6# Alumni Hati
Mantan adalah alumni hati, jadi jangan heran kalau bakal ada reuni lagi
*
*
Siena duduk di kursi pantry dengan pandangan menerawang. Tangannya mengaduk kopi dalam cangkir yang baru saja dituangi air panas dari dispenser. Tetapi pikirannya berkelana menjelajah akan perlakuan Arshaka saat ini.
Sikap Shaka benar-benar menyebalkan. Padahal kemarin Siena sempat takjub karena sisi manis Arshaka masih melekat. Ternyata dia salah terka. Siena bisa menghitung berapa banyak sikap kurang mengenakan Shaka di hari pertamanya kerja.
Siena memang merasa bersalah atas sikapnya di masa lalu. Tetapi Shaka juga tidak seharusnya balas dendam dengan cara superhalus begini .... dengan memperalatnya.
Siena menarik kesimpulan bahwa Shaka masih memendam rasa sakit hati atas ulahnya terdahulu. Kelebat ingatan Siena sontak menampilkan kembali kilas balik adegan lampau.
**
Siena duduk di tepi lapangan basket. Di tengah-tengah sana Arshaka sedang memainkan bolanya. Lelaki itu latihan rutin seperti biasanya saat jam bubar sekolah. Basket dan Arshaka memang tidak terpisahkan. Dari pinggir lapangan Siena sesekali meneriakkan sorakan penyemangat untuk Shaka.
Shaka berhenti mendribble bola setelah beberapa kali berhasil memasukan ke keranjang. Dia terduduk di tegel lapangan dengan peluh menetes membanjiri hampir seluruh permukaan wajah.
Siena dari kejauhan mengangkat botol mineral ke arah Shaka, isyaratkan agar lelaki itu menepi dan istirahat. Shaka melempar bolanya pelan, sengaja agar bergulir menggelinding ke arah Siena duduk.
"Capek banget keknya." Siena menyerahkan handuk kecil dan botol berisi air pada Shaka. Lelaki itu menyambut dengan senyum semringah.
"Makasih ... Sayang," ucapnya dengan suara lembut. Siena menunduk. Kedua tebing pipinya bersemu merah setiap kali Arshaka memanggilnya dengan sebutan sayang.
Layaknya remaja pada umumnya yang mengalami cinta pertama. Siena juga rasakan hal sama saat Shaka mengutarakan isi hati. Shaka tak hanya menjadi idola karena dia ketua OSIS dan kapten basket kebanggan di SMA Taruna Bakti. Rupa menawan tanpa cela semakin membuat Arshaka menjadi idaman para gadis di sekolahnya. Dari sekian banyak paras cantik, pilihan Shaka jatuh pada Siena. Adik kelas yang baru memasuki kelas 10.
"Na, aku mau ngomong sesuatu."
"Apa?" Siena perhatikan manik cokelat milik Shaka menatapnya dengan pandangan serius. Laki-laki itu memutar tubuh sampai pada posisi duduk berhadapan dengan Siena.
"Kamu mau ngomong apa, Kak?" Ditatap dari jarak dekat, tak olah membuat Siena diserang buncah gugup.
"Bentar lagi aku bakalan lulus ..." Suara Shaka melemah. Lelaki itu menjeda kalimat, sembari mengembuskan napas panjang.
"Terus?" Sebelah alis Siena terangkat, bingung.
Shaka mengambil tangan Siena untuk kemudian dia genggam erat, "Kamu ga sedih, kita bakal pisah, ga bisa sama-sama lagi?"
Siena sontak menarik tangan. Gadis itu kaget lebih tepatnya. Pasalnya walau dia menerima Shaka sebagai pacar, untuk pertama kali dalam hidupnya, Siena memiliki makhluk yang disebut 'pacar' tetapi dia masih mengingat pesan-pesan sang ayah. Ayah selalu mengingatkan anak gadisnya kalau jangan biarkan laki-laki yang belum jadi suami mendapat kesempatan untuk menyentuh. Meski hanya sebatas gandengan atau genggaman tangan, apalagi sampai melalukan hal-hal lebih. Siena sudah menjelaskan tentang prinsipnya pada Shaka. Dia menerima Shaka asal dengan satu syarat, tidak mau ada skinsip meski status mereka pacaran. Bukannya marah, Shaka malah tersenyum kagum, mengatakan bahwa sangat jarang saat ini dia temui gadis yang benar-benar menjaga prinsipnya. Status memang pacaran, tapi pergi nonton atau jalan selalu rame-rame. Biasanya berempat atau berlima dengan teman lainnya.
"Kenapa harus sedih, kan masih bisa ketemu. Memangnya Kak Shaka mau kuliah di mana setelah lulus nanti?" Siena berbicara dengan nada ceria agar wajah sendu Shaka bisa tersenyum lagi.
