BAB 1
Hy! You there?
I'll call you on WeChat, now.
Aku menghentikan pekerjaanku demi melirik sebuah messenger dari seorang pria asing. Beberapa minggu ini dia begitu intens mengirimi messenger setelah sebelumnya dia mengirimiku chat di sebuah aplikasi chating.
Berawal dari keisenganku dan rasa penasaranku, aku mendownload sebuah aplikasi chating di ponselku. Ya, awalnya aku begitu penasaran dengan orang asing. Apa mereka benar tidak baik seperti yang orang-orang katakan? Free lifestyle.
Aku berpindah-pindah dari satu aplikasi chating ke aplikasi chating lainnya. Dari mulai aku merasa kesulitan menangkap apa yang mereka katakan -karena setiap negara tidak memiliki logat yang sama- hingga aku bisa memahami apa yang mereka katakan. Dari yang aku tidak bisa bicara dengan bahasa internasional sampai sedikit-sedikit aku mulai bisa. Dan aku menikmati proses ini.
Sikap mereka yang terbuka semakin memudahkanku untuk menyesuaikan diri. Sampai lama-kelamaan aku menjadi tertarik dan tidak melirik pria lokal. Mungkin aku sedikit terobsesi tapi ini benar. Bukan apa-apa, mungkin aku hanya merasa jenuh karena untuk kesekian kalinya mereka meninggalkanku dengan berbagai macam alasan. Pada intinya aku bosan dan aku sudah memutuskan untuk melihat dunia luar yang orang-orang bilang sangat liar.
Tapi aku tidak peduli hal itu. Aku menutup telinga tentang bicara miring terhadap orang luar. Yang terpenting bagiku saat ini adalah aku menikmati apa yang sedang menjadi kesenanganku. Hingga kemudian perkenalanku berhenti pada seorang Sam. Dia, Samuel Alexander Suaresh. Seorang pria berkulit khas kauskatik. Pria asal Srilanka berusia 27 tahun.
Dia membuatku semakin tertarik padanya dan aku tidak tertarik untuk chating dengan yang lainnya. Mungkin aku sudah tidak waras lagi. Tapi ini yang terjadi. Dia membuatku menghentikan semua perkenalanku sejak pertama dia mengirimi text kepadaku, Hy!
Kemudian perkenalanku berpindah pada aplikasi lainnya. Bertukar nomor telpon dan video call adalah kegiatanku dengannya setiap hari. Dia selalu menceritakan apa yang dia kerjakan selama seharian penuh. Mulai dari awal bangun lalu berangkat bekerja hingga pulang, tidak ada satupun yang terlewat. Dan semakin membuatku tertarik. Ah, apa aku ini termasuk gadis nakal? Aku pernah menanyakan hal ini padanya. Dia mentertawakan aku.
"Come on. You should open your mind. The world is not about something on your eyes. But there are many things around you."
Aku juga pernah membicarakan hal miring yang kebanyakan orang-orang katakan tentang orang asing. Dan dia kembali mendebatku.
"Nggak semua orang asing itu buruk. Dan nggak semua orang satu asal itu baik. Karena orang baik nggak akan berteriak baik agar orang tahu kalau dia baik. Dia hanya cukup melakukan hal baik tanpa banyak bicara."
Dan itu benar. Apa yang dia katakan semakin membuka pikiranku untuk tidak memandang orang luar itu buruk atau bajingan. Semua tergantung dari apa yang mereka lakukan. Dan tidak semua orang pribumi itu baik. Mereka juga banyak yang buruk.
Hy, answer my call, Dear.
Aku segera mengambil ponselku setelah dia mengirimiku pesan untuk kesekian kalinya karena aku belum kunjung meresponnya. Terlihat panggilan videocall muncul di layar ponselku. Ibu jariku bergerak menggeser tombol hijau dan seketika muncul wajah tampan khas kauskatiknya. Dia memberiku senyuman melengkung ke bawah. Dan aku membalasnya dengan cengiran lebar.
"Are you busy?"
