🌻 Chapter 3🌻


Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudaranya syaitan. Dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabb-nya.
(Quran Surah Al-Isra ayat 26-27)

"Oppa, pulang ngantor jalan, yuk!"

"Ogah, mama bilang pulang kerja harus langsung pulang, ga boleh kelayapan."

"Dih, emangnya kamu abege, masih aja dipesan kek gitu."

Sintya berdecak lirih mendengar penolakan Baim untuk kesekian kalinya. Baim mengamati wajah tertekuk gadis yang duduk di kubikel seberang meja kerjanya. Matanya melirik sinis dengan bibir membeo.

Baim tertawa pelan, "Ga usah dimajuin itu mulutnya, Sint. Jadi pengin ...." Kalimat Baim menggantung dengan senyum miring.

Sintya menyahut cepat, "Ih, Pak Baim mesum. Pasti mau bilang kalau pengin nyi---"

"Ngiket pake karet! Ente yang mesum, hayo loh," potong Baim saat Sintya belum seleseikan ucapannya.

Pukul empat sore, Baim telah bebenah meja kerja. Memasukkan dokumen dan laporan penting ke dalam back pack-nya, sejurus mematikan layar komputer. Jam pulang kantor sore ini Baim tidak ada rencana kemana-mana, ingin cepat pulang, tapi mendadak ingat pertanyaan Abah dan mama. Bagaimana nanti kalau sudah di rumah langsung diberondong pertanyaan, "Sudah ketemu calon istrinya?"

Alamak! Baim bingung harus menjawab apa. Sejak mendengar ajakan Sintya, sebenarnya Baim berpikir sejenak, tidak ada salahnya pergi sebentar melepas penat bersama gadis cantik itu.

"Sint, tawarannya masih berlaku, nggak?" Tanyanya menatap ke arah Sintya.

Mata Sintya berbinar cerah, "Masih dong, Oppa. Mau?"

Baim mengangguk sekilas, "Tapi ajak yang lain juga, ya. Risma, Winda, Ananta, Ferdi, gimana?"

Sintya berdecak lagi. Kenapa Ibrahim  Al Mufti sangat tidak peka sekali. Padahal Sintya inginnya jalan berdua saja. Sintya tertawa sumbang, "Nggak sekalian aja satu kantor kita ajak jalan, Pak? Rombongan gitu rame-rame, biar dikira piknik dadakan," terangnya dengan nada sindiran. Baim menguarkan tawa.

"Yaudah kalau gitu ga usah jalan keluar, kalau cuma kita berdua, tak ajak ke rumah aja gimana? Mau?" Tawar Baim pada Sintya. Gadis itu mengangguk antusias. Baim hela napas lega. Setidaknya ada usaha untuk membawa gadis yang akan dikenalkan pada Abbah dan mama. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali Sintya ngajak jalan, langsung saja dibawa ke rumah.

"Aku siap-siap dulu ya, bentar." Sintya pamit, melengang ke toilet, ingin membetulkan make-upnya.

Di kubikel sebelah Risma terlihat berdecih dengan tatapan melirik Baim, "Ekheem. Yang mau jalan berdua, keknya semangat banget, Pak," sindirnya.

"Preman kantor diem bae ya. Doain Pak Baim ya, Nak. Semoga kali ini nggak zonk lagi."

"Siiiip, Pak. Jangan lupa PJ-nya nanti." Risma mencandai Baim. PJ yang dia maksud adalah singkatan dari Pajak Jadian, istilah yang dipakai anak jaman now, saat ada teman mereka yang taken. Harus memberi traktiran.

Baim acungkan jempol tanda oke. Sejurus Risma uang sudah siap-siap pulang, pamit dan melengang duluan.

***

"Ini kita beneran mau ke rumah kamu," tanya Sintya saat sudah di mobil bersama Baim.

"Iya, mau, nggak?" Baim menyalakan mesin mobil, bertanya sekali lagi sebelum keluar area parkir perkantoran. Dari spion mobil Baim menangkap Ananta sedang celingak-celinguk seperti menunggu sesuatu. "Bentar ya, Sint." Baim melangkah turun hampiri Ananta.

"Ta, mau pulang?"

Ananta mengangguk, "Iya, Pak. Lagi nunggu ojol, tapi dicancel, ini mau pesan lagi," ujarnya sembari mengangkat ponselnya.

"Nggak usah pesan ojol, yuk bareng aja," tawar Baim.

Ananta terlihat berpikir sejenak, tadi sempat menangkap kebersamaan Baim bersama Sintya. Ananta pikir tidak ingin jadi pengganggu. Siapa tahu mereka sedang dating.

Ananta menggeleng. "Nggak usah, Pak. Terima kasih. Saya naik ojek aja."

