🌻 Chapter 6🌻
Dari Ibnu Syihab dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi." (HR. Bukhari)
_One More Chance_
Ibraim mengambil alih kemudi saat merasa kondisinya sudah lebih baik. Zhivana duduk di jok belakang atas titah kakaknya, sedang Ananta ada di sampingnya.
Zhivana melirik kakaknya sembari bertanya sekali lagi, takut dan cemas terukir di kedua matanya, kalau keadaan Baim akan kacau seperti tadi. Bukan cuma takut yang Zhi rasakan, tapi seolah sedang bercanda dengan malaikat maut. Ngeri. Zhi tidak akan menyalahkan sang kakak. Kejadian seperti itu selalu di luar kendali Baim.
Ananta terlihat lebih banyak terinteraksi dengan Zhi, keduanya masih terus membahas soal buku dan novel dengan genre yang mereka sukai. Sama-sama menyukai genre romance, thriller, dan juga romance berbalut sisi religi yang ringan. Membacanya membuat mood lumayan baik, daripada novel daring yang mengisi beberapa platform genrenya teenfict yang kadang malah melenceng jauh dari genre. Judulnya teen, tapi isinya kebanyakan percintaan. Bukan menggeneralisasi, memang tidak semuanya, ada sebagian kecil yang benar-benar mengupas tentang sisi kehidupan remaja.
Ananta menunjukkan pada Baim titik tempatnya akan turun nanti. Tetapi laki-laki itu terus melajukan mobil, berlainan arah, Zhi bilang malah menuju rumahnya. Memang sengaja.
Seingat Baim tadi, mama sudah menyiapkan banyak masakan, dikiranya Sintya akan makan malam di rumah, alih-alih akan makan malam bersama, minuman buatan mama saja hanya disesap sedikit. Untung Baim gerak cepat, menyiramkan sisa air sirup pada tanaman yang ada di teras depan. Kalau ketahuan mama pasti banyak mendapat semburan omel. Mubazir. Mama paling tidak suka dengan orang yang suka buang-buang makanan atau minuman. Iya, memang benar, mubazir. Lagipula sudah jelas disebutkan dalam agamanya menyoal adab bertamu. Harusnya untuk menghormati tuan rumah, hendaknya memakan dan meminum yang telah disediakan selama itu baik dan halal.
Jadi, sekalian saja Baim berniat membawa Ananta ke rumah saja untuk makan malam. Mama pasti senang kalau masakannya ada yang mengapresiasi.
"Ke rumah ya, Ta." Ananta reflek menoleh pada Baim. Keningnya berkerut dalam. Lelaki di sebelahnya malah merangkum senyum terkulum.
"Maksudnya, Pak?"
"Diajakin sama Kak Baim ke rumah, Kak," sahut Zhi dari belakang.
"Eh, ngapain? Nggak ah!" Ananta sontak menolak. Dia disergap gugup. Untuk apa Baim mengajaknya ke rumah lelaki itu. Ananta kurang bisa untuk berbasa-basi, apalagi dengan orangtua Baim dan Zhi.
"Ayo dong Kak, nanti Zhi pinjemin koleksi novel punya Zhi," ajak Zhi antuasias.
"Nah, itu diajakin teman baru kamu. Ga boleh nolak, ya!" Perintah Baim. Ananta tersenyum rikuh. Tidak ada pilihan lain, kan, mau menolak juga mobil hang ditumpangi sudah berada jauh dari arah rumahnya.
Mobil yang disetir Baim memasuki pelataran rumah besar bergaya timur tengah, kesan yang tertangkap dari desain yang terlihat, khas rumah yang banyak ditemui Ananta di perkampungan Arab, tapi bedanya rumah Pak Baim mungkin lima kali lipat lebih besar. Elegan dan mewah adalah hal pertama yang Ananta tangkap dari atmosfer rumah tersebut.
Memarkir mobil di carport, sejurus mereka turun. Zhi melengang lebih dulu memasuki rumah. Baim berlari kecil ke pintu samping, tanpa banyak kata lelaki berbadan tegap itu membukakan pintu untuk Ananta. Dada Ananta berdesir saat diperlakukan seperti itu oleh Baim. Tidak semua laki-laki seperhatian itu, kan? Wajar jika perasaan Ananta menghangat, tapi cepat-cepat ditepis olehnya. Ananta tidak ingin terlalu ge-er. Bisa saja memang sikap Baim seperti itu jika memperlakukan lawan jenisnya.
