Bab 3
Kai, kamu tahu nggak? Aku lagi dalam perjalanan ke Bandara.
Sejak beberapa hari lalu dia selalu mengoceh, mengingatkanku tentang jadwal penerbangannya. Dan sekarang dia mengingatkanku lagi di jam enam pagi saat aku akan menuju ke shelter bus, untuk berangkat kerja.
Kai, aku serius. I'll take off at 09.45.
Dia mengirimiku pesan lagi saat aku tak kunjung membalas pesannya. Aku tahu, dia akan melakukan hal gila itu sampai aku membalas pesannya. Tapi jangan panggil aku Kai. Aku adalah seorang gadis yang cukup senang membuat seseorang menggeram kesal.
Kai, pesanku bukan sekedar koran, please!
Aku terkikik sendiri. Akan ada tanda checklist warna biru ketika pesan kita sudah dibaca. Dan dia memprotes soal tersebut.
Aku menggerakkan jemariku, mengetik balasan pesan untuknya.
Iya, aku tahu. Tapi sayang, aku nggak bisa jemput kamu di Bandara. Hari ini aku harus lembur kerja. Tapi aku akan langsung menemuimu begitu pulang.
Aku lupa memberitahu dia kalau Sabtu ini aku tidak bisa ijin karena beberapa laporan dari dua outlet yang telat disetor kepadaku. Tak lama dia membalas pesanku.
Kamu becanda kan?
Aku mengembuskan napasku. Sayang sekali, kali ini serius.
No, Iam not. Tapi aku janji akan menemuimu sepulang kerja. Anyway, di mana kamu menginap?
Aku hanya bisa berharap semoga berkas laporan penjualan yang akan kukerjakan nanti tidak terlalu menyulitkanku hingga membuatku harus pulang malam. Rasanya tidak enak juga membiarkan seseorang yang sudah rela datang jauh-jauh menungguku terlalu lama padahal kami sudah membuat janji. Sebagian kecil dariku merutuki hal tak terduga yang harus kulalui hari ini. Seharusnya aku bisa ambil ijin untuk dua hari di akhir minggu ini.
Grand Mercure. I think its near from your office. Jadi? Kapan kamu akan pulang lebih tepatnya?
Grand Mercure? Keningku mengkerut. Aku tidak tahu di mana hotel tersebut berada. Tanganku dengan cepat mengetikkan nama hotel tersebut di mesin pencarian. Aku mengangguk-angguk singkat begitu mendapatkan alamat hotel tersebut. Hotel tersebut berada di daerah Jakarta Pusat.
Oke. Aku akan ke sana. Mungkin sekitar jam 7 malam. Maaf, nggak bisa menepati janjiku.
Aku memang pernah mengiyakan permintaannya untuk menemaninya berkeliling Jakarta. Dia bilang Jakarta adalah Kota sibuk tapi dia ingin menjelajahi Jakarta.
Its oke. Aku akan nunggu kamu. SEHARIAN di kamar.
Dia menekankan pada satu kata yang membuatnya sebal hingga membuatku terkikik sendiri. Ya, aku akan membuatnya menunggu seharian di hotel. Tapi akan kuusahakan untuk tidak membuatnya menunggu terlalu lama. Mungkin aku akan melewatkan jam istirahatku untuk menyelesaikan pekerjaanku.
***
Pukul 19.46
Aku mengembuskan napasku lega ketika pekerjaanku benar-benar selesai. Dengan cepat aku mengabari dia kalau aku akan segera ke sana dan aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Karena sejak tadi aku tidak lagi membalas serentetan pesannya. Dia yang mengeluh bosan di kamar lalu menanyaiku kapan aku akan menemuinya.
Dengan modal nekat aku berangkat menemuinya. Apakah dia baik atau tidak, dan bahaya apa yang sedang menantiku, aku tidak terlalu memikirkannya. Aku mencoba untuk berpikir positif. Karena aku tahu, rasanya sangat menyebalkan ketika orang berpikiran buruk tentang kita padahal orang itu belum begitu jelas mengenal kita.
Dear, kapan kamu akan sampai?! Aku sudah sangat bosan.
Dia kembali mengirimi aku pesan ketika aku sedang dalam perjalanan dengan transportasi online.
Be patient. 10 mnt later.
