🌻 Chapter 7🌻


Sungguh, skenario Allah lebih indah dari rencana manusia.

_One More Chance_

Lobi kantor sudah ramai karyawan yang datang pagi ini. Jam masih mengarah ke pukul delapan kurang, biasanya karyawan masih pada asyik ngopi cantik di kafe sebelah.  Pasalnya bos besar mulai masuk kembali setelah cuti menikah dan honeymoon, Pak Shaka. Meski belum pernah memberi sanksi tegas pada karyawan yang telat, tapi Pak Shaka mulutnya lumayan pedas kalau sudah melempar majas ironi atau sindiran. Berbeda dengan Pak Baim yang lebih kalem sedikit.

Ananta melangkah menuju kubikel, bersamaan Sintya juga baru datang. Winda di tempatnya menyapa keduanya. Mata Winda mengerjap lucu, sengaja melempar godaan pada Ananta.

"Cieee, yang kemarin habis diajak ke rumah Pak Aim," candanya dengan wajah jail. Ananta sontak memaku langkah. Pun dengan Sintya. Sebenarnya bukan diajak, tapi tidak sengaja diajak. Ananta mengutuk, kenapa semalam keceplosan bisa membahas soal diajak ke rumah Pak Baim dengan chat pada Winda. Semua gara-gara rasa gugup berlebih, di saat bersamaan pesan masuk dari Mbak Winda, otomatis Ananta reflek cerita kalau dia sedang ada di rumah Pak Baim.

"Apa? Ke rumah Pak Baim, gue ga salah dengar, kan?" Sintya menatap Ananta dengan raut menyelidik.

"Mbak, jangan salah paham. Itu ga sengaja kok," tepis Ananta cepat.

"Sengaja juga ga pa-pa, Ta," sahut Winda. Ananta menggigit bibirnya, merasa tidak enak hati pada Sintya. Meski tidak pernah ada kabar bahwa Sintya dan Pak Baim jadian, tapi mereka cukup dekat selama ini. Bahkan banyak dijodoh-jodohkan oleh karyawan yang lain.

"Mbak Wind, nggak gitu." Ananta masih berusaha mengelak godaan Winda, "Mbak Sintya jangan salah paham ya, aku..."

Belum selesai Ananta berbicara tapi Sintya melengang tanpa sepatah katapun. Ananta hela napas panjang. Matanya bersitatap dengan Winda, "Mbak Wind, aku harus gimana dong? Mbak Sintya salah paham lho." Nada bicara Ananta melemah. Di manapun dia berada, Ananta selama ini selalu berusaha menghindari perdebatan. Apalagi dengan teman satu kantor. Ananta lebih baik jadi butiran debu yang tidak terlihat tapi aman dari genggaman siapapun, daripada jadi batu permata tapi menimbulkan hasad bagi lainnya.

"Santai aja sih, Ta. Biasa itu, Sintya emang suka gitu. Nanti juga baik sendiri." Winda berusaha menenangkan. "Lagian dia siapanya Pak Baim, kan mereka ga ada hubungan apa-apa." Masih lanjut Winda. Ananta hanya mengangguk pasrah. Pasti nanti suasana kerja juga jadi Awkward saat bersinggungan dengan Sintya.

"Ada apa ini, masih pagi buta kok nama saya dibawa-bawa?" Ananta menoleh tepat saat Pak Baim melewati meja resepsionis. Senyum lelaki itu terulas tipis pada Ananta dan Winda.

"Pak Baim ini biang keroknya, ada yang cemburu tuh, gegara Pak Baim cuma ngajakin Ananta makan malam di rumahnya." Dasar Winda selalu suka menggoda siapapun.

Mata Baim mengedip beberapa kali, masih menangkap maksud ucapan Winda.

"Sintya, Pak." Winda memberi petunjuk. Baim hanya ber-oh-ria tanpa ingin banyak komentar. Untuk apa juga Sintya merasa cemburu, toh gadis itu sendiri yang tidak betah saat kemarin diajak main ke rumah. Baim menggeleng pelan, masih pagi sudah ada huru-hara. Lelaki itu pamit dan melengang ke ruangannya. Ananta turut pamit pada Winda.

Baim membuka pintu ruangan, saat kakinya terayun masuk, hal pertama yang menyita pandangannya adalah Sintya yang berdiri tepat di depan meja kerja dengan kedua tangan terlipat di dada dan mata berkilat tak suka. Sapaan Baim bahkan tidak dibalas gadis itu. Baim tak acuh, melewati Sintya menuju kursi kerjanya.

"Oppa, ish! ngeselin," protes Sintya dengan bibir mencebik.

"Apa?" Tanya Baim singkat. Lelaki itu mengangkat bahu.

"Oppa jahat!" Baim hela napas kasar mendengar panggilan serta protesan Sintya. Masalahnya ini di kantor, mereka harus profesional, kan. Tidak mencampur adukkan masalah pribadi.

"Sintya, tolong ya. Ini di kantor, nggak enak kalau kedengaran yang lain, apalagi hari ini Pak Shaka mulai masuk kerja." Baim coba bersikap tenang memperingatkan Sintya.