Dia langsung menyapaku dengan pertanyaan itu. Aku tahu, itu tandanya dia sudah tidak sabar menunggu balasan dariku.
"Just little," jawabku sambil memutar ponselku, memperlihatkan tumpukan berkas yang harus kuteliti hari ini. Biar kuberi tahu. Pekerjaanku adalah seorang admin di sebuah outlet minuman. Pekerjaanku menghimpun laporan penjualan di setiap outlet dan memindahkannya ke dalam komputer.
"Okay, I'm so sorry. Just wanna remind you, we'll meet on next week," ucapnya mengingatkanku tentang rencana pertemuan pertama kami.
"Oke. Aku akan mengabarimu lagi nanti," jawabku sambil melirik kalendar meja yang terletak di samping laptop kerjaku.
"Oke. Kabari aku. Tapi kupastikan kamu harus bisa. Aku sudah membooking tiket untuk minggu depan."
Aku mengembuskan napasku. Sejujurnya aku masih sedikit ragu untuk bertemu langsung dengannya. Karena cerita buruk mengenai orang asing masih sedikit mengganggu pikiranku. Bagaimana kalau hal tersebut memang benar-benar terjadi? Human traffic, sex crime atau malah penculikan? Semuanya mulai mengganggu pikiranku. Padahal tadinya aku sudah mengenyahkan pikiran buruk itu dari otakku.
"Kai, are you still at there?"
"Yes, I am," sahutku sedikit tidak fokus.
Aku mendengar dia menghela napas panjangnya. Pikiranku kembali menimbang untuk menemuinya atau tidak. Tapi sisi batinku mengasihani dirinya jika aku tidak menemuinya. Dia sudah jauh-jauh terbang ke Jakarta untuk menemuiku. Seseorang yang belum jelas wujudnya.
"Kai,"
"Ya, oke. Kita akan bertemu. Weekend depan sesuai dengan kesepakatan kita."
"Good. Jangan kamu ubah lagi keputusanmu. Aku sudah booking tiketnya. Nanti aku kirim lewat email biar kamu percaya."
"Hm. Aku percaya, Mr. Sam," dengusku.
Dia tertawa kecil memperlihatkan deretan gigi putihnya yang memiliki anak gigi di kedua sudut bibirnya seperti vampire. Tapi itu menambah kesan manis di setiap senyumannya.
"Oke. Kamu akan melanjutkan pekerjaanmu?" dia tertawa mengejek, "Aku akan makan apelku."
Dia memamerkan apel merah besar itu kepadaku. Aku melirik jam di dinding. Pukul sepuluh pagi. Dan aku mulai menghafal apa saja kegiatannya, termasuk makan apel di jam sepuluh pagi. Kulihat dia mulai menggigit apelnya lalu mengunyahnya pelan tapi matanya tak lepas mengamatiku. Aku menautkan alisku.
"Kenapa kamu lihat aku begitu?" tanyaku mengernyit.
"No. Just seeing you. Is it wrong?" Dia menahan senyumannya di antara kunyahannya. "Kai."
Dia mendekatkan wajahnya ke kamera. Aku bisa melihat sepasang mata elangnya yang berwarna hitam itu dengan sangat jelas.
"Hm?"
"Aku akan menelponmu jam makan siang nanti, Oke? Sekarang aku harus kembali bekerja."
Aku tahu. Dia memiliki waktu sepuluh menit untuk brunch, memakan jatah apelnya lalu kembali bekerja. Dia bekerja di sebuah perusahaan sebagai software enginer.
"Begitu aku telpon, kamu angkat. Aku benci diabaikan," ucapnya bernada kesal.
Aku memang sering membiarkan telponnya berakhir tanpa kurespon jika aku masih memiliki banyak pekerjaan. Dan biasanya dia akan memberengut kesal, mengirimiku pesan tanpa henti dan menelponku sampai aku menjawab telponnya.
"Yeah. Baiklah, Mr. Sam. Sampai jumpa nanti."
"Jangan meledekku dengan panggilan itu, Kai." Kalimatnya bernada geram, tak senang.