"UI, semoga saja keterima ya, biar ga jauh-jauh, masih bisa ketemu kamu terus. Tapi, plan B kalau misalnya nggak ... rencananya di UGM."
"Jogja?" Tebak Siena kali ini dia yang tercenung. Meski reflek terkejut, tapi dia tetap memasang ulasan senyum. Dia tidak mau menjadi alasan Shaka mengejar cita-cita. Kuliah lebih penting, dari hubungannya yang baru berjalan seumur jagung.
Shaka mengangguk, "Na, papa selalu mewanti, kakau aku udah dewasa, udah menemukan perempuan yang pas, aku harus belajar tanggung jawab dan serius." Shaka berbicara dengan nada lembut, tatapannya tak teralihkan dari netra Siena. Menandakan jika setiap kalimat yang keluar dari bibirnya adalah keseriusan. "Sekarang aku udah mulai usaha meski baru sebatas kecil-kecilan, aku mulai bisnis dari hal-hal yang aku suka. Memang, baru merintis, tapi aku yakin suatu saat nanti dengan kerja keras, pasti hasil tidak akan mengkhianati usaha." Shaka masih menjabarkan prolognya. Siena menyimak dengan takzim.
"Aku bangga sama kamu, Kak. Kamu ga gengsi buat buka usaha sendiri. Masih kelas 12, tapi udah punya penghasilan sendiri." Siena berkata dengan binar kagum pada Shaka. Selama ini yang Siena tahu, Shaka itu orangnya sangat ulet. Rajin dan pekerja keras. Siena tidak tahu seluk-beluk dan latar keluarga Shaka, karena lelaki itu belum pernah sekalipun mengajaknya main ke rumah. Yang Shaka katakan, dia memulai usaha tanpa campur tangan kedua orangtuanya.
"Na, meski baru kelas 12, tapi dari awal deketin kamu, aku janji sama diri sendiri kalau aku bakal serius sama kamu. Mungkin terdengar receh ... dan gombal, tapi kamu yang pertama mengisi hati, aku maunya kamu juga yang terakhir dan untuk selamanya berdiri di sisiku."
Siena terharu meski ingin tertawa mendengar kalimat Shaka yang tiba-tiba terlihat aneh saat berbicara seserius ini. Siena hanya mengedipkan matanya beberapa kali.
Bagi Siena, serius saat ini untuknya hanya soal belajar, fokusnya bukan pada hal lain. Untung hubungannya dengan Arshaka, Siena jalani saja dengan mengalir tanpa dijadikan beban.
"Kayak orang dewasa aja kamu, Kak." Siena terkikik pelan.
"Aku serius, kamu mau, nggak, nunggu aku sampai nanti lulus kuliah, setelah itu aku bakal datang menemui ayah dan ibu buat melamar kamu."
Siena berhenti tertawa, kerongkongannya terasa tersekat. Lidahnya mendadak kelu mendengar pengakuan Shaka. Arshaka yang baru akan lulus SMA sudah berani menyatakan tentang sebuah keseriusan. Apa itu bukan gombalan receh semata?
Sepertinya tidak, Siena belum pernah melihat Shaka menebar banyak ucapan cinta pada gadis lain. Pun dengan cerita teman-teman atau kakak kelas perempuan. Shaka malah susah dekat dengan siswi lain selama ini. Baru Siena seorang.
***
"Astaga ... Mbak Siena, itu kopinya sampai tumpah meleber kemana-mana!"
Suara Mbak Winda mengangetkan Siena. Sontak pikirannya kembali ke saat ini. Benar saja, kopi yang diaduk meleber keluar dari cangkir memenuhi tatakan, sampai terpicrat ke meja pnatry. Siena menepuk keningnya sendiri.
"Maaf Mbak, kelupaan." Ringis Siena. Alamat kena damprat bos keparat ini. Batin Siena menggumam.
"Ngelamunin apa hayo?" Salah satu tangan Mbak Winda menepuk bahu Siena pelan. Sejak masuk ke kantor ini Mbak Winda memang yang paling akrab dengannya meski baru kenal sebentar.
Siena menggeleng disertai senyuman mendengar pertanyaan Winda.
"Mbak Siena jangan kaget ya, Pak Bos memang gitu, kalau kami karyawan di sini udah ga kaget lagi." Penjelasan Winda malah menarik atensi Siena.
"Memangnya ada apa, Mbak Wind?" Tanya Siena penasaran.
"Lho, bukannya Mbak Na ngelamun gegara mikirin Pak Bos?" Mata Winda menyelidik.
Iya, memang tidak sepenuhnya salah tebakan Mbak Winda. Hanya dia heran, darimana perempuan itu tahu kalau yang membuat Siena melamun adalah ingatan kenangan bersama Arshaka. Siena menggeleng pelan.
"Maksudnya, Mbak?"
"Pak Shaka memang gitu Mbak Na, assistennya yang dulu, sebelum Mbak Siena, habis dipacari sama Pak Shaka sendiri. Ga lama, paling lama cuma seminggu, setelah itu diputusin. Ngelihat tadi pagi lo berangkat bareng semobil sama Pak Bos, anak-anak pada taruhan, kira-kira sama Mbak Siena ini Pak Shaka bertahan berapa lama." Winda enteng sekali menjabarkan tentang 'bobroknya' sikap bos mereka.
Siena terbeliak dengan penjelasan Winda. Kedua tangannya sampai menangkup di mulut. Kaget. Sekeparat itulah sikap Shaka saat ini!
Winda memukul bibirnya sendiri saat menyadari banyak keceplosan di depan Siena, "Eh, lupain aja Mbak Na, tadi gue cuma ngawur ngomongnya." Winda mengelus sebelah lengan Siena, sebelum beranjak meninggalkan pantry usai mengisi botol bapperware-nya dengan air.
Gegas Siena membuat kopi baru pesanan Shaka. Menuang bubuk kopi ke dalam cangkir sejurus menyeduh dengan air panas. Bibirnya tertarik sebelah, Siena tersenyum miring. Arshaka, bos rasa musuh itu memang sangat menyebalkan. Rasa kagum Siena yang masih melekat di dasar hati tiba-tiba menguap entah kemana.
Siena berjalan anggun menuju ruang Shaka dengan kopi di atas nampan. Berjalan tegak menghampiri meja si bos, kemudian meletakkan kopi pesanan Shaka di meja kaca, "Kopinya, Pak," ucapnya masih memaku berdiri di sebelah meja--kalau-kalau akan ada instruksi lain dari Pak Bos.
Shaka bergeming. Mata lelaki itu masih fokus pada layar komputernya tanpa menjawab kalimat Siena sedikitpun.
"Lima menit lebih tujuh puluh detik. Kamu gagal menjalankan tugas dengan baik!" Tanpa menoleh sedikitpun kalimat pedas itu meluncur menghardik telinga Siena. Ingin rasanya keluar umpatan dari bibir Siena, andai dia tidak ingat yang ada di depannya itu adalah bosnya.
"Ngapain kamu berdiri di situ? Pergi ke meja kamu sana!" Suara bariton milik Arshaka menghujam rungu Siena. Gadis itu mengangguk patuh,
"Baik, Pak." Suara Siena melemah. Dia pasrah atas tindakan semena-mena Arshaka di hari pertama kerja. Sungguh kombinasi sempurna untuk meluluh-lantakan semangatnya hari ini. Siena terpaku di depan layar laptop, jarinya mulai sibuk mengetik dan menyusun jadwal Shaka selama satu Minggu ke depan.
Pagi berganti siang, sebentar lagi jam istirahat dan makan siang. Pintu ruangan yang terbuat dari kaca terbuka lebar. Baim melongok ke kubikel Siena, "Na, istirahat dulu, maksi yok!" Ajaknya pada Siena dibalas senyum serta anggukan. Di meja utama yang tidak jauh dari mereka, deheman keras Arshaka menginterupsi.
"Keselek, Pak? Minum dulu makanya," cetus Baim.
Shaka memandang jengah ke arah mereka, tangannya meraih kopi yang tadi dibawakan Siena. Panasnya telah menguap, sudah terlanjur disentuh, Shaka hidup sedikit cairan pekat berwarna hitam tersebut. Baru seruputan pertama reflek disemburkan saat merasai minumannya serupa garam. Asin sekali.
Baim tertawa, "Makanya bismilah dulu Pak, main nyosor, keselek beneran jadinya, kan."
Siena tidak berani ikut tertawa meski ingin.
Shaka meletakkan cangkir dengan kasar, sampai terdengar bunyi gesekan saat benda cembung berbahan porselen itu menyentuh tatakan dengan bahan sama di bawahnya. Tangan kekarnya bergerak menggulung kemeja panjangnya sampai sebatas siku, matanya mengarah tajam ke arah sang asisten, Siena.
Gadis itu tertawa puas dalam hati. Dipecat urusan belakang. Orang cangtip pasti bakal gampang dapat kerjaan lain, kan. Siena tidak takut, sejak pagi sudah menahan polah Pak bos yang seenaknya sendiri, giliran Siena membalas sifat culas Pak Shaka - dengan menaburkan serbuk garam ke dalam kopi pesanannya. Impas!
🌻🌻🌻
Aslinya mau update semalam, tapi sinyal ngajak gelud.
Insyaallah nanti malam aku update lagi.
Jan lupa komen sama vote ya.
1652
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top