Mengucap salam bersamaan, Baim membawa Ananta duduk di ruang tamu. Ananta menyandarkan diri di kursi bergaya Ottoman dengan karpet besar menjadi alas lantai. Kursi dari kayu jati bergaya khas timur tengah. Mata Ananta reflek mengedar ke sekeliling, seolah dimanjakan dengan arsitektur unik di setiap sudut rumah itu.
"Mau minum apa?"
"Hmm, air putih saja, Pak."
"Nggak mau yang lain?" Ananta menggeleng. Tadi di kafe sudah minum yang manis-manis, sekarang ingin air putih biasa saja.
"Bentar ya." Ananta mengangguk, Baim melenggang dengan suara menggema, mencari keberadaan mamanya. Lima menit berlalu, Baim kembali bersama perempuan paruh baya yang terlihat cantik. Wajahnya khas wanita Asia, bermata sipit, kulitnya putih.
"Assalamualaikum, Tante. Saya Anantari, rekan kerja Pak Baim, tadi nggak sengaja ketemu di Mall." Ananta menyalami tangan mama Baim. Perempuan itu menyambut hangat disertai perkenalan singkat.
"Tadi Sintya, sekarang Ananta. Tante senang sekali hari ini, sehari sudah dua kali Baim bawa teman perempuan ke rumah." Mata Ananta sontak melirik Baim yang duduk di sofa. Lelaki itu mengendikkan bahu.
"Makan malam di sini ya, Tante tadi bikin kimchi, suka makan kimchi nggak?" Pertanyaan mamanya Baim diangguki Ananta. "Tadi Tante juga rencana ngajakin teman Baim satunya lagi, makan malam di sini, tapi dianya buru-buru pergi," sambung mama Baim. Ananta tersenyum sekilas. Suasana hatinya mendadak rikuh. Apa karena itu Baim memaksanya ikut ke rumahnya. Hanya untuk menggantikan Sintya yang tidak jadi makan malam bersama keluarganya.
Irene pamit akan menyiapkan makan malam. Sebentar lagi suaminya datang, dan rutinitas makan bersama selalu menjadi hal yang ditunggu sebelum beranjak menutup hari.
Ananta yang tahu diri beranjak ingin membantu, sebelumnya dia meminta izin pada Baim. Lelaki itu mengangguk, membawa Ananta ke meja makan yang bersebelahan dengan dapur bersih. Irene tampak sibuk menata menu pada wadah set berbahan keramik berbentuk melingkar.
"Ananta bantu ya, Tan." Irene tersenyum, senang dengan tawaran bantuan Ananta.
"Biasanya Zhi yang bantuin Tante, ini tadi dia bilang lagi sakit perut gara-gara hari pertama haid. Terima kasih ya, sudah dibantu." Nada bicara Irene terdengar hangat saat berbincang. Ananta balas tersenyum tulus. Dia senang bisa membantu sekaligus berbincang dengan mamanya Baim. Ananta juga baru tahu kalau ternyata atasannya itu blasteran Korsel-Arab. Pantas Pak Baim kelewatan gantengnya. Eh.
Suara salam dari depan menggema. Ananta tebak pasti itu Abah-nya Baim. Suaranya lantang dan terdengar lugas.
"Bah, ini lho ada temannya Baim." Irene lebih dulu mengenalkan Ananta pada suaminya. Abah-nya Baim menangkup tangan di dada saat menyambut sapaan Ananta.
"Wah, gitu dong, bawa teman ke rumah, Im. Ananta, sering-sering main ke sini, jangan sungkan-sungkan ya." Sapaan ramah juga didapat dari Abah-nya Baim. Ananta membalas dengan senyum hormat. Semua orang di rumah ini sangat menyenangkan, sikap hangat mereka memberi kesan tersendiri bagi Ananta.