Mendapat penolakan, Baim tanpa permisi menggeret tangan Ananta menuju mobil, membuka pintu samping dan isyaratkan Ananta bergegas naik, "Nggak ada penolakan, kita searah, ga ada salahnya, kan, saya kasih tumpangan?!"

Sintya yang duduk di jok depan agak terkejut, "Oppa, kenapa Ananta ikut sama kita?" Protesnya.

"Kasih tumpangan ga ada salahnya kan, Sint. Lagian searah ini."

Sintya mengedikkan bahu sembari ber-oh-ria, dia tidak ambil pusing soal Ananta. Gadis itu kembali fokus pada gadget di tangan.

"Maaf ya Mbak Sintya, Pak Baim maksa mau kasih tumpangan." Ananta buka suara. Sintya mengibaskan tangan ke udara sembari bergumam, 'tidak masalah' masih dengan mata fokus  pada layar ponsel pintarnya.

"Lagi ngapain sih, Sint, keknya serius banget?" Baim yang memegang setir kemudi melirik sekilas aktivitas Sintya.

Gadis itu menoleh dengan ringisan yang menampilkan deretan giginya, "Hehe, ini lho Oppa, aku lagi mantengin outfit sama tas keluaran terbaru. Bagus-bagus semua, jadi bingung mau beli yang mana." Sintya hiperbola sendiri. Baim hanya menjawab sekilas tanpa menoleh.

"Kenapa bisa bingung? Beli aja mana yang lagi kamu butuhkan," sarannya.

"Yaampun keren banget," histeris Sintya. Baim dan Ananta reflek menoleh ke arah Sintya bersamaan. "Ini lho, tas keluaran terbaru dari Chanel." Sintya mengangkat smartphone-nya, menunjukkan slide sebuah gambar tas biru dongker dengan aksen mutiara putih yang keluaran brand ternama Chanel.

"Emang berapa harganya, Sint?" Baim iseng bertanya.

"Murah Oppa, sekitar USD 4295," jawab Sintya enteng.

Baim dan Ananta mengangah bersamaan, tawa sumbang lelaki itu menguar, "Hahaa, cuma ya, Sint. Hebat bener." Baim menerka-nerka dalam hati. Jangan-jangan Sintya itu sodaranya Sisca Kohl. Itu lho, tik-tokers super super tajir melintir, sampai beli nasi goreng saja seharga 400 juta.

Baim sibuk menghitung dalam batok kepala, nilai yang disebutkan Sintya tadi kira-kira jika di-kurs-kan dalam mata uang rupiah sekitar Rp63,2 juta. Agaknya sinyal kalimat Shaka kemarin mulai terbukti. Apa iya Sintya gaya hidupnya melangit?

"Oh my God, ini juga kok lucu sih. Outfit terbaru keluaran Ganni. Lucu buat liburan musim panas, udah lama pengin beli top sama Maxi skirt model gini." Sintya terus hiperbolis dengan penemuannya di layar ponsel. Baim hanya geleng-geleng mendengar decak kagum gadis di sebelahnya yang dinilai terlalu 'mendewakan' brand luar negeri. Produk lokal padahal banyak yang bagus dan nggak kalah berkualitas.

"Murah loh, Ta. Kamu ga mau beli juga? Top motif limited edition cuma  seharga USD 160, hmm sekitar  2,3 juta, kalau silk maxi skirt-nya dibanderol USD 298 sekitar 4,3 juta, yuk Ta, kita barengan kalau kamu mau beli juga."

Ananta tersenyum sekilas disertai gelengan, "Nggak Mbak, bisa-bisa Ananta ga makan sebulan cuma gegara beli outfit brand luar negeri." Ananta menolak halus.

Baim mengunci mulut. Sudah cukup, tidak perlu lagi banyak komentar. Kalimat Arshaka kemarin bukan sekadar candaan rupanya. Tetapi anehnya sudut hati Baim memberi sinyal kewajaran, bahwa apa yang dilakukan Sintya mungkin, bukanlah hedon, bisa saja dari kecil gadis itu terbiasa dengan barang-barang branded. Terbiasa dengan sesuatu yang superior. Kalau dibanding dirinya, sangat jauh sekali. Baim paling banter menginjakkan kaki di gerai Uniqlo, outfitnya saja beli brand lokal seperti 3second  atau kalau ada rezeki lebih dan ingin yang lebih branded sedikit, Ibrahim sesekali memasuki outlet ZARA. Padahal cuma beli poloshirt atau celana sebiji. Bukan tidak mampu membeli barang-barang branded, sekelas Chanel atau Dior juga bisa. Hanya saja Baim pikir, untuk apa, membeli merk, jika brand lokal yang tidak kalah bagