Memories
Namaku Wira, seorang pemuda Indonesia, kelahiran 11 September 1997. Aku, bisa dibilang, salah satu anggota band yang sudah sering, bersama rekan setim, melakukan konser baik di dalam kota, luar kota kami, maupun luar negeri.
Manajer memberikan kami liburan untuk merehatkan diri dari segala acara karena kami sebentar lagi akan merilis lagu baru. Karenanya, aku dan Ridho sedang berada di atas kereta untuk menuju ke kota kami. Sedangkan Awiy dan Referen tetap di tempat karena, ya, itu kota mereka.
**
"Rid, mau gue tungguin?" tanyaku saat kami sudah di luar aku menatapnya.
"Gak perlu. Kakak gue udah mau jemput. Abang lo udah nungguin juga kan. Gih, pergi."
"Oke oke," aku menyengir, "dadah."
Aku pergi menuju tempat parkiran. Abangku, Jeje, saking malasnya, dia tidak pernah turun dari mobil jika dia menjemputku. Pasti selalu mengirimkan lokasi di mana dirinya memarkirkan mobil.
Kuketuk kaca sopir, mendapati Bajeje, begitu aku memanggilnya, sedang bermain game di Hp-nya. Bajeje menatap ke arahku kemudian membuka bagasi. Aku mendengus, berjalan ke belakang mobil, membuka bagasi, dan memasukkan koper kecil dan tas berisi laptop-ku. Aku ke depan, duduk di samping Bajeje.
"Setidaknya bantuin Wira letak barang di bagasi kenapa, sih? Wira bawain oleh-oleh padahal."
"Oh! Benarkah?! Terima kasih adikku sayaang."
"Jijik."
Bajeje tertawa keras, menyalakan mobil, lalu keluar dari area parkiran.
"Sampai kapan kalian libur?"
Aku membuka Hp, memainkan Instagram-ku. "Entahlah. Ka Vira tidak kasih tahu kapan harus kembali."
Kak Vira itu Manajer kami, omong-omong.
"Hmmm ...." Bajeje tidak membalas, hanya mengetuk-ngetuk setir.
"Bang."
"Ha."
"Ver masih ada?"
"Mana saya tahu, saya kan ikan."
"Bajeje!" seruku kesal. Bajeje tergelak.
"Mana gue tau dek, kan yang bisa lihat cuma lo."
"Aku terdiam."
"Iya sih ...."
"Tinggal pergi ke bukit doang kan. Pergi aja nanti."
"Oh iya, benar juga. Hahaha."
**
Aku menggeliat sambil mendengar lagu IU—Palette—lalu membuka mataku dan melihat jam. Sudah jam tiga sore. Biasanya Ver suka berjalan-jalan saat jam-jam segini.
Aku turun dari kasur masuk ke kamar mandi lalu mandi. Memakai baju biasa lalu ke luar dari kamar. Terlihat Bajeje yang sedang menonton TV sambil nyemil. Aku mencomotnya.
"Lo ...." Bajeje menatapku dengan tatapan penuh amarah. Aku hanya mengedikkan bahu.
"Wira mau ke bukit. Bajeje mau nitip apa?"
"Nitip lo gak ngebawa aja."
"Dasar penakut," cibirku. "Itu doang kan."
"Iya."
"Padahal niatnya mau beliin Bajeje kopi. Tapi yowes, ga mau toh. Wira pergi dulu."
"WIR! LARAT!"
Aku akan menjelaskan siapa itu Ver dan kenapa kami menyebut bukit.
Jadi, Ver ini ... hantu nyasar.
Aku menyadari kehadirannya satu tahun yang lalu, saat aku sedang sendirian di bukit, mencari inspirasi untuk membuat lagu. Aku sendiri juga, tidak mempercayai hantu, tapi aku malah melihatnya. Padahal aku sama sekali tidak mempunyai indra keenam atau apalah itu yang bisa melihat hantu dan kawan-kawannya.