"Jangan kaget ya, Abah memang suaranya lantang gitu. Maklum, pedagang kain di Tanah Abang. Hobinya teriak-teriak." Baim terkekeh menceritakan tentang Abbah.
Acara makan malam baru kali pertama Ananta rasakan, berada di tengah keluarga Baim yang ramai, membuat perasaannya disusupi rasa hangat tersendiri. Selama dua puluh satu tahun usianya, Ananta belum pernah merasai bisa berkumpul dengan keluarga layaknya Baim. Lelaki itu sangat beruntung. Memiliki keluarga lengkap yang saling perhatian satu sama lain. Ananta bisa menyimpulkan dari cara mereka berbicara dan responsif satu sama lain.
"Ta, jangan kaget ya. Menu-nya multikultur, ada nasi mandhi, ada bulgogi juga. Korsel dan Arab ketemu di meja makan, jadinya begini. Mama suka sekali kimchi, jadi tiap hari pasti ada acar satu ini. Kalau Abbah selalu suka yang berbau timur tengah."
Ananta mengangguk, tebing pipinya membentuk senyum tipis menanggapi kalimat penjelasan Baim. Ananta duduk bersebelahan dengan Zhi, Baim ada kursi seberangnya.
"Ananta kalau pulang kerja, jangan sungkan mampir ke sini ya. Atau kalau weekend main-main ke sini." Irene -mamanya Baim membuka percakapan di sela kunyahannya. Perempuan paruh baya itu benar-benar refleksi Baim, aktif, suka memulai obrolan duluan. Ananta tidak punya jawaban lain selain iya dan iya Tante.
Tidak ada yang tahu kalau sejak tadi Ananta menahan gugup berlebih sampai tangannya berkeringat dingin.
Sama seperti saat pertama masuk kerja, gadis itu mengalami fase cemas di atas rata-rata. Ananta selalu butuh waktu untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang masih asing.
Ritual setelah makan malam adalah berbincang sejenak, sebelum akhirnya Zhi pamit duluan karena merasa kurang enak badan, "Kak Ananta, besok atau lusa ke sini lagi ya. Maaf ya, padahal Zhi udah janji mau kasih lihat koleksi buku sama novel," ucap Zhi dengan airmuka mengernyit seperti menahan sakit. Ananta tidak tahu, apa Zhi sengaja agar dia datang lagi ke rumah ini, atau gadis itu benar-benar merasakan sakit. Pasalnya tadi saat makan malam, Zhivana terlihat sehat-sehat saja, ekspresinya ceria, kadang malah beradu debat dengan kakaknya.
Cih! Pede sekali kamu, Ta!
Batin Ananta mengumpat. Memang dia siapa sampai berharap kalau Zhi sengaja melakukan itu agar dia datang lagi.
"Oh, iya nggak pa-pa, Zhi. Kamu istirahat saja, soal buku bisa kapan-kapan." Ananta menjawab Zhi. "Pak, saya pamit pulang ya, sudah jam segini, takut dicariin sama orang rumah." Ananta beralih pada Baim. Matanya bersitatap dalam jenak saat dia mengutarakan maksud.
Baim mengangguk, "Tunggu, saya ambil kunci mobil dulu."
Ananta ingin bersuara -- mengatakan kalau dia ingin memesan ojek online saja, tapi Baim keburu melangkah. Tidak lama lelaki itu datang dengan kunci di tangan.
Lagi. Ananta berada di mobil yang sama dengan Baim. Keduanya dalam hening beberapa saat. Perlakuan lelaki itu masih sama seperti tempo hari saat Baim membantunya lepas dari preman kampung yang menganggu. Masih sama seperti tadi sore saat menariknya ke mobil untuk pulang bareng. Masih juga seperti saat memaksa ikut pulang bersama setelah tanpa sengaja bertemu di kafe seberang toko buku. Ananta merasa seharian ini terlalu banyak berinteraksi dengan Pak Baim. Di kantor yang biasanya hanya bertegur sapa sesekali, atau saat bekerja keduanya lebih banyak membisu satu sama lain. Ananta baru tahu dan membuktikan sendiri kalau Pak Baim itu manis sekali sikapnya. Tidak pernah gengsian meski interaksi dengan karyawan biasa. Tidak sombong dan merasa superior. Murah senyum dan satu lagi yang membuat semua orang selalu menyukainya, adalah selera humornya yang tinggi. Hampir semua di kantor bercerita sudah kena kejailan Pak Baim, tak terkecuali Ananta.
