🌻 Chapter 8 🌻
"Sesungguhnya Allah SWT tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian," (H.R. Muslim).
_One More Chance_
"Jadi, kita jadian sekarang, Oppa?" Baim hanya mengangguk samar-samar. Masih tak percaya dengan pendengarannya -- bahwa dia ditembak seorang gadis seperti Sintya.
Bukan menjawab dengan iya, atau memberi senyum semringah, Baim menjawab sekilas dengan kalimat, "Mari kita coba..." Nadanya datar. Jangan dibayangkan seperti tone suara Kohl bersaudara. Jangan pula ditirukan.
Ketukan heels Sintya menggema saat gadis itu beranjak dari depan partisi kubikel menuju tempat Baim memaku langkah. Akan tetapi baru beberapa meter Sintya mendekat, Baim menekuk kaki, ambruk ke lantai. Napasnya terdengar tersengal dan putus-putus. Aliran darahnya menjadi tak teratur. Baim berjongkok di lantai dengan tangan memegang dada, terasa ada nyeri menjalar. Perutnya seakan dijungkir balik. Mual. Ingin menumpahkan isi lambung. Dari tempatnya berdiri Sintya terperangah kaget.
"Oppa? Are you okay?" Tanya Sintya. Tangan Baim terangkat ke udara, ingin mengatakan dia baik-baik saja, tapi nyatanya berbanding balik. Peluh membanjiri pangkal dahi Ibrahim Al Mufti. Pandangannya mengabur, semakin lama terasa makin gelap. Seperti awan hitam saat badai mendung menyapa. Sejurus Baim benar-benar tumbang, menyisakan teriakan histeris Sintya dan Ananta yang sejak tadi mengamati dari balik pintu yang tidak tertutup sempurna.
Pak Baim pingsan!
Ananta lekas meminta bantuan pada beberapa karyawan dan sekuriti untuk mengangkat Pak Baim ke ruang kesehatan.
Sintya terlihat menggigiti kukunya yang kali ini bersih dari cat warna. Pandangan gadis itu memancar cemas, "Selalu begini, kemarin juga gini, sekarang lagi," ucapnya yang terdengar seperti sebuah gerutuan. Ananta menoleh Sintya.
"Maksudnya, Mbak?" Tanyanya penasaran.
Sintya dengan gamblang bercerita tentang kejadian kemarin saat di mobil, lalu tanpa sadar mengisahkan bahwa Pak Baim pernah patah hati dan gagal menikah. Ananta mengatupkan tangan di mulut. Tidak menyangkah kalau Pak Baim pernah merasakan kesakitan batin yang luar biasa.
"Pilophobia, mungkin," cetus Ananta.
Sintya ganti menoleh Ananta dengan kening bergelambir, bingung, "Maksudnya, Ta?"
Anantari menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab tanya Sintya, "Sindrom psikis karena takut jatuh cinta, Mbak." Sintya mengangah tak percaya. Memangnya ada sindrom seperti itu? Dari airmukanya seperti ingin bertanya demikian.
"Gue ga paham, Ta."
"Sindrom philophobia, bisa nyerang siapa saja yang pernah merasa sakit hati, kecewa atau trauma karena cinta, Mbak. Seorang penyintas philophobia biasanya cenderung membatasi diri dari hal yang berkaitan dengan masalah hati jika berhadapan dengan lawan jenisnya." Ananta lancar menjelaskan pada Sintya. Bagaimana dia bisa paham dan tahu tentang semua itu? Iya, karena Anantari adalah satu dari sekian ratus atau bahkan ribu orang penyintas sindrom philophobia ini.
Penderita philophobia memang tidak memiliki gejala fisik. Rata-rata terlihat seperti orang normal. Tidak membatasi pergaulan juga, tetapi jika sudah bersinggungan dengan perasaan atau cinta, orang dengan trauma psikis ini akan membentuk sebuah pertahan atau penolakan. Rasa takut gagal lagi, rasa kurang percaya diri terhadap pasangan, takut kejadian menyakitkan berulang lagi, yang akhirnya membuat tubuh memberi sinyal penolakan. Akibatnya seseorang dengan gangguan ini bisa tiba-tiba sesak napas, mual hebat dan muntah atau pingsan.
Ya, philophobia adalah jenis fobia ketika seseorang merasa takut untuk jatuh cinta, bahkan menganggap bahwa memiliki hubungan emosional dengan lawan jenis adalah suatu ketidakmungkinan.
