, kamu akan merasakannya sendiri." bibirku terkatup, dinding hatiku bergetar mendengar kata-kata mami yang deras dan tegas.

"Entah kini atau nanti, mami akan meninggalkanmu untuk selamanya. Tak ada yang bisa mami wariskan kepadamu yang berupa materi, kecuali pelajaran mami ini." Mulutku terbungkam. Kulihat dari kedua kelopak mata mami yang cekung ada rembesan airmata. Perlahan ia menyapunya dengan ujung kerudungnya.

Entahlah, aku mulai meresapi kata-kata mami yang awalnya sulit kuterima. Aku tertunduk. Mami pun diam. Hanya jam dinding yang berdetak dengan jarum pendeknya menunjukkan angka dua belas. Hembusan angin malam menerpa kami berdua yang mematung, larut dalam pikiran masing-masing. Sayup-sayup kudengar sholawatan dari kampung sebelah, kampung yang konon pernah menjadi pusat agama di daerahku.

"Mami, mami mau tidur? besok saja dilanjutkan lagi," kataku memecah keheningan. Mami tidak menyahut. Kulihat mami menarik napas panjang yang berat sambil menatap tumpukan alqur'an dlemari kayu tua peninggalan papi. Sejenak ia menatapku, lalu meninggalkanku tanpa kata-kata. aku pun beranjak dan masuk kedalam kamarku. Kudengar hembusan angin malam, suara jangkrik, dan air pancuran kecil yang menimpa kolam ikan didepan rumah, mengantar pikiranku merenungi satu demi satu nasihat mami sejak aku tinggal bersamanya.

Sepuluh tahun sudah kujalani hidup bersama mami. Aku sudah menjadi cucu mami yang penurut. Entah terdorong oleh angin rasa kasihan, takut, segan, kagum, atau... entahlah aku sendiri tidak tahu. Aku sudah terbiasa mengikuti irama kehidupan mami dalam kesederhanaan, ketegasan, keteguhan pendirian, dan lain-lain.

Mami sudah jarang menegurku lagi. Hanya sekali dua kali saja kalau ada kesalahan fatal. seperti waktu aku pulang kemalaman karena jadwal kuliah yang tiba-tiba berubah,tapi setelah aku jelaskan akhirnya mami memakluminya.

***

Udara pedesaan yang bebas dari polusi, pepohonan hijau yang terpancang disana-sini, membuat aku bisa bernapas lega. Kilauan mentari, siulan burung-burung yang menyambut pagi menambah ketentraman jiwa.

"Mi, apa mami gak mau tinggal di kota sama ayah dan ibu?" tanyaku suatu pagi saat menyiram bunga-bunga hias yang sengaja kutanam melepas kejenuhan. Mami berhenti sejenak mengupas singkong untuk menyimak pertanyaanku.

"Mami sudah cukup tenang hidup di desa. Walau tidak punya apa-apa, hati mami tentram. Mami gak mau jadi korban..." katanya mantap.

"Korban? korban apa mi?" tanyaku heran tak mengerti.

"Korban kesibukan," jawab mami terus mengupas singkong.

"Korban kesibukan?" tanyaku makin penasaran. Segera kubantu mami mengupas singkong seusai menyiram bunga.

"Kalau kalian pada sibuk kerja, mami takut ditinggal sendirian."

"ditinggal sendirian?"

"Iya ditinggal sendirian di panti jompo."

"Ah, mami ada-ada saja."

"Lily, kamu sekarang sudah jadi gadis dewasa. Jaga kehormatanmu! nanti kalau kamu nikah, nikahlah dengan laki-laki soleh. Mami ingin suamimu kelak tidak meninggalkan ajaran mami padamu." Mami menatapku seolah menaksir kata-kata yang akan aku lontarkan. Aku menarik napas dan kuhentikan sejenak tangan yang bergerak mengupas singkong. Keningku berkerut, berusaha mencerna alur pembicaraan mami.

"Mi, bagaimana caranya aku bisa menemukan laki-laki yang dimaksud mami itu?" tanyaku sedikit humor. Kulihat mami menyunggingkan bibir.

"Lily, kalau kamu mau, mami sudah punya pilihan."

Degh! Aku sudah bisa menerka arah pembicaraan mami. Haruskah hal yang satu inipun mengikuti kehendak mami? pergolakan rasa dalam hati membuat napasku tidak menentu.

"Mami tidak akan memaksamu ly, hanya membantu mencarikan yang menurut pendapat mami baik buatmu."

Mami seperti mengetahui perasaan dan pikiranku. Aku berusaha mengatur napas. Kutepis perasaan asing yang simpang siur melintasi relung hati. Sambil mengupas singkong yang tinggal sedikit lagi, kucoba bertanya pada mami.