Setengah jam kemudian, aku sampai di kaki bukit. Bukitnya tidak terlalu terjal untuk dilewati, justru penduduk setempat sudah membuat jalan. Di belakang bukit, ada air terjun kecil, yang benar-benar kecil. Atau ini disebut gunung? Hutan? Entahlah. Sejak kecil aku sudah menyebutnya bukit dan tidak ada yang mengoreksiku.
Mendengar suara air jatuh membuatku melupakan sejenak kerjaku. Aku menggulung kedua celanaku, melepas sepatu, membesihkan kakiku terlebih dahulu dengan mengusapnya menggunakan air yang kuambil dengan tangan, lalu memasukkan kedua kakiku ke dalam danau kecil itu.
Aku berdeham.
"Veeer," panggilku dengan bernada, "keluarlah. Gue udah datang loh, lo gak kangen?"
Tidak ada yang membalas panggilanku. Suara yang bisa kudengar hanyalah derunya air dengan suara gesekan daun-daun.
"DOR!" seseorang menepuk pundakku.
"Astaganaga, ya Tuhan," latahku sambil berbalik dan mendapati seorang perempuan yang menyengir.
"Ver! Lo ngagetin gue, ih!"
"Sori. Padahal kita udah lama gak ketemu gue malah ngagetin lho ya? Eh justru karena udah lama gak ketemu makanya ngagetin." Ver menyengir, duduk di sebelahku.
Tolong diingat, dia ini hantu, bukan manusia.
Aku hanya mengetahui dia dipanggil Ver. Dia yang mengatakan, "Panggil gue Ver." Aku, yang memang tidak ada sopannya, bertanya mengapa dia memutuskan bunuh diri. Namun Ver dengan santainya mengatakan bahwa dia dibuli baik di rumah, di sekolah, ditambah dia tidak tahan dengan tugas yang menumpuk.
Sebenarnya, bisa saja kan, esok-esok setelah hari itu, aku pura-pura melupakannya. Tapi entah mengapa aku merasa nyaman saja bersamanya, hanya Ver yang bisa mnejadi tempat curhatku.
"Jadi, lo nyariin gue?"
Aku melengkungkan bibir, memainkan kedua kakiku.
"Bisa dibilang begitu? Gue kan gak tahu lo udah menghilang apa masih di sini."
"Ya kan. Kok gue masih aja bisa di sini, ya. Tujuan gue bunuh diri kan buat pergi dari dunia ini selama-lamanya."
"Tanyakan kepada rumput yang bergoyang, Ver. Jangan ke gue."
"Garing lo ah."
"Haha."
Aku dan Ver pun, saling bertukar cerita.
"Jadi ... ada apa?" Ver mnyadari ada satu hal yang belum kuceritakan. Aku berdecak kagum.
"Ridho bentar lagi ultah. Wes, baik banget gue mau rayain. Bagusnya kasih kado apa gak?"
Ver tertawa. "Serah lo, lah!"
"Apa ya ...." Aku menatap langit yang tidak ditutupi dengan awan. "Gue pun gak tahu mau ngasih apa."
"Ya serah sih. Lo mau kasih kado, kasih. Gak mau kasih, gak usah. Kan kado, gak perlu bentuk fisik juga." Ver melayang tepat di depanku. Aku menatapnya.
"Kenangan."
"Rasa gue sih, kenangan paling berarti dari semuanya. Kenangan bersama lo, kenangan bersama teman-teman kalian, atau apa pun itu." Dia tersenyum.
"Karena kenanganlah paling berharga." Aku terdiam. Angin tiba-tiba berhembus kencang.
"Yah, topi gue." Topiku terlepas lalu terbang dibawa angin.
"Mau gue ambilkan?"
"Gak usah." Ver menatapku bingung.
