🌻 Chapter 4🌻


Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya dia berkata baik atau diam, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.
(Hadits riwayat Bukhari)

"Serius kamu mau turun di sini?" Baim bertanya dengan tatapan menyelidik pada Ananta. Matanya terus menatap lekat pada kedua manik mata gadis yang berdiri di depannya saat ini. Seperti berat hati melepas Anantari pergi seorang diri.

Ananta mengangguk serius saat Baim bertanya sekali lagi. Entahlah! Lelaki itu kenapa selalu memiliki daya tarik seperti magnet. Perhatiannya yang samar meski tak seberapa mampu menyulut kehangatan di hati Ananta.

"Ingat ya, Ta, kalau ada yang ganggu pakai cara yang saya ajarin waktu itu, kamu semprotin parfum ke arah mata si pengganggu. Hati-hati, jangan gampang akrab sama orang asing, kalau ada yang kasih makanan atau minuman kamu jangan terima, karena kita ga tau maksud orang tersebut. Waspada lebih baik. Oke?" Baim tanpa sadar banyak memberi wejangan saat Ananta akan melenggang ke dalam toko buku. Ananta sampai tertegun tidak bisa menyaingi kalimat yang keluar dari mulut Pak Baim.

"Terima kasih, Pak. Fii amanilah." Hanya itu yang diucapkan Ananta saat Baim pamit memasuki mobil kembali, sejurus menghilang ditelan jalanan.

Ananta masih berdiri di tempat. Memangnya dia siapa? Kenapa peduli sekali. Bisa tidak sih bersikap biasa saja. Hati Ananta jadi tak karuan mendapat perhatian seperti itu. Ananta menggeleng dengan pikiran memenuhi batin.

Jangan mikir aneh-aneh, Ta! Pak Baim itu lagi pedekate sama Mbak Sintya. Dia bukan sengaja ingin peduli, tapi hanya bersimpati sebagai atasan dan bawahan.

**

"Assalamualaikum." Baim merapal salam tepat di ambang pintu.

"Wa'alaikumussalam, Kak Aim, ih! Kenapa sih, mobil Zhi dibawa? Padahal tadi siang pulang sekolah Zhi mau jalan sama teman." Zhivana.adik Baim menyahut dengan rentetan kalimat protes. Pasalnya si kuning, Honda jazz kepunyaan Zhi, pagi tadi dipakai Baim ke kantor.

"Yaelah, baru juga nginjak rumah, udah kena damprat gue. Sorry, Zhi. Mobil kakak lagi di bengkel, dibenerin ac-nya. Makanya kakak pinjem jazz kamu."

"Oh, jadi itu bukan mobilnya Oppa? Pantas, aku pikir, kok mobil kamu terlalu biasa banget." Dari samping Baim, Sintya menyela dengan komentar. "Oh, hai. Kamu pasti adiknya Oppa ya, kenalin, Sintya," sambung Sintya menyalami gadis berparas khas timur tengah, sangat beda sekali dengan Ibrahim yang bermata sipit, Zhivana bermata besar dan bulat.

"Zhivana, Kak. Panggil Zhi aja." Zhi membalas uluran tangan Sintya. "Masuk, Kak silakan." Zhivana mempersilakan Sintya masuk.

Baim mengajak Sintya duduk di ruang tamu. Lelaki itu bergegas memangil mama dan abahnya.

"Duduk Sint, kamu mau minum apa?" Tawar Baim. Sintya menggeleng.

"Nggak usah repot-repot, Oppa."

Baim mengangguk, sejuru melangkah mencari keberadaan sang mama.
Baim menuju pantry, karena biasanya mama kalau sore suka berada di dapur bersih, menyiapkan sesuatu untuk makan malam. Dan, benar, Baim mendapati mamanya tengah berdiri menghadap kitchen set dengan tangan sibuk bekerja.

"Assalamualaikum, Mama. Sibuk amat sampai anak gantengnya pulang ga denger," sapa Baim tepat di sisi mamanya.