"Astaga, terus gimana cara ngatasinnya, Ta? Jadi Oppa bisa sembuh, ga?" Ananta mengangguk pasti. Semua penyakit ada obatnya, nggak ada yang nggak mungkin.
"Insya Allah, bisa Mbak. Terapi dan konsultasi ke psikolog atau psikiater bisa dilakukan. Dukungan dari orang terdekat juga bisa mempengaruhi." Ananta menggengam tangan Sintya. "Kalau Pak Baim sangat berarti buat Mbak Sintya, dampingi dia ya. Bantu dia buat sembuh dari rasa traumanya," sambung Ananta meyakinkan Sintya. Dia tahu, bagaimana tersiksa menjadi seorang dengan trauma yang melekat. Sat hatinya ingin menambat pada atau hubungan emosional, tapi jiwanya menolak.
Sintya berdiri dengan tangan terlipat di dada. Gadis itu melirik sekilas ke arah bed tempat Baim berbaring, "Hmm, gue bakal coba, Ta. Meski ga yakin."
Ananta memandang Sintya dari tempatnya duduk. Agak terkejut kenapa harus ada kalimat, tidak yakin. Kalau benar ingin bersama, harusnya yakin yang menjadi pilihan Sintya.
"Ta, gue keluar bentar ya. Bisa ga, gue minta tolong jagain Oppa bentar, nanti kalau dia udah sadar WA gue, ya." Ananta baru akan pamit kembali ke kubikelnya, tapi Sintya lebih dulu meminta tetap di sini. Dia tidak punya pilihan lain. Membiarkan Baim di sini juga kurang etis rasanya, setelah kebaikan yang banyak Ananta terima.
Sintya pergi, tidak lama Arshaka datang. Shaka langsung masuk dan duduk di tebing bed tempat Baim rebah. Diamatinya wajah pucat kawan baiknya.
"Maaf Pak, tadi saya sudah mau balik, tapi Mbak Sintya minta saya tetap di sini," ucap Ananta pada Pak Shaka. Bosnya itu menggeleng pelan.
"Nggak papa, udah bener, kamu di sini aja dulu, siapa tahu nanti Baim butuh sesuatu pas bangun."
"Berisik ..." Suara serak terdengar dari atas bed. Baim sudah sadar, tapi matanya masih enggan terbuka.
Shaka memukul pelan lengan Baim, "Udah sadar Lo? Hari pertama masuk udah dikasih suguhan drama. Gue panggilan ambulan juga, Lo," cetus Shaka. Baim merapal umpatan atas candaan Shaka. Memangnya dia mau berada di situasi seperti sekarang. Yang ada Baim merasa sangat malu. Pasti setelah ini akan habis menjadi bahan ghibahan di kantor.
"Gimana, udah enakan? Kalau ga kuat pulang aja, Im. Biar diantar sopir." Baim menggeleng cepat. Dia pikir kalau sampai pulang dengan keadaan kacau lagi, pasti mama akan dibuat cemas. Biar saja di sini, dibuat istirahat sebentar nanti juga enakan lagi.
Shaka beralih dari duduk, kali ini berdiri dengan kedua tangan berjejak dimasukkan saku celana, "Kalau masih belum bisa lebih baik ga usah coba-coba. Urusan hati jangan dibuat percobaan, Im." Baim hanya angut-angut. Sedang Ananta menjadi penyimak di tempatnya duduk saat ini. Ananta membenarkan apa kata Pak Shaka, dalam hati. Urusan perasaan tidak bisa dibuat percobaan. Anantari sendiri sampai detik ini belum berani membuka hati pada lawan jenisnya. Dia masih menyimpan rasa takut.
"Hmm, Lo benar. Tapi gue udah terlanjur bilang, akan mencobanya dengan Sintya."
"Gue yakin Lo bisa bebas dari rasa trauma itu setelah ini. Pesan gue cuma satu, jangan mainin perasaan Sintya. Meski gue sendiri suka sebal sama dia, tapi Sintya itu baik. Dia titipannya teman bokap di sini." Baim mengangguk lemah. Shaka menepuk-nepuk bahu Ibrahim yang saat ini dalam posisi duduk, sejurus Shaka pamit meninggalkan ruang kesehatan.
Hening sesaat merayapi suasana antara Baim dan Ananta. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Wajah Baim merona. Menahan malu, bisa-bisanya pingsan disaksikan banyak orang. Pasti seisi kantor heboh setelah ini. Suara deheman terdengar dari Baim. Rasanya sama-sama diam menjadi tidak enak suasananya. Dia mulai membuka suara.