"Gak penting juga, haha. Lagi pula lo gak pernah lihat muka gue secara jelas kan?"
Ver tiba-tiba saja mendekat ke arahku. Aku memundurkan kepalaku. Menatap matanya yang bisa dengan jelas kulihat batang pohon di seberang sana.
"Ver?" panggilku.
"Lo ...." Aku menaikkan sebelah alisku.
"Wira dari band XX, kan?" aku tersentak. Jantungku berdegup kencang. Aku memundurkan wajahku sedikit saat dia mendekatkan wajahnya.
"Iya ... Wira." Aku mengulum bibirku, menahan senyum yang tak tertahan,
"Gue fans lo, tau! Sampe ada tuh, fanpage di Twitter." Ver tertawa.
"Serius?" tanyaku tidak percaya.
"Ya enggak lah," balas Ver langsung, menatapku tajam. Aku menelan ludah.
"Lo tahu gak kenapa gue dibuli?" aku menggeleng lalu memundurkan kepalaku saat dia memajukan kepalanya lagi.
"Gue. Benci. Sama. Lo." Aku menarik napas saat tangannya berputar di dadaku.
"Saking bencinya tuh, akun Twitter gue cuma berisi gue jelek-jelekin kalian. Norak, ew."
"Lalu kenapa lo malah bunuh diri padahal lo bisa aja ngelawan mereka, atau, pindah sekolah?" aku terkejut dengan pertanyaanku sendiri. Ver terdiam, lalu dia menjauh.
"Gak pernah dibuli masyarakat sih, jadi lo gak tau aja."
"A—"
Ver tertawa getir.
"Gue dibuli keluarga gue, anak sekolah, bahkan cuma karena gue menyatakan pendapat gue kalau gue gak suka sama kalian, gue dikritik habis-habisan sama fans-fans lo itu. Bahkan, buat makan aja gue nyari uang sendiri. Gak cukup sampai di situ, gue juga dibuli sama rekan kerja gue."
"Makanya gue mutusin bunuh diri."
"Ver—!"
Namun dia menghilang.
**
"Wir." Aku tersentak, mendapati Ridho, dan kakaknya Ridho, menatapku.
"Huh?"
"Kan, gak denger dia," sahut Riri, kembaran Ridho, yang lebih tua 5 menit.
"Ngapa lo? Gak enak badan?" tanya Ridho, mengangkat sebelah alisnya.
"Gak, gak. Lanjutin aja."
Sekarang sudah tanggal 10 Oktober, Bajeje ulang tahun. Kami berencana membuat kejutan yang berbeda dari biasanya. Padahal rasaku baru saja kemarin kami merayakan ulang tahunnya.
Waktu cepat berlalu.
Dan Ver ....
Semenjak tanggal 3, dia tidak ada di bukit.
Mungkin dia masih marah, jadi aku tidak pergi ke bukit sejak 4 hari yang lalu.
Untuk merayakan ulang tahun Bajeje, Awiy dan Referen sudah berada di rumah Ridho, pergi ke sini menggunakan kereta 3 hari yang lalu. Biasanya, Bajeje selalu bersemangat jika Awiy ke sini, karena mereka memang sohib. Detik pertama aku mengenalkan mereka, aku sadar, mereka memiliki selera yang sama. Jadi kami menyuruh Bajeje pergi ke rumah Ridho sambil mengatakan Awiy ada di sini.
Aku membuka Hp-ku, mendapati pesan bahwa Bajeje memberikan lokasinya, sudah di jalan. Yang berarti, rencana dimulai. Awiy dan Referen bersembunyi di kamar Ridho, sedangkan aku dan Ridho masih bermain game di ruang tengah, dan Riri, bersiap-siap di dapur, membawakan kue nantinya.
Seseorang membunyikan bel rumah Ridho. Kami menghentikan game kami, Ridho pergi ke depan.
