🌻 Chapter 5🌻
Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)Nya
Dan, barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, dia akan melihat (balasan)Nya
(Quran Surah Al-Zalzalah 7-8)
"Sintya, boleh saya bertanya satu hal?" Baim yang tengah fokus pada setir kemudi menoleh sekilas pada Sintya.
Sesuai permintaan gadis di sebelahnya, Baim setuju menuruti permintaan Sintya untuk jalan keluar, tapi tidak berdua, ada Zhivana duduk di jok belakang. Adiknya Baim merengek ikut karena ingin sekaligus membeli sesuatu.
Sintya menelengkan kepala ke samping, "Apa, Oppa?" Sintya bertanya dengan kening bergelambir karena rasa penasaran.
"Seandainya ya ...." Baim menggantung kalimat. Pria itu menghirup udara banyak-banyak untuk meruangi rongga dada. "Seandainya, kita beneran jadian. Terus, saya lagi di posisi --- terburuk, apa yang bakal kamu lakukan?"
Sintya menaikkan sebelah alias, "Posisi terburuk yang seperti apa, Oppa?"
Benar juga. Kalimat Baim terlalu ambigu. Lelaki itu menggigit bibirnya sendiri. Napasnya mulai terdengar cepat dan pendek-pendek, "Maksudnya, terburuk dalam segi finansial, misal?" Seperti ada cekat saat Baim berhasil menyatakan kalimat pertanyaan itu.
Zhivana yang duduk di belakang melirik kakaknya sekilas sembari bergumam kecil agar Baim fokus saja pada kemudi.
Sintya menguarkan tawa kecil, "Oh soal itu, kalau kamu bangkrut, dan saat itu kita udah jadian, aku bakal ..." Sama seperti Baim, Sintya juga menjeda ucapan. Dia perhatikan ekspresi lelaki itu sebelahnya lebih dulu. "Aku bakal nyari yang lain dong!" Tawa Sintya menggelegak, niatnya mencandai Baim. Tetapi airmukanya berubah saat tepat bersamaan, Baim membanting keras setirnya ke sisi kiri, ban mobil sampai berdecit karena gesekan saat ban mobil menabrak trotoar. Zhivana di belakang sampai berteriak kaget.
Sintya lebih lagi. Gadis itu sontak mengumpat beberapa kali. Wajahnya pias atas perilaku Baim yang membuatnya sangat shock.
"Oppa!"
Ibrahim terpekur menyandarkan kepala pada setir kemudi. Sejurus lelaki itu merangsek keluar, duduk di tepian trotar memuntahkan isi perutnya. Zhivana menyusul kakaknya dengan airmuka khawatir. Sintya tertegun sampai memaku di tempat.
"Kak, tarik napas, tenang." Zhivana mengusap pelan bahu sang kakak dengan gerakan dari atas ke bawah.
"Zhi .... Kamu bawa mobilnya, kepalaku sakit sekali." Zhivana mengangguk mendengar perintah kakaknya.
Zhivana membantu kakaknya memasuki jok belakang. Baim langsung membanting tubuh dengan badan meringkuk berbantal lengannya. Napasnya masih agak tersengal, tapi sudah lebih baik setelah memuntahkan isi perutnya.
Zhivana mengambil alih kemudi, setelah beberapa saat baru dia membuka suara, "Maaf ya, Kak. Kak Sintya pasti kaget kenapa Kak Baim bisa kayak gitu." Zhivana melirik pada kakaknya melalui spion. Baim terlibat menutup rapat matanya.
"Aku kaget banget, Zhi. Sampai ga tau mau ngomong apa." Nada bicara Sintya masih bergetar.
Zhivana menghela napas panjang, "Ya gitu, kalau udah bahas soal pasangan, bangkrut atau bertanya gimana nanti kalau dia lagi ada di titik terburuk, pasti Kak Baim bakal kayak gitu. Sejak gagal nikah sama Kak Nara ..." Zhivana tidak melanjutkan kata-kata. Kalimatnya justru menarik atensi Sintya.
"Maksudnya Zhi? Oppa pernah gagal nikah?" Kedua mata Sintya membeliak. "Nara, mantannya Oppa?" Lanjut Sintya.
Zhivana mengangguk.
Sintya menutup mulut dengan kedua tangan. Sama sekali tidak menyangka kalau di balik jiwa humornya Ibrahim menyimpan luka yang dalam.
"Zhi, fokus nyetir. Jangan banyak bicara." Suara Baim menginterupsi dari belakang. Seolah keberatan Zhi membeberkan masa-lalunya di depan Sintya.
"Oppa, maaf." Sintya merapal kalimat maaf sembari menoleh pada Baim. Lelaki itu hanya mengangguk sekilas.
Bukan salah Sintya. Mungkin niat gadis itu hanya bercanda, tapi reaksi Baim di luar kendali.
Sejak hubungannya dengan Nara diputuskan secara sepihak oleh gadis itu, Baim merasa seperti terhimpit beban di hati. Saat mencoba dekat dengan yang lain, gangguan itu selalu muncul. Apalagi saat lelaki itu membahas soal keseriusan.