"Sintya mana, Ta?" Tanya Baim akhirnya, mencari keberadaan Sintya.
Ananta berdiri menuju sisi tempat tidur, "Tadi izin ke kantin sebentar, Pak. Pak Baim mau minum? Biar saya ambilkan." Baim menggeleng. Dia tidak merasa haus. Ada sebersit penasaran yang ingin Baim tanyakan pada Ananta.
"Ta."
"Iya, Pak?"
"Bagaimana caranya kamu bisa sembuh?" Ananta menoleh bingung atas pertanyaan Baim.
"Sorry, aku dengar semuanya tadi," ucap Baim. Ananta tersenyum rikuh. Perasan dia tidak mengatakan pada Sintya kalau mengalami trauma yang sama seperti Baim. Apa mungkin Pak Baim sudah sadar tapi masih pura-pura tidur?
"Darimana Pak Baim tahu?"
"Waktu di rumah, saya ga sengaja perhatikan kamu terlalu banyak gemetar, Ta. Gugup sampai keringat dingin. Entah saya yang salah tebak atau memang benar kamu juga mengalami seperti apa yang saya alami?" Ananta menggigit bibirnya guna menekan perasaan nyeri yang tiba-tiba meruangi hati. Ananta sudah payah menelan ludah karena mendadak dicekam cemas.
Tebakan Pak Baim tepat sasaran. Tetapi bedanya, yang Ananta alami jauh lebih rumit dan kompleks. Ananta hanya bocah remaja saat kejadian itu hinggap mengoyak perasannya. Bagaimana bisa Ananta tidak merasai kesakitan saat tahu sang ibu yang dia kira setia serta mencurahkan segenap cinta hanya padanya dan sang ayah, nyatanya berkhianat di depan mata Anantari. Remaja belasan tahun itu terpuruk. Sang ibu mengaku jatuh cinta, tidak bisa lagi bertahan di sisi ayahnya. Penghianatan selalu menyisakan luka dan perih tak berkesudahan. Ananta mulai membenci cinta. Andai ibu tidak jatuh cinta lagi, pasti saat itu masih ada di sisinya. Perlahan Anantari tumbuh menjadi gadis yang apatis akan perasannya sendiri. Dia tidak percaya cinta. Atau lebih tepatnya, takut untuk memulai jatuh cinta.
"Sorry, Ta. Kalau kamu ga mau cerita, jangan dipaksa. Maaf, ya." Ananta embuskan napas. Lega saat Baim menyadari dia tidak siap membagi kisah pahit.
"Pak Baim kalau nggak ada yang dibutuhkan lagi, saya izin kembali ke ruangan." Baim mengangguk. Rapalan terima kasih menggema dari bibirnya pada Ananta.
"Ta ...." Sebuah panggilan menginterupsi langkah Ananta. Reflek menoleh ke arah Pak Baim.
"Iya, Pak?"
"Jangan segan kalau butuh teman bicara. Maksud saya, karena kita sama-sama mengalami trauma, mungkin kita bisa saling menguatkan." Ananta mengangguk dengan senyum manis. Iya, tidak masalah. Seorang penyintas traumatik memang hanya butuh didengarkan, tanpa banyak diberi interupsi atau sumpalan perintah harus begini dan begitu.
"Ta." Lagi, Pak Baim menghentikan ayunan kaki Anantari. Gadis itu menaikkan sebelah alis sebagai ungkapan tanya, ada apa lagi, Pak?
"Makasih, ya." Senyum khas itu terbit dari wajah Baim. Kedua lesung pipit serta kelopak monolid yang hilang ditelan lengkungan rahangnya. Ananta kembali mengangguk sejurus keluar melangkah menuju kubikelnya. Tidak bohong kalau dada Ananta berdegub kencang disuguhkan senyuman manis Pak Baim. Kenapa juga akhir-akhir ini laki-laki itu suka sekali menebar senyuman di depan Ananta. Gadis itu merutuk disertai gelengan kecil atas apa yang melintasi otaknya. Anantari belum siap untuk jatuh cinta. Dia masih belum percaya dengan cinta.
🌻🌻🌻
Ditembak jingkrak-jingkrak ✖️
Ditembak malah pingsan ✔️
Siapa?
Pak Aim.🤭
Insya Allah, Hilal menyusul apdet habis ini.
Tabik
Chan
1500
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top