"Terus siapa calon yang mami maksud?" tanyaku setengah penasaran. Kutatap cahaya cerah pada kedua matanya yang teduh.

"Ada, anak pak haji abdullah. Namanya kalau tidak salah rizal," kata mami berbinar menatapku.

"Dia baru saja menyelesaikan kuliahnya di mesir, ilmu agamanya tinggi, budi pekertinya baik, sopan, akhlaknya baik kepada siapa saja, rendah hati, dan..." mami terus bercerita tentang rizal plus segala kebaikan-kebaikannya. Aku tersenyum, sesudut hatiku bergetar, tapi perasaanku datar.

Apalagi ini? apakah teman-temanku akan kembali mengejekku kalau menerima lamaran seorang lelaki seperti rizal? serba rasa dalam hatiku pun berkecamuk. Untuk hal lain, aku masih bisa patuh pada mami, tapi masalah ini tidak! aku tidak bisa begitu saja menurutinya.

"Ah, tidak mi, aku tidak ingin nikah dulu. Mau nemani mami saja," kataku ingin menutup tema pembicaraan mami kali ini.

"Lily, memangnya kamu mau terus sendiri tanpa pendamping hidup? Apalagi, mungkin sebentar lagi mami tidak bisa menemani kamu lagi." Kata-kata mami kali ini teramat lirih. Aku merasakan sesuatu yang jauh dan asing tiba-tiba hadir disekitar mami, membawa kabar dari negri yang menyentak hati hati pun tak mampu menjelajahinya.

"Lily, kamu adalah cucu mami, harapan mami, penerus mami. Jadilah kamu cucu kebanggan mami didunia maupun di akhirat. Mami ingin amal-amal saleh yang mami ajarkan pada cucu-cucu mami jadi penerang kubur mami, maka nikahlah dengan laki-laki saleh." Kata-kata mami terakhir meluruhkan seluruh perasaan hatiku.

Tapi sanggupkah aku mendampingi laki-laki seperti rizal? bagiku terlalu mulia untuk ukuranku yang naif ini. Namun, mau menolak takut mami tersakiti, apalagi akhir-akhir ini mami sering sakit dan perasa sekali. Aku tak tega. Aku ambil air wudhu, shalat dan doa istikharah kujadikan muara pengaduanku pada Rabbku.

Entahlah, ada getaran lain dari kalimat mami menggedor-gedor pintu kesadaranku, sesaat setelah kuantarkan mami istirahat dikamarnya. Dan, berkah istikharah kurasakan mulai menguakkan selambu ragu disetiap jendela hatiku.

Dan akhirnya kudapati syukurku dalam perenunganku. Seharusnya sudah dari dulu aku menyadari hai itu. Mamiku yang baik dan salih. Semua yang dia lakukan demi kebaikanku, bukan saja buat didunia, melainkan juga bagi akhiratku. Kenapa aku bodoh, atau masa bodoh. Kurasakan keyakinan menyejukkan hatiku. Sorot cahaya mulai menerangi alam pikiranku. Aku tersenyum tulus.

Aku bangkit dari tempat tidurku, berlari ketempat tidur mami untuk menyampaikan berita bahagia untuk mami. Semalam aku sudah mempertimbangkan masak-masak: aku ikhlas dinikahkan dengan rizal, anak haji abdullah itu.

"Mi, mami... bangun mi..." kuelus halus tangan mami, tak ada gerak, barangkali ia tidur demikian damainya.

"Mi, mami..." mami diam, tidak seperti biasanya.

"Mi, ini lily mi." Sejenak kutatap, sesungging senyum menghiasi wajah mami yang teduh bercahaya wudhu.

"Mami..." aku merasakan tubuh mami dingin dan kaku.

"Mamiii..."

***

Udara malam terasa panas. Beberapa bulan memang hujan belum mengguyur bumi. Aku masih larut dalam kesedihan, mengenang masa hidup bersama mami, merenungi untaian mutiara nasihat yang tulus diwariskannya padaku.

"Mi, maafkan cucumu yang bodoh ini." Aku tak sanggup menahan deras airmata, kudekap foto mami.

"Ly, sudah larut malam. Sudahlah, jangan nangis terus. InsyaAllah mami akan tenang di alamnya oleh taburan doa-doa tahajudmu." Tanpa kusadari, suamiku, rizal, sudah berada didekatku, mengelus lembut bahuku.

Kedua tanganku makin erat mendekap foto mami. Aku mengangguk pelan. Suamiku mengusap butir bening dipipiku. Aku menjatuhkan kepala pada dada suamiku tercinta, pilihan mami tercinta.





Sorry for typo,
👸 Kiky

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top