Aku terkikik kecil kemudian mengakhiri video call darinya. Tanganku meletakkan kembali ponselku di atas meja. Tapi mataku masih melirik ponselku. Dalam hati, aku menghitung dari satu sampai tiga. Pada hitungan ketiga, Sam pasti akan menelponku lagi lengkap dengan raut wajah kesalnya karena aku mengakhiri videocallnya secara sepihak.
Benar saja. Pada hitungan ketiga, ponselku kembalu berkedip-kedip. Ada wajah Sam di sana. Dia menelponku kembali. Dan aku tahu, untuk mengingatkanku bahwa dia benci ditinggalkan begitu saja. Aku sengaja membiarkannya.
Kailana!!!
Tiga pesan bernada sama. Yang terakhir lengkap dengan emote marah.
Aku akan menelponmu nanti, Sam.
Jemariku mengetik dengan cepat sebuah balasan pesan untuknya. Kemudian aku kembali meletakkan ponselku dan melanjutkan pekerjaanku. Sekali lagi mataku melirik sebuah balasan selang tiga detik darinya.
Aku tunggu! 12.00 pas!
Aku melebarkan mataku, menahan senyum geliku ketika melihat tanda baca seru menghiasi balasan pesan darinya. Tapi aku tidak berniat membalas pesan darinya saat ini. Nanti saja aku akan menelponnya via WeChat.
"Kai? Astaga," seseorang berdecak di depan meja kerjaku, "Aku pikir aku punya teman sedikit menggila saat ini. Aku perhatiin kamu daritadi ketawa, senyum-senyum sendirian."
Aku menengadahkan wajahku dan mendapati wajah sebal dari sahabatku ini. Isna, satu tahun di atasku kini menatapku curiga.
"Sam?" tanyanya sambil memiringkan kepalanya.
Dan aku menjawabnya dengan senyuman lebarku. Dia mengembuskan napasnya sambil berjalan ke meja kerjanya.
"Yea, Nyonya Sam. Aku paham. Sebaiknya kalian segera bertemu biar lebih saling mengenal."
"Jangan berpikiran sejauh itu, Isna. Aku... cuma mencari kesenangan."
Dia selalu meledekku dengan panggilan nyonya Sam. Dan itu menyebalkan. Sampai detik ini aku belum menemukan jawaban kenapa orang-orang selalu berpikir yang berlebihan tentang kedekatan seseorang. Padahal aku dan Sam hanya sebatas teman chating. Meski jujur aku memang sedikit tertarik dengannya. Tapi aku tidak berani menaruh harapan padanya. Bagaimanapun dia orang asing dan aku tidak mengenalnya dengan baik. Aku butuh mengenal jauh seseorang untuk menjalin sebuah hubungan.
Aku menggelengkan kepalaku. Entah pikiran gila apa yang melintas di otakku sepagi ini. Aku menghayalkan sesuatu yang tidak mungkin, hal yang sering Isna ributkan jika membicarakan tentang Sam. Aku dan Sam dalam sebuah hubungan? Ah, itu rasanya terlalu tinggi bermimpi.
Meski aku menyukainya tapi yang jelas aku tidak mungkin menaruh harapanku padanya. Aku hanya tidak ingin menelan kekecewaan.
Aku mengembuskan napasku, kembali melanjutkan pekerjaanku. Aku menulikan pendengaranku dari Isna yang masih saja meributkan soal Sam. Aku pikir sebenarnya dia tertarik dan mendambakan seseorang seperti Sam. Aku melenguh tanpa sadar. Ini salahku. Kalau saja aku tidak memperlihatkan foto Sam dan memberinya akses untuk membaca chat dari Sam, mungkin dia tidak akan berisik seperti saat ini.
***
Segini dulu cobain. Ga yakin bisa lanjut :D
sedikit true story. Dan itu real pictnya.
Dan sayangnya aku udah ga berhubungan lagi karena ada trouble dg ponselku. Jadi aku nonaktifkan jejaring sosial itu.
Anyway, Sam, sorry i used ur pict on my story :p
03 Mei 2016
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top