Sintya tertawa sumbang, "Kenapa sih, kamu itu tega sama aku. Kemarin ..." Sintya mulai terisak. Pandangan gadis itu mendongak menatap langit-langit ruangan, "Kamu ga tau gimana takutnya aku kemarin pas lihat keadaan kamu yang kacau. Kamu ga tau kan, aku sengaja menghindar biar kamu tenang, aku pulang, tapi apa? Kamu malah berduaan sama Ananta. Acara makan malam sama keluarga?" Sintya kembali tertawa miring di antara isakan.

Kalau sudah begini, Baim yang bingung. Dia laki-laki bebas, kan? Single. Kenapa harus ada yang keberatan saat dia berteman dengan siapapun. Apa ini yang dinamakan teman tapi posesif. Atau begini memang nasib laki-laki yang ketampanannya di atas rata-rata, selalu jadi penyebab huru-hara di antara gadis yang dekat dengannya. Batin Baim menggumam sok kepedean.

"Sint--"

"Kamu yang dengerin aku!" Sintya memangkas cepat kata-kata Baim. "

"Kamu tahu kalau aku selalu dengan gamblang bilang suka sama kamu. Tapi kamunya ga pernah nanggepin!" Baim memicing mendengar suara lantang Sintya. Habis sudah dia dirajam kalimat penuh gebu emosi gadis itu.  Baim cuma khawatir satu hal, menjadi pusat perhatian karyawan lain. Terlebih kalau ketahuan Pak Shaka. Bukan takut dimarahi, tapi takut dijadikan bahan kecengan.

"Kamu kira ucapanku selama ini bercanda doang? Kamu jahat, Oppa!" Baim tercenung mendengar kalimat terakhir Sintya. Gadis itu terisak dengan kedua tangan menutupi wajah. Baim jadi serba salah. Dia tahu, pasti untuk gadis seperti Sintya mengutarakan isi hati tidak mudah. Pasti Sintya sudah berusaha menekan ego dan gengsinya sendiri.

"Lalu, kamu maunya gimana? Bukankah kita memang hanya teman, patner kerja. Tidak lebih?" Baim ingin mendekat serta menghapus jejak air di kedua tebing pipi Sintya, tapi langkahnya tertahan. Dia pilih memaku di tempat.

Sintya menghapus kasar jejak air di wajah dengan tangan. Suara seraknya terdengar kembali.
"Kasih kesempatan aku buat jadi penyembuh luka kamu. Aku memang selalu cerewet, suka maunya sendiri, kadang egois, tapi kamu juga harus tahu, kalau semua yang aku katakan sungguh-sungguh dan tulus." Sintya mulai agak tenang. Kedua retinanya yang berbalut soflens abu-abu bersitatap dengan netra Baim.

Baim mematung. Otaknya sibuk mencerna kalimat Sintya barusan. Gue ditembak cewe? Mimpi apa semalam?  Pertanyaan yang keluar dalam hati Baim.

"Sintya, kamu tahu, kan, kalau di kantor ini ada peraturan antara karyawan tidak boleh ada hubungan selain rekan kerja" Malah kalimat peraturan perusahaan yang pertama Baim ingat dan tercetus dari bibirnya.

"Aku bakal resign." Sintya berkata serius. Baim terperangah. Hatinya ingin menolak, tapi nuraninya berkata lain saat menyaksikan kesungguhan Sintya. Baim reflek mengangguk-angguk pelan. Entah, dia merasa kasihan atau hanya tidak enak hati pada Sintya.  Senyum terbit di wajah Sintya. Gadis itu berlari kecil menghampiri Baim yang berdiri agak jauh di seberang kubikelnya.

"Oppa serius, kita jadian?" Pertanyaan Sintya sangat sulit untuk dijawab oleh Baim. Dia sendiri tidak tahu apa nama hubungannya dengan Sintya. Karena beberapa waktu ini Baim memang sempat ingin mendekati, tapi setelah berpikir lebih jauh, serta mempertimbangkan saran Arshaka, Baim ingin membiarkan semuanya mengalir sendiri secara alami.

"Oppa?" Lagi, Sintya mempertanyakan kejelasan status mereka pada Baim.

"Hmm, kenapa, Sint?" Jawaban singkat, tapi membuat Sintya reflek terlonjak senang. Gadis itu hiperbola sendiri sampai loncat-loncat tak jelas. Baim menatap Sintya yang terlalu senang ekspresikan perasannya. Lucu dan menggemaskan, tetapi masih ada yang mengganjal di hati lelaki itu. Kenapa dia tidak bisa se-happy Sintya.
Kenapa berat sekali untuk bilang 'iya' pada gadis itu. Rasanya belum siap membuka hati, serta hubungan baru, setelah jalinan kasihnya dengan Inara Malika kandas beberapa waktu lalu.

Di sudut lain ada senyum sendu terulas dari bibir tipisnya. Dia tidak tahu kenapa sudut hatinya terasa seperti diremas dengan hebat, timbulkan nyeri mendapati bahwa dua orang di dalam sana telah berikrar menjadi sepasang kekasih. Yok bisa, yok. Ikut happy juga, kasih selamat buat couple baru-nya kantor. Batinnya bersenandika, isyaratkan kalau dia harus ikut berbahagia dengan kebahagiaan orang lain. Anantari berbalik langkah, meninggalkan pintu ruangan Ibrahim dengan perasaan yang sulit dijabarkan.

🌻🌻🌻

Yang nyiperin Pak Aim - Anantari siapa?
Patah hati, nggak? Pak Aim jadian sama Sintya. 🌝

Repost 25-11-2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top