1# Interview
Sejak bakda subuh tadi Siena terlihat sangat antusias menyiapkan segala keperluannya untuk hari ini. Pasalnya ini adalah waktu yang sangat dia tunggu. Setelah sekian lama mengirim lamaran ke banyak perusahaan. Akhirnya embus semilir angin menyapa juga saat salah satu perusahaan menghubungi untuk melakukan sesi interview.
Sudah hampir empat bulan ini Siena menghabiskan waktu di rumah, terhitung sejak resign karena ingin fokus mengurus sang ibu yang sakit-sakitan. Tadinya Siena bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang properti sebagai sekretaris direktur pemasaran. Siena sering telat, bahkan sampai beberapa kali mendapat surat peringatan. Bukan tanpa sebab, karena dia harus mengurus sang ibu dulu, sebelum berangkat kerja. Karena tidak enak hati, akhirnya Siena memilih resign, agar bisa fokus menemani ibu. Rencana jangka pendeknya, sembari menaruh lamaran di beberapa lowongan kerja.
Ibu Siena menderita diabetes kompilasi sampai ke ginjal. Setelah menghabiskan dari waktu ke waktu di rumah sakit, pada akhirnya takdir berkata lain. Rahma-ibu Siena mengembuskan napas terakhirnya empat puluh hari lalu. Siena yatim sejak usia sepuluh tahun. Hidup bertiga bersama Rahma dan Andra-adik satunya yang saat ini masih duduk di bangku SMA.
Rumah peninggalan almarhum ayah sudah terjual untuk biaya pengobatan ayah, dan rumah sebelumnya yang mereka tinggali kepunyaan almarhum nenek juga sudah terjual untuk biaya berobat ibu. Tidak ada harta berharga yang tersisa, selain sisa hutang yang masih menumpuk, menunggu untuk segera dilunasi. Untuk bertahan hidup selama beberapa bulan ini Siena mengandal uang gaji yang dia tabung selama beberapa bulan.
Rumah kontrakan tipe 36 dengan dua kamar saat ini ditempati Siena bersama Andra. Aktivitasnya dimulai sejak sebelum subuh berkumandang. Siena biasanya sudah bangun, membasuh wajah dengan gemericik wudhu, lalu mengangkat takbir, salat fajar dua rakaat sebelum subuh. Siena selalu ingat nasihat ibu yang pernah mengatakan; "Dua rakaat sebelum subuh, lebih baik dari dunia dan seisinya."
Sudah dua tahun Siena mantap melaksanakan kewajibannya sebagai muslimah sejati. Menutup auratnya rapat.
"Ndra, kakak udah masak banyak buat kamu makan siang nanti. Jaga rumah, hari ini kakak ada interview. Doakan semoga lolos dan ketrima." Siena menata hidangan hasil jerih tangannya di meja makan sederhana yang ada di seberang dapur. Hanya tumis sawi campur irisan bakso, tempe goreng tepung, atau mendoan, serta beberapa potong nugget sisa kemarin yang ada di kulkas.
"Uhm ... Kak, Andra mau ngomong sesuatu."
"Apa Ndra, ngomong aja, kakak buru-buru mau siap-siap."
"Itu Kak ... Uhmm ..." Ucapan Andra menggantung.
"Apa sih, Ndra, buruan ngomong."
"Tadi Andra ditanya sama guru, kapan mau melunasi SPP sama daftar ulang. Bentar lagi ujian, kalau Andra belum melunasi, katanya ga bisa ikut ujian, Kak."
Siena embuskan napas kasar. Bathinnya sesak mendengar kalimat sang adik, tetapi dia harus kuat dan tetap tersenyum di depan Andra.
"Kamu tenang aja, Kakak usahakan secepatnya sebelum ujianmu dimulai. Yang penting kamu fokus belajar aja, Ndra."
Andra mengangguk dengan kalimat Siena. Bebannya bertambah satu lagi.
***
Shaka mematut diri di depan cermin dalam ruang pribadinya. Beberapa kali mengganti kemeja karena dirasa kurang sesuai. Terhitung enam kemeja berbeda warna tergelar berserak di lantai maupun ranjangnya.
"Shaka, sarapan dulu, Mama tunggu di meja makan!" Sebuah ketukan disertai ajakan terdengar di balik pintu kamar Shaka.
"Iya Mam, bentar," sahutnya singkat.
Shaka berputar sekali lagi, menyaksikan pantulan dirinya dengan penuh percaya diri. Bukan tapa alasan dia ingin tampil tanpa cela hari ini. Pasalnya pagi ini Shaka ingin turun langsung, mengintip dari ruang HRD yang akan meng-interview calon pegawai baru yang kemarin dipilih mamanya. Siena Sabitah Erlangga.
Shaka melangkah penuh percaya diri.
"Shaka, kali ini mama minta kamu jangan yang aneh-aneh lagi. Tobat mama sama kelakuan kamu," desis Ratih saat sang putra sudah duduk di meja makan.
"Orang ganteng mah bebas, Mam," cengir Shaka mencandai Ratih.
Ratih melotot. Geram dengan polah putranya, "Sudah deh, biar bagian HRD saja yang interview calon pegawai baru. Kamunya ga usah ikutan, yang ada nanti malah kamu usir calon sekretaris pilihan mama. Kali ini mama serius, tidak mau dengar bantahan atau penolakan. Kalau perlu ga usah pakai tes segala, langsung terima saja!" Peringat Ratih. Shaka membeliak.
"Mana bisa gitu, Mam. Tentu harus sesuai SOP dan prosedur perusahaan dong," jawab Shaka.
"Sudah cukup main-mainnya Shaka! Kamu ini bukan bocah lima tahun lagi. Kamu sekarang laki-laki dewasa, yang harus kamu pikirkan sekarang ini harusnya serius sama satu perempuan. Bawa calon istri ke hadapan mama."