Aku menepati janjiku. Sepuluh menit kemudian aku sampai di depan sebuah gedung yang cukup membuatku minder. Mataku bergerak diam-diam menilai orang-orang yang berlalu lalang di depan lobi hotel tersebut. Aku menelan ludahku. Rata-rata mereka semua berkelas. Dan aku merasa aku tidak ada apa-apanya meskipun aku sudah berusaha berpenampilan sebaik mungkin.
Aku menarik pelan napasku, memantapkan hatiku untuk memasuki hotel tersebut dan menuju ke sofa panjang yang tersedia di lobi. Jemariku mengetikkan pesan untuknya.
Aku sudah sampai. Di Lobi.
Entah ke berapa kali aku sudah membuang napasku untuk menutupi kegugupanku. Sampai kemudian aku memutuskan untuk memainkan sebuah game di ponselku untuk mengurangi rasa gugupku. Ini memang tidak penting dan norak. Tapi aku tidak memiliki cara lain untuk membuang rasa gugupku selain dengan menyibukkan diri dengan ponselku. Apalagi saat melihat kaki-kaki jenjang berlapis heels yang berkilauan dan tentu saja meneriakkan mereknya, berlalu-lalang di lantai hadapanku.
Oke. Aku akan turun. Segera.
Melihat balasan pesan darinya, aku semakin di dera kegugupan. Ujung kakiku bergerak-gerak tak beraturan, mengetuk-ngetuk lantai yang terbuat dari marmer itu.
Hampir sepuluh menit berlalu. Dan aku belum mendapatkan seseorang yang menghampiriku. Aku menggigit bibir dalamku, berusaha membunuh keinginanku yang berteriak ingin segera pergi dari tempat ini. Tapi kemudian tertahan ketika aku melihat sepasang kaki berhenti di hadapanku. Aku menegakkan wajahku, memalingkan pandanganku dari lantai marmer demi melihat siapa pemilik sepasang kaki itu.
Aku terdiam membeku. Dia, aku mengenali matanya. Dia berdiri menjulang dengan t-shirt biru donker dan celana cinno selututnya. Dia tinggi dengan tubuh sempurna dan terbalut kulit coklat khas kauskasia. Dia melebarkan senyumnya untukku.
"Hy, Kailana?" tanyanya. Suaranya lembut dan tebal tapi mampu membuatku tergagap.
"Ya," jawabku tanpa suara dan setengah sadar.
"Nice to meet you, Kai. So... come," ucapnya lagi.
Aku berdiri mengikuti langkahnya menuju ke sebuah lift. Aku tidak bisa berpikir yang lain-lain lagi. Aku rasa dia sudah menghiptonis aku. Mataku diam-diam bergerak menilai dirinya. Just perfect! Lalu mataku berhenti pada sebuah benda di lehernya. Dia mengenakan kalung berwarna emas, seperti kebanyakan orang-orang india dan sekitarnya yang biasa kulihat di film-film. Atau memang ini merupakan bagian dari budayanya?
"Aku hampir mati bosan di kamar," ucapnya saat kami keluar dari lift.
"Kan aku sudah minta maaf," sahutku membela diri, mengekori langkahnya.
Dia terkekeh. Tangannya mengambil key card dari saku celananya. Aku melihat nomor pintu yang dia dekati. 1404. Tidak lama pintu itu terbuka. Kamar yang mininalis tapi cukup membuat tamu nyaman bermalam di sini. Aku masih mengekori langkahnya. Dia mengambilkan sebotol air mineral untukku dan mempersilahkan aku duduk di kursi yang menghadap jendela. Dia bergerak membuka lebar gordyn pintu kemudian duduk di sela kecil pinggiran jendela.
"Ini adalah hal yang nggak pernah aku bayangkan," ucapnya diakhiri dengan tawa kecilnya.
Aku mengerutkan keningku.
"Maksudmu?"
Dia mengedikkan bahunya. "Ya, aku begitu nekat menemuimu."
"Jadi... kamu menyesal?"
"Sama sekali enggak. Cuma... aku masih berpikir ini mimpi. So, anyway... kamu sudah makan malam?"
"Belum. Kamu?"
"Baguslah. Aku belum makan seharian. Nunggu kamu. Dan aku hampir mati bosan. Kamu akan bermalam kan?"
Seketika aku menggerakkan mataku, menatap dirinya terkejut. Ini adalah hal yang tak pernah kupikirkan. Aku hanya memikirkan ingin bertemu sebentar lalu pulang. Dan aku akan menemuinya esok pagi lagi.