Kedua tebing pipi Ananta terangkat samar. Senyum tipis menguasai rahangnya yang berbalut jilbab pasmina. Ananta reflek menggeleng sendiri dalam diamnya. Kenapa dia jadi seperti diam-diam mengagumi sosok Ibrahim Al Mufti.
Apa Ananta mulai merasa jatuh cinta?
Konon kata orang, jatuh cinta akan membuat otak mengahasilkan banyak dopamin, hormon bahagia yang membuat merasa senang, tenang dan optimis. Ananta merasa seperti itu saat berada di dekat Pak Baim. Tetapi bukan berarti itu adalah sinyal jatuh cinta, kan? Ananta tidak percaya hal picisan semacam itu.
"Saya ga nawarin apa-apa lho, Ta." Suara bariton itu menginterupsi rungu Ananta. Menyadarkannya dari kelana pikirannya sendiri.
"Eh, maksudnya, Pak?"
"Itu, kamu geleng-geleng dari tadi. Kayak lagi menolak sesuatu."
Tepat sasaran. Kalimat lelaki itu ciptakan kikuk pada Ananta. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa malu yang menginvasi perasaannya saat ini.
"Mikirin apa, hayo?"
"Dilarang kepo, Pak."
"Kata Bos Shaka, kepo hak segala bangsa," cetus Baim.
Ananta terkikik pelan. Nah, kan. Baru juga tadi terlintas di otak, sekarang Ananta kembali merasakan dadanya berdesir acapkali Pak Baim melempar humor ringannya.
"Kamu ini agak pendiam ya, Ta. Beda banget sama Sintya yang sukanya bicara sampai mulutnya berbusa." Tawa Baim menguar saat menyoal tentang Sintya. Sontak senyum di wajah Ananta perlahan memudar. Seakan dipukul kenyataan, bahwa Ananta lupa satu hal. Dia bukanlah satu-satunya gadis yang dekat dengan Pak Baim. Ada Sintya yang peluangnya lebih besar untuk menjadi something special bagi lelaki di sebelahnya itu.
Lagipula Ananta tidak ada niat untuk jatuh cinta. Yang namanya jatuh, pasti sakit, kan? Ananta sangat menghindari hal itu. Dia tidak ingin menjadi seperti sang ayah yang merana ditinggal cintanya. Ananta menangkap bias kesakitan itu setiap kali manik matanya bertemu dengan kedua netra sang ayah. Ayah yang menganggap ibu adalah cinta pertama dan terakhir, nyatanya cinta itu pergi karena silau oleh hijaunya rumput tetangga.
"Tapi kalau boleh jujur, Ta, ngobrol sama kamu lebih ..." Baim menggantung kalimat, membuat Ananta menoleh penasaran. "Lebih menyenangkan. Sama Sintya, saya mati kutu. Yang dibahas selalu koleksi barang-barang branded impiannya." Baim menyambung kalimat dengan kekehan kecil. Kedua sudut bibir Ananta ikut tertarik samar.
"Wajar, Pak. Mbak Sintya kan memang cantik, pasti apa yang dipakai juga ga mau yang pasaran."
"Hmm, saya ada setujunya ada nggak-nya sama kalimat kamu barusan."
"Iya, memang beda pendapat itu wajar, Pak. Yang ga wajar itu ngomentarin hidup orang tapi berujung debat."
Baim tertawa lebar, "Bisa aja kamu, tapi relate sih. Jangan sampai gegara komenin hidup orang, kitanya yang bukan siapa-siapa, malah debat ga ada ujung. Norak itu namanya." Sepanjang perjalanan Baim banyak tertawa dan menarik rahangnya membentuk lengkungan senyum. Berbeda sekali saat bersama Sintya tadi sore.
🌻🌻🌻
Pak Aim trauma, eh, Mbak Ananta juga sepertinya mengalami trauma. Sebuah kebetulan yang membagongkan sekali. Sinyal apa itu?
Tabik
Kachan
2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top