"Yasalam, Mam. Come on, ini abad milenial, lelaki membujang sampai usia 40 juga udah biasa banget, Mam." Selalu ada saja cela dan argumen Arshaka ketika Ratih sudah membahas soal pernikahan.
Ratih melahap potongan roti panggangnya dengan gerutuan kecil, samar-samar terdengar omelannya karena sikap putranya yang belum berubah tersebut.
Arshaka Ramadhan yang berusia 26 tahun, tapi di umurnya yang sekarang lelaki ini telah mapan tidak hanya secara penampilan fisik, tapi juga finansial. Sukses besar diraih dengan kerja keras sejak duduk di bangku kuliah. Lupakan sejenak jika kalian berpikir tentang privilage karena Shaka memulai semuanya dari nol, tanpa bantuan kedua orangtuanya, meski dia memiliki akses untuk hal tersebut.
Kecintaan Shaka di dunia kuliner membuahkan hasil. Berkat kerja keras dan keuletan Shaka, kini restoran dengan cabang yang berdiri di 20 kota besar, belum lagi beberapa kafe dan studio gym kepunyaannya.
Harta, tahta, Arshaka. Sebuah kombinasi yang sangat pas untuk jadi incaran para kaum hawa. Sayang Shaka masih betah dengan tingkah badboy-nya. Suka gonta-ganti pacar nggak jelas. Tetapi meski begitu Arshaka rajin ibadahnya. Salat lima waktu tidak pernah bolong. Ngaji sama tilawahnya rutin. Mungkin ini yang dinamakan badboy syar'i.
"Ka, ingat pesan Mama---"
"Nggak boleh nolak karyawan baru pilihan mama. Udah hapal di luar kepala Mam, nggak perlu diulang sampai seratus kali." Shaka memotong kalimat Ratih.
"Good," sahut Ratih mengulum senyum.
Shaka menandaskan sarapannya setelah itu pamit pada Ratih. Melangkah dengan buncah menuju garasi, motor matic kesayangan Shaka sudah menanti tuannya. Lupakan sejenak soal mobil sport dengan teknologi SUV. Gaya hidup mentereng bukanlah pilihan Arshaka. Meski ada dua mobil mewah terpakir di carport, tapi Shaka lebih suka tampil dengan sederhana.
Kebanyakan penyakit orang kaya baru itu menaikkan gengsi hidupnya ke level paling atas. Itu juga kadang yang membuat seseorang akhirnya jatuh lagi ke level terendah karirnya saat lebih mengedepankan gaya hidup. Shaka lebih memilih terlihat kere di luar, mentereng di dalam.
Melajukan motor maticnya dengan kecepatan sedang, pikiran Shaka banyak dijejali angan bagaimana nanti jika bertatap muka dengan Siena.
Hai ...
Hallo Siena ...
Assalamualaikum Ukhty ...
Apakabar, Na? ....
Oh My Allah ... Shaka bingung!
Otak Shaka malah merapal banyak sapaan serta gumaman tak jelas, kira-kira yang mana akan dia gunakan nanti kala bertemu Siena.
Halah, Ka! Udah mantan ini, ga usah dibaik-baikin.
Arshaka terlalu Masyaallah untuk mantan yang sangat Astaghfirullah.
Batin Shaka menggumam sendiri.
***
Sudah satu jam Siena duduk di lobby kantor tempatnya interview. Pandangannya mengitari setiap sudut kantor ini. Meja resepsionis tepat di seberang sofa tempatnya duduk. Mbak Resepsionis mengatakan kalau interview akan dilaksanakan tepat pukul 09.00 pagi ini. Siena menggersah. Kalau tahu begitu, tadi dia tidak akan berangkat pagi-pagi sekali. Menunggu memang sejak dulu menjadi hal yang sangat membosankan, tak terkecuali bagi Siena.
"Mbak, masih lama ya?" Siena kembali bertanya pada Resepsionis.
"Sebentar lagi, Mbak, masih menunggu Pak Direktur. Siena mendelik -- bukannya interview itu tugasnya bagian HRD kenapa Pak Direktur yang harus turun tangan langsung. Ah, Siena jadi makin gugup atas penjelasan Mbak Resepsionis.
Shaka mengayun kaki memasuki loby kantor. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, matanya memindai sosok gadis yang duduk di sofa tunggal. Gadis itu memakai setelan celana panjang dipadu kemeja putih dan jilbab hitam.
Penampilannya memang lebih anggun dari Siena yang Shaka kenal sepuluh tahun lalu. Yaiyalah, dulu abege, sekarang gadis dewasa. Pasti banyak melewati masa puber.
Shaka melakukan gerakan tarik napas, embuskan, sampai beberapa kali. Tadi saja lagaknya sok tidak akan peduli. Profesionalitas semata. Bodo amat sama masa lalu. Cuma mau nyapa, habis itu berlalu. Nyatanya saat sudah dekat, malah jadi gugup sendiri.
Yasalam, ini yang mau interview dia, yang kebagian gugupnya gue. Bangke ...
Masih dengan gerutuan sendiri dalam hati Arshaka.
"Pagi Pak Shaka," sapa Winda, staf resepsionis yang tadi mengobrol dengan Siena. Shaka menjawab dengan senyuman.
Siena sontak beranjak dari duduknya. Badannya setengah membungkuk ingin menyapa calon pak bos, tapi mendadak bibirnya kelu saat matanya beradu pandang dengan manik milik Shaka. Siena mematung di tempat. Kilasan memori lampau reflek berkelebat saat netra cokelat milik pria di depannya itu menembus retina Siena.
Lanjot, gak?
1350
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top