"Iya mama dengar kok, tapi ini nanggung, mama mau bikin kimchi," sahut Iren dengan tangan sibuk melapisi lembaran sawi putih -- bahan utama membuat kimchi, makanan atau acar khas negeri ginseng, dengan bumbu pasta pedas.

"Mama, ada teman Baim di depan. Temui bentar ya, Baim kenalin."

"Siapa, Im? Teman cewe apa cowo?" Tanya Irene.

"Cewe, Ma."

"Serius Im?" Irene antusias, gegas membasuh tangan kemudian kakinya menganyun mengikuti sang putra menuju ruang tamu.

Sintya berdiri saat Baim dan mamanya sampai di ruang tamu. Gadis itu tersenyum hormat dan menyalami mama Baim, "Sintya, Tante. Teman kantor Pak Baim," ucap Sintya sembari tersenyum tipis.

"Cantik sekali. Ayo duduk, mau minum apa? Tante bikinkan sebentar ya." Iren kembali melengang ke dapur berniat membuat minum dan membawa kudapan kecil untuk tamu putranya. 

Setelah mama Baim menghilang ke arah dapur, Sintya angkat bicara, "Oppa, pantesan ya kamu mukanya Korea banget. Mama kamu persis  Yanie Kim, youtuber indo yang nikah dan tingga di Korea, tapi mama kamu versi syar'i-nya soalnya pakai jilbab." Sintya berkomentar sembari terkikik pelan. Baim ikut tertawa.

"Ya emang, mama asalnya dari Korea, ga tau dah kenapa bisa nyasar di sini, nikah sama Abah lagi, jadinya gini nih." Baim menunjuk wajahnya sendiri. "Akibat pertarungan dua gen, Timur Tengah campur Korea, hasilnya laki-laki super tampan kek saya," sambung Baim super pede sekali. Sintya tergelak. Tetapi memang seratus persen benar, wajah Baim itu unik. Hidungnya sangat mancung tapi matanya monolid. Super sipit, apalagi kalau tertawa.

"Ngobrolin apa? Seru banget sepertinya." Mama Baim muncul dengan baki di tangan, membawa dua gelas minuman serta stoples kue kering. "Ayo diminum dulu," ucapnya pada Sintya dan Baim.

"Enjoy ya, Sintya. Tante tinggal ke dapur dulu nggak papa? Tante lagi bikin kimchi, nanggung bentar lagi selesei." Iren pamit, Sintya mengangguk dan merapal terima kasih.

Sintya kembali fokus pada layar ponsel, padahal Baim inginnya mereka lebih banyak mengobrol. Baim hela napas pelan. Pergeseran zaman memang sudah sangat parah. Orang berkumpul kadang sibuk sendiri dengan gadget masing-masing. Berkumpul sudah tidak seseru zaman Baim kecil dulu, tidak ada hape di tangan, hanya fokus mengobrol dan bercanda.

"Masih sibuk scroll outfit incaran kamu?" Baim melongok, mencuri lihat pada layar ponsel Sintya. Gadis itu mengangguk dalam.

"Heum, aku masih penasaran sama koleksi musim panasnya brand Gucci."

Ibrahim yang notabene tidak paham dunia fashion perempuan, hanya menjawab iya dan oke, saat Sintya bertanya atau meminta pendapat. Ah! Bukan tidak paham, dia tahu brand atau merk kebanggaan kaum jetset tersebut, tapi tidak sampai mendetail seperti Sintya.

Baim menyerah akhirnya meraih ponsel dari saku celana. Membuka aplikasi chat dan mengetik pesan singkat. Daripada dianggurin oleh lawan bicara, lebih baik mengalihkan kebosanan. Baim menggulir nama pada papan pesan, sejuru menekan tombol kirim usai mengetik sesuatu.

Ibrahim: Ngab!

ArshakaApa? G3 Lo.

Ibrahim: bener kata Lo!

Arshaka: yang mana?

Ibrahim: Soal Sintya. Hedon.

Arshaka: Syukur deh, Lo sadar jg. Udh jangan chat lagi. Gue sibuk mau siap-siap ibadah sama istri tercinta.

Ibrahim: Lha, baru juga sore udah mau ibadah aja. Tunggu malam kali, Ngab! Ga sabaran lo!

Arshaka: SHALAT NGAB! SHOLAT, LO PIKIR IBADAH APA? PIKTOR LO!

Baim tersenyum sumbang. Semoga saja Sintya tidak batuk atau tersedak. Padahal mereka duduk sebelahan, bisa-bisanya Baim malah membicarakannya dengan Shaka lewat pesan singkat. Sebenarnya tidak berniat ghibah. Hanya menyuarakan isi hati soal kalimat Shaka kemarin. Ternyata benar, Arshaka tidak salah dengan ucapannya.

"Oppa, jalan yuk. Bosen tau." Sintya merengek. Gadis itu menyesap sedikit minuman yang dibawakan mamanya Baim.

"Mau ke mana?"

"Hmm, ada deh. Nanti aku kasih tau sembari jalan."

Baim mengangguk, "Yaudah, habisin dulu itu minumnya," titahnya menilik gelas Sintya yang hanya berkurang sedikit.

"Oppaaa, aku ga mau habisin, ih. Ini tuh sirup, kalorinya banyak banget."

"Tapi, Sint, mama udah buatin untuk kamu---"

"Kan, aku udah bilang. Jangan repot-repot, aku ga biasa minum yang manis-manis, Oppa. Maaf ya."

Baim hela napas lagi. Kali ini lebih panjang dan mengembuskannya kasar. Padahal hanya segelas air sirup, mana bisa membuatnya menggelembung. Sintya harusnya bisa sedikit menghargai usaha mamanya. Baim paling tidak bisa melihat raut kecewa sang mama. Pasti setelah ini mama akan banyak bertanya, kenapa temannya tidak menghabiskan minuman yang dibuatkan.

"Oke," sahut Baim dengan nada lemah. Semangatnya meredup. Aturan hidup Sintya terlalu njlimet sepertinya. Ibrahim berniat mundur saja. Misi mendekati gadis itu urung dijalani. Padahal tadinya sudah berniat sepenuh hati, ingin membuktikan pada Shaka kalau kalimat kawan baiknya itu tidak semuanya benar. Paling tidak Baim ingin menunjukkan ada sisi lain dari Sintya yang bisa dibanggakan. Nyatanya Baim tak menemukan, selain keahliannya menghapal brand-brand ternama keluaran luar negeri.

Sebenarnya bibir Baim gatal ingin memberi sedikit nasihat, tapi Baim selalu menahan diri. Belum tentu yang dinasihati akan menerima lapang dada, meski niatnya untuk kebaikan orang tersebut. Baim merasa bukan ranahnya. Baim selalu berusaha sangat berhati-hati dalam ucapan. Apalagi dengan lawan jenis. Jangan sampai ucapannya menyinggung atau menyakiti. Meski tidak bisa ditutupi ada sedikit kecewa meringsek di hati karena Sintya tidak mau menghabiskan minuman yang sudah dibuatkan mamanya.

Ah! Soal minuman yang Sintya tidak mau menghabiskan, biar saja, yang penting sebagai tuan rumah dia dan mamanya sudah berusaha sebaik mungkin. Karena memuliakan tamu adalah hal wajib bagi setiap tuan rumah yang kedatangan tamu. Sebagaimana yang Ibrahim tahu.

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya." (Hadits riwayat Bukhari)

🌻🌻🌻

Oppa Aim


Hihi, pendek ya?
Nggak papa ya, pendek yang penting apdet rutin.
Terima kasih buat pembaca yang udah setia.
Lope sekecamatan ❤️❤️❤️

Tabik
Kachan

1400

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top