"Yo, Bro! Sudah lama tidak melihatmu!" samar-samar, aku bisa mendengar suara Ridho menyambut Bajeje. Sebenarnya Ridho seumuran dengan Bajeje, kami berbeda 3 tahun. Hanya saja, Ridho, dan Riri, tidak ingin aku menyelipkan 'Kak' atau 'Bang'. Jadi yah ....
"Kemana Awiy?" tanya Bajeje, tidak bersabar bertemu Awiy. Aku menghela napas pelan.
"Sini." Kami bertiga berjalan ke kamar Ridho. Pintunya sengaja kuketuk, agar mereka berdua sadar kami akan masuk.
"HAPPY BIRTHDAY, BAJEJE!" cracker diletuskan, confetti bertebaran.
Bajeje terdiam. Awiy dan Referen tertawa puas, mereka berdiri di samping pintu. Bajeje yang masuk duluan ke kamarlah yang kenak imbasnya.
"Astaga ...." Bajeje tergelak.
Riri datang, menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun, dengan kue di atas kedua tangannya.
"Astaga kalian." Aku tersenyum geli melihat Bajeje tergelak.
"Jauh-jauh ke sini cuma buat ini, astaga."
**
"Rep," panggilku ke Referen yang sedang memainkan Hp-nya. Dia melirik ke arahku. Aku menelan ludah.
Aku selalu tak bisa menatap lirikannya.
"Kalo lo punya temen perempuan, iya-iya, punya. Ampun bro," kilahku langsung saat melihat matanya menyipit.
"Kalo temen lo itu, marah ke lo gara-gara lo. Lo nanggepinnya gimana?" Referen mematikan Hp-nya lalu melipat kedua tangannya.
"Memberinya hadiah?" seketika kepalaku terantuk kaleng yang kupegang.
Ini permasalahannya makhluk halus, lho.
"Kalau dia nolak atau dia terima tapi tetap nggak mau bicara gimana?"
"Membiarkannya sendiri dulu."
"Kalau sudah membiarkannya sendiri tapi dia masih marah?" Referen mengangkat bahunya.
"Minta maaf. Memangnya kenapa sih? Emang lo punya teman perempuan di sini?" aku menggeleng lalu berdiri.
"Gue ke luar dulu."
Ayo, bertemu dengan Ver.
**
"Ver!!! Keluarlah! Aku tahu kau di sini!" teriakku di tengah-tengah bukit.
"Paan?" Aku menoleh sekitar namun tidak melihat Ver.
"Lagi gak mood gue, apaan?"
Aku menghela napas, lalu meletakkan kado di tanah.
"Gue gak tau lo bakal nerima apa gimana. Tapi gue minta maaf. Kalau lo udah baikan apa gimana gitu, kasih tanda apa gimana gitu. Gue masih lama di sini. Ini ada hadiah buat lo. Tapi lo kan gak bisa megang." Aku terkekeh.
"Jadi ntar kabari aja kalau mau lo buka kadonya ya. Gue pergi."
Aku melangkah menuju luar bukit.
"BENTAR NTAR NTAR. WIR, MAAFIN GUE."
Aku berbalik, mendapati Ver yang melaju kencang ke arahku. Aku langsung berjongkok, tidak ingin mengenai dirinya.
"Hiks, sori, gue childlish banget." Ver menangis.
"Seminggu lo nangis terus ga?" pancingku.
"Iyalah!" seru Ver menahan kesal, aku menahan geli.
"Permintaannya diterima. Kadonya mau gue buka?" Ver mengangguk, mengusap air matanya.
"Gue buka, terus gue cecerin, enggak, gue letak satu-satu isinya ke tanah, oke?" Ver mengangguk.
Aku pun membuka kado tersebut, menatap isinya sebentar lalu terdiam.
"Ver, jangan marah ya."
Aku meletakkan isi tersebut, satu-satunya, ke tanah. Ver terdiam.
Hadiah yang aku berikan adalah foto keluarganya bersamanya saat masih kecil.
"Lo... dapat dari mana ...?"
"Maaf. Beberapa hari setelah lo marah, gue nyari latar belakang lo. Iya tahu, itu gak sopan, gak beretika, kurang ajar lagi. Tapi gue gak bisa nerima fakta kalau lo bunuh diri karena dibuli lingkungan sendiri. Jadi gue tanya sekolah-sekolah di sini, lalu ke rumah lo, setelah dapat alamat rumah lo. Dan lo tau gak, Ver?" Ver menatapku. Aku menyuruhnya berjongkok.
"Keluarga lo rindu sama lo, Ver. Sampai sekarang masih sedih, sesedih mungkin karna lo ninggalin mereka. Apalagi ayah lo."
"Tapi dia, beliau, yang sering ngebuli gue." Ver memegang ujung bajunya kuat-kuat.
"Ayah lo kayak gitu, keras ke lo, karna Ayah lo gak mau lo kenapa-kenapa. Lo sendiri yang bilang kan, dihujat di akun Twitter lo? Makanya Ayah lo suka sita HP lo, kan?"
"Kok tau?"
Aku tersenyum.
"Ayah lo yang cerita." Aku berdeham.
"Terus Ibu lo cerita, kalau beliau, Ayah lo, sekarang di rumah sakit jiwa."
Ver terdiam, menatapku tidak percaya.
"Udah mulai baikan, kok. Kan Ayah lo sendiri yang cerita ke gue."
"Lo nemuin beliau?"
Aku mengangguk.
Ver menunduk, menyembunyikan sesuatu.
Tapi yang aku tahu, Ver menangis.
**
"Yo brow," ucapku sambil melepas sepatu.
"Ke mana aja nih? Mana kudapan gue?" Aku mendapati Awiy berdiri di depanku.
"Sejak kapan lo minta, Wi? Idih." Aku berjalan melewatinya.
"Cerita, dong! Pasti ada yang lo sembunyiin, kan?" desak Awiy.
"Gak ada, Wi, gak ada."
"Bohong." Awiy mendengus, aku memainkan kedua mataku.
Kami berjalan ke ruang tengah rumah Ridho. Mereka semua sedang menonton film hantu, aku lupa namanya, tapi aku sudah berulang kali menontonnya.
"Gue bisa lihat hantu," akuku tiba-tiba. Riri langsung menoleh kepadaku, matanya membesar.
"Serius lo?"
"Alah, paling canda doang si Wira, Ri," sahut Referen.
"Loh, tahun lalu yang ngebuat rumah ini sampai diruqyah siapa? Wira, kan?" balas Bajeje, sambil memainkan game di Hp-nya.
Ridho langsung menghentikan film yang mereka menonton, dan berjalan ke arahku. Dipegangnya kedua bahuku erat-erat.
"Jelasin."
Aku tergelak. Kemudian, aku menjelaskan pertemuanku dengan Ver.
**
Seharusnya aku tidak bercerita tentangku dengan Ver.
Sekarang, mereka berlima malah mengikutiku ke bukit.
"Masih jauh?" keluh Riri.
Aku tidak membalas karena kami sudah sampai di air terjun.
"Ver," panggilku, melihat sekitar.
"Ha?" suaranya terdengar sangat dekat. Aku melompat, menjaga jarak.
"Loh, rupa lo mana?"
"Gak mau. Itu kan XX juga, kan?"
"Iya, tapi kan yang bisa lihat cuma gue," balasku.
"Wir, lo bicara sama siapa, dah?" tanya Awiy.
"Ver. Yang gue ceritain kemarin." Terlintas di pikiranku ide nakal. "Ver, sapa gih, mereka."
Rasanya Ver menangkap sinyalku, dia tersenyum licik. Ver terbang ke belakang mereka dan meniupkan angin ke leher mereka.
"WOI!" Ridho melompat, berdiri di belakangku. Ridho ini memang penakut.
Bajeje bergidik, mengusap leher belakangnya. "Tadi itu Ver?" Aku mengangguk.
Aku dan Ver tergelak. Sedangka Riri, Referen, dan Awiy mencak-mencak menahan kesal.
"Wir," panggil Ridho, masih berdiri di belakangku.
"Apa?"
"Itu Ver yang pakai kacamata kayak Harry Potter, rambut kepang dua, sama terusan putih?"
Aku dan Ver langsung terdiam. Kami menatap satu sama lain.
"Kata lo dia gak bisa ngelihat," keluh Ver.
"Beneran kok. Kami sejatinya gak ada indra keenam," balasku.
"Serius lo Wir, itu si Ver?" Ridho menyikutku, aku mengaduh.
"Iya, iya, jangan sikut gue juga dong."
"Ver, kamu cantik banget." Celetukan Riri mengalihkan fokus kami bertiga ke Riri. Aku perhatikan saksama kemana Riri memandang, dan itu tepat ke arah Ver.
"Er ... terima kasih ...?" Riri tergelak.
"Mana?! Mana?! Gue mau lihat dia juga!" seru Awiy bersemangat. Ver, walau kebingungan, memutuskan untuk melayang tepat di depan Awiy, membelakangiku.
"Ih beneran dah. Cantik, sumpah," celetuk Awiy tanpa berpikir panjang.
Di satu sisi mereka bisa melihat Ver, di sisi lain aku bingung kenapa mereka bisa melihatnya.
Aku menarik Ver mendekat ke arahku, mendorong Ridho ke arah mereka.
"Itu Ridho, terus—"
"Mereka bertiga gue udah tau. Yang dua lagi," bisik Ver.
"Itu Riri, kembaran Ridho, tuaan 5 menit. Yang itu Bajeje, abang gue, beda 3 tahun," balasku langsung.
"Lakukanlah sepuasmu." Aku mendorong Ver ke arah mereka lalu aku memutuskan untuk merendam kakiku lagi ke danau, kebiasaanku sejak kecil. Kemudian memainkan Hp. Sekitaran sejam kemudian, seseorang memanggilku. Aku menoleh dan mendapati Referen berjalan ke arahku. Aku menaikkan alis.
"Gak mau ikutan?" Aku menggeleng.
"Kalian aja, gue udah sering. Saking seringnya bosan banget."
"Lol, oke." Referen kembali bersama mereka dan kemudian Riri datang.
"Gue cuma mau bilang." Aku menatap Riri seksama.
"Bisa aja ini terakhir kalinya lo ketemu dia, Wir."
"Masa sih?" Aku tergelak.
"Gue cuma mau ngingatin Wir." Aku mengangguk.
"Dan lo yang paling tau seberapa kuatnya perasaan gue."
Aku terdiam, tidak membalas. Kemudian Riri kembali bersama mereka. Tak lama, mungkin karena teguran Riri, aku menyadari sesuatu yang aneh. Tubuh Ver menipis.
Tapi kehidupanku bukan kayak yang di film-film, yang mana si hantu memutuskan untuk pergi selama-lamanya.
Menyadari akan hal itu, seluruh bulu kudukku menegak, merinding. Membayangkan Ver pergi .... Tidak, tidak.
"Ver!" seruku memanggilnya. Dan aku sadar, suaraku bergetar.
Oh Tuhan.
Mereka berhanti mengobrol, Ver melayang ke arahku. "Ada apa?"
"Lo," aku terdiam sesaat, "gak bakal ngilang kan?"
"... Ver?" Aku menunduk, menatap Ver yang menatap ke bawah.
Ver menyengir. "Ketahuan, ya?"
"Ver!" Seruanku menarik perhatian yang lain.
"Rasanya gue tau kenapa gue ga sukses ninggalin bumi." Ver menghiraukanku.
"Gue ...." Ver mengangkat kepalanya.
"Gue penasaran sama kehangatan, kenangan. Dan lo ...," Ver menarik ingusnya, "lo dan teman-teman lo buat gue tau, tentang kedua hal itu."
"Tapi lo masih bisa buat itu sebanyak mungkin Ver. Please, jangan."
"Sadar. Kita berbeda dunia, Wira." Pernyataan tajam Ver membuatku terdiam. Ver melepaskan peganganku.
"Tahan tangis lo, oke?"
"Kalau gue nangis sekarang lo bisa gak pergi, gue bakal nangis."
"WIRA!" Aku tersentak, mendapati Bajeje menghampiri diriku.
"Lo. Gak. Boleh. Egois," desis Bajeje menahan amarah.
"Bang ...." Aku skeptis, mengulum bibirku.
"Ver, makasih ya udah nemenin adek kurang ajar gue ini. Lo bisa kok hantuin dia atau apa gitu kalau lo kangen, asik, dia. Terserah. Rumah kami terbuka untuk lo, asal lo datang pas ada Wira, asal lo gak bawa temen, asal lo gak ngerusuh. Oke?"
Ver tertawa. "Siap, Bajeje."
"Gue pergi dulu ya." Ver menatapku.
"Ver ...." Aku mendesah pasrah, tidak bisa bergerak karena Bajeje menahanku.
Lalu Ver pergi, secepat itu, semudah itu, layak daun yang terbang dikarenakan angin.
**
Namaku Wira, seorang pemuda Indonesia, kelahiran 11 September 1997. Aku, bisa dibilang, salah satu anggota band yang sudah sering, bersama rekan setim, melakukan konser baik di dalam kota, luar kota kami, maupun luar negeri.
Manajer memberikan kami liburan untuk merehatkan diri dari segala acara karena kami sebentar lagi akan merilis lagu baru. Karenanya, aku dan Ridho sedang berada di atas kereta untuk menuju ke kota kami. Sedangkan Awiy dan Referen tetap di tempat karena, ya, itu kota mereka.
Tanggal 11 Oktober kami semua berkumpul di rumah Ridho, untuk merayakan ulang tahun Bajeje. Tanggal 12 Oktober, kami pergi ke bukit, berenam, untuk bertemu dengan Ver. Tanggal itu juga, Ver pergi.
Ah ... gadis itu membuatku ingin menangis saja.
Semenjak kejadian itu, esok, esok, dan esoknya lagi dia sama sekali tidak ada. Bahkan aku tak merasakan kehadirannya.
Benar-benar hilang.
Beberapa hari kemudian, menjelang aku akan pergi lagi ke kota kerjaku, aku mengunjungi makamnya. Sebagai informasi, Ver ternyata bukan bunuh diri dengan terjun ke laut, namun menggantung diri di kamarnya.Ver berbohong. Dia bilang dia bunuh diri dengan terjun ke laut, bukan menggantungkan diri di kamar.
Saat aku mengunjungi makamnya, syukurlah, makamnya terawat dengan baik, seakan-akan setiap saat selalu dibersihkan.
Apa itu penyesalan oleh orang-orang yang sudah membulinya?
Aku meletakkan bunga yang kubeli untuknya lalu berdoa kepadanya. Setelah itu, aku melihat sebuah kertas. Aku membacanya.
Terima kasih sudah menemaniku, W - Verolina.
The End
semoga terhibur!
cerita ini sengaja dipublikasikan karena aku gak mau cerita buatanku nanti dipake gitu.
trust me, aku mikir gitu tadi.
fyi, cerita ini aku selipkan sebagai tugas sekolah🤪
feel free to comment and like.
sebenarnya cerita ini udah sejak kapan gitu, 3 tahun yang lalu? cuma, bentuk FF. Jadi yah, kuganti namanya jadi nama lokal.
23.11.20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top