Awal saat Nara membuangnya, Ibrahim jadi sering dicekam rasa was-was. Gangguan tak sampai di situ, kepalanya sering terasa berat, tiba-tiba mual, dan yang paling parah, bisa tiba-tiba susah napas saat ingatan tentang Inara merangsek ke dalam batok kepalanya.
Ibrahim sudah pernah melakukan sesi konsultasi dan terapi, dokter mengindentifikasi gangguannya sebagai trauma psikomatis.
Baim memang telah melewati masa-masa buruk itu. Tetapi rasa traumanya belum seratus persen hilang. Merasa tidak berharga, merasa paling buruk dan gagal yang dirasakan saat Sintya terang-terangan menyatakan akan meninggalkan jika keadaan buruk itu kembali menimpa.
Baim dulu sempat bingung, kenapa dia bisa mendadak mual, sakit kepala.hebat atau susah tidur saat kenangan buruk melintas, ternyata dokter mengatakan pada saat manusia patah hati, ketika itu hal yang tidak nyaman muncul, maka tubuh itu di bagian otaknya akan mengeluarkan zat kortisol. Kortisol adalah hormon stres. Hormon ini akan mempengaruhi berbagai organ tubuh.
"Sintya, maaf ya." Baim merasa bersalah. Pasti Sintya dicekam ketakutan saat ini.
"Nggak papa, aku cuma kaget aja. Hmm, aku mau turun di sini aja ya."
"Tapi, Kak--"
"Ga pa-pa, Zhi. Aku udah pesan taksi online tadi."
Zhivana mengangguk, memarkir mobil di sisi jalan. Sintya merapal kiat maaf sekali lagi serta memastikan bahwa Baim baik-baik saja, gadis itu kemudian pamit dan turun. Mobil yang disetir Zhi kembali melaju pelan, "Kak, kita ke toko buku bentar ya, Zhi ada yang mau dibeli, habis itu langsung pulang. Kakak tunggu di mobil aja kalau ga kuat."
Zhi memarkir mobil di Mall terdekat. Tujuannya ke toko buku, membeli buku pelajaran dan beberapa buku incaran. Saat akan turun ternyata Baim ikut turun. Zhi melirik khawatir pada kakaknya, "Beneran kuat? Kalau sampai pingsan Zhi tinggalin lho, Kak. Mana kuat Zhi gotong Kakak yang tinggi gede." Cerocos Zhi. Baim tersenyum tipis.
"Udah lebih baik, Zhi. Kakak pengin ngopi sebentar, ngilangin mual."
"Oke. Zhi langsung ke toko buku ya. kakak langsung aja, nanti wa posisi di mana."
Baim mengangkat dua jempol pada adiknya. Zhivana melangkah memasuki pelataran Mall, Baim menyusul usai mematikan mesin serta mengunci mobil.
***
Ananta menekuri buku yang berderet di pajangan rak toko buku langganannya. Matanya menilik satu persatu judul, memilah dan mencari judul incarannya. Berdiri di toko buku sudah dari jam empat tadi, sampai menjelang Maghrib. Memang keluaran sudah lama, sekitar dua tahun lalu, makanya stoknya mungkin saja lebih sedikit. Kedua netra Ananta berbinar cerah saat menemukan judul yang ingin dibeli. Gegas dia membawanya, mencari lagi yang lain, saat ketemu, tapi tangannya bergerak bersamaan dengan seorang gadis remaja. Mereka sama-sama ingin memiliki buku tersebut ternyata. Ananta tersenyum, melepas tangannya, mengalah tidak ada salahnya.
"Buat kamu aja, Dek," ucapnya disertai senyuman. Gadis remaja itu tersenyum kikuk.
"Beneran, Kak? Nggak papa nih?" Tanyanya dengan wajah antusias. Ananta mengangguk yakin.
"Iya, silakan ambil aja. Lagian buku incaran saya sudah dapat. Kalau yang ini, bisa kapan-kapan."
"Terima kasih, Kak." Gadis itu merapal terima kasih dan melengang ke kasir. Ananta tersenyum lega. Melihat si gadis remaja ingatannya jadi kembali saat seusia gadis itu, Ananta sangat suka menjamah setiap sudut toko buku. Pulang sekolah, atau saat pulang kuliah, kebanyakan hanya berdiri berjam-jam numpang baca buku display yang sudah terbuka sampulnya. Kalau uang jajan sudah terkumpul, baru dia membeli buku incaran. Senang sekali rasanya waktu itu.
Ananta duduk di sudut kafe bernuansa couzy yang ada di dekat toko buku. Gadis itu tadi membeli beberapa buku yang sudah lama diincar.
Hobi membaca sejak kecil masih terus berlanjut sampai Ananta memasuki dunia kerja.
Memesan roti panggang dan vanilla latte favoritnya. Mata cokelat Ananta sibuk menekuri bacaan di tangan.
Dua novel bertema romance religi yang lama Ananta inginkan sudah ada di tangan. Satu buku berjudul AKAD karya Chanty Romans, penulis platform baca-tulis favorit Ananta, saat ini sedang dia baca sembari sesekali menikmati kudapan yang tersaji.
Ananta kadang mengernyit, malu sendiri saat membaca adegan yang menurutnya si tokoh utama tingkah lakunya sangat konyol, atau tertawa lepas saat ada sesuatu yang menurutnya lucu.
"Lho, Kakak yang tadi, kan?" Sebuah suara menginterupsi fokus Ananta. Dia reflek mendongak dari balik punggung buku, wajah gadis di depannya tersenyum saat menyapa. Ananta mengerjakan mata beberapa kali, baru teringat pada wajah khas timur tengah gadis yang menyapa.
"Hai, kamu yang di toko buku tadi?"
Gadis itu tersenyum disertai anggukan.
"Ayok duduk sini, gabung aja. Saya sendirian kok, Dek."
Gadis itu tanpa berpikir panjang langsung menarik kursi di seberang Ananta, "Nggak papa kalau aku gabung sini, Kak?" Tanyanya. Ananta mengangguk senang.
"Iya ga pa-pa, lagian saya sendiri." Ananta membetulkan letak kacamatanya sembari berbincang. "Kamu sendirian juga?"
"Sama Kakak-ku, tadi lagi ngopi, terus adzan jadinya sekarang salat Maghrib di mushala."
"Oh, kamu ga salat?" Tanya Ananta pada gadis berkerudung pink tersebut.
Gadis itu menggeleng, "Lagi dapet, Kak."
Ananta terkikik pelan, merasa lucu bisa senasib dengan gadis di seberangnya, "Sama, makanya santai."
Obrolan Ananta dan si gadis mengalir sendiri. Mereka banyak membahas buku kesukaan masing-masing. Ananta seperti menemukan teman diskusi karena teman bicaranya sangat responsif.
"Dari tadi ngobrol tapi saya belum tahu nama kamu, saya Ananta." Ananta mengulurkan tangan, gadis di seberangnya menyambut tangan Ananta.
"Zhivana, Kak. Panggil Zhi aja." Ponsel gadis bernama Zhivana itu berdering. Gadis itu permisi mengangkat telpon sebentar pada Ananta.
"Iya, Kak. Di Kopi Kenangan, depannya Gramed. Iya, oke." Suara Zhivana mengangkat telepon, sejurus kembali membuka percakapan dengan Ananta.
"Kakak kamu?"
"Iya, udah kelar salat, lagi jalan ke sini."
Ananta ber-oh-ria, "Kamu mau minum? Biar saya pesankan?" Tawar Ananta. Zhi menggeleng.
"Nggak usah Kak, habis ini langsung pulang kok."
Langkah seseorang mendekat disertai suara ketipak sepatu beradu lantai. Tangannya melambai ke arah meja Ananta. Tertuju pada gadis yang duduk di seberang Ananta.
"Udah Zhi, ayok pulang ...." Matanya melirik gadis yang duduk di depan sang adik. Tertegun sejenak mendapati Ananta satu meja dengan adiknya.
"Pak Baim?"
"Ananta?"
Keduanya tersenyum rikuh. Zhivana dibuat bingung dengan ekspresi kedua orang itu. "Lha, Kak Baim Kenal?" Tanya Zhi.
"Hmm," sahut Baim singkat.
"Oh gitu, dunia emang selebar layar hape ternyata." Komentar Zhi. "Yaudah, ayok Kak, katanya buru-buru mau pulang."
Baim mengangguk, "Yok, Ta."
Ananta menoleh dengan kernyitan dahi.
"Bareng, saya antar sekalian."
Ananta kembali tersenyum rikuh, merasa tidak enak sudah dua kali totalnya hari ini Pak Baim menawari pulang bareng, "Nggak usah Pak. Merepotkan--"
"Ayo, jangan sok gengsi. Zhi, ajak teman barumu ini ke mobil." Zhivana menggumamkan kata siap. Sejurus mengamit lengan Ananta agar ikut pulang bareng dia dan kakaknya.
Ananta tidak punya pilihan lain. Dia mengikuti langkah adik-kakak tersebut dengan perasaan campur aduk. Tidak menyangkah kalau Zhivana ternyata adalah adiknya Pak Baim. Sebuah kebetulan yang cukup mengagetkan.
"Ga usah ngerasa ga enak ya. Saya kasih tumpangan bukan karena sok baik, tapi emang lagi nabung kebaikan." Baim melengkungkan bibir tipisnya membentuk senyum seiris. Ananta balas tersenyum sembari menggumam iya.
🌻🌻🌻
Jadi, itu namanya sekadar kebetulan atau emang sinyal jodoh Pak Aim?
Hmm, KaChan kurang tahu ini sudah tepat atau belum menyangkut trauma psikomatis yang dialami Pak Baim. Kalau merunut hasil riset Kachan dengan wawancara pada beberapa yang pernah mengalami nasib sama persis kek Pak Aim, gejalanya juga sama kek gitu. Ditambah beberapa sumber dari alodokter dan situs kesehatan mental yang Kachan baca.
Kalau ada yang lebih paham,boleh sharing sama Kachan ya.
Jazakillahu Khair ❤️
Lope se-kabupaten ❤️❤️❤️
Tabik
Kachan
1700
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top