"Hah?" Aku tergagap dalam dudukku.
"Iya. Kamu bermalam kan di sini? Jangan bilang kamu akan pulang."
Aku terdiam menelan ludahku sambil memperbaiki posisi dudukku. Dia menatapku menyelidik dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Hah? Aku... aku akan pulang. Kamu benar."
"No! Aku akan menahanmu kalau begitu," sahutnya cepat tidak terima.
"Tapi...,"
"Kai, No! Kamu sudah membuatku bosan menunggumu seharian di kamar. Dan sekarang kamu cuma ketemu aku terus pulang? No, Kai."
"Sam,"
"Tapi aku nggak pernah menginap di luar apalagi dengan orang asing, Sam."
"Oke. Kalau begitu aku adalah satu-satunya orang itu. Jadi, tinggallah di sini dan aku akan memesan makanan untuk makan malam kita."
"Sam, tapi aku harus pulang."
"Iya kamu akan pulang tapi besok siang. Aku akan ikut ke rumahmu."
Aku melebarkan mataku. Ingin memprotes tapi dia sudah keburu menuju ke sudut kepala tempat tidur, memesan makanan untuk makan malam kami. Setelahnya dia kembali tapi kali ini dia duduk di sampingku. Dia menatapiku di antara senyumannya.
"Kenapa kamu lihat aku kayak gitu?" tanyaku mengerutkan keningku.
"No. Just seeing you," jawabnya sambil melarikan tangannya, menyentuh puncak kepalaku.
Aku tertegun sesaat. Sentuhannya membuatku menghadirkan rasa yang salah. Aku tidak bisa menahan diriku untuk membohongi perasaannku. Aku merasa aku dan dia bukan seseorang yang baru saja bertemu dan mengenal. Tapi aku merasa aku dan dia sudah berteman lama.
"Kamu melamun. Kenapa?"
Aku tergagap. "Oh, nggak."
Aku mengedarkan mataku, menatap ke sekeliling kamar, berhenti pada ranjang yang sedikit kusut lalu TV LED yang menempel di tembok, menayangkan chanel HBO.
"Jadi, kamu seharian tidur nonton TV?" tanyaku memberanikan diri menatap dirinya.
Dia cemberut. "Iya. Dan parahnya sekarang dia juga mau pulang lagi."
Aku membulatkan mataku. Dia sedang menyindirku.
"Terus kalau aku menginap?"
"Kenapa? Ranjang itu muat untuk dua orang."
Aku menelan ludahku. Aku belum pernah tidur seranjang dengan pria manapun jujur saja. Dan aku tidak siap untuk ini. Tapi matanya, membuatku tidak tahu harus bagaimana.
"Oke. Kita akan menghabiskan malam bersama. Lalu besok kita akan keliling Jakarta."
Aku tidak mengiyakan ataupun menolak. Aku hanya diam sampai dia beranjak menuju ke pintu dan kulihat seorang waitress datang membawa makan malam kami.
"Sam," panggilku ketika dia kembali duduk di sampingku.
"Jadi apa yang membuatmu nggak nyaman? Apa aku nggak baik di mata kamu?"
"Bukan. Bukan itu maksudku. Tapi...," Ada keraguan untuk melanjutkan kalimatku. Bahwa aku masih memikirkan hal buruk tentang orang asing yang dulu pernah aku buang jauh-jauh.
"Kalau gitu nggak ada alasan buat mengubah keputusan. Oke? So, dont leave me alone tonight."
Aku mengembuskan napasku. Lagi-lagi aku tidak menolak atau mengiyakan. Aku hanya diam menggerakkan sendokku dan memasukkan makananku ke mulutku. Mengunyahnya perlahan. Sedang dia melahap makanannya dengan begitu semangat. Sampai kemudian entah apa yang membuatku memberanikan diri untuk berkata oke.
"Ya. Aku tahu kalau kamu nggak bakal tega sama aku." Dia meringis lebar.
Aku meringis tipis. Tapi dalam hati aku hanya bisa berkata, apapun yang terjadi padaku nanti, baik atau buruk, aku akan siap dengan apapun resikonya. Ini keputusanku dan aku pantang untuk menyesalinya.
***
Tbc
01 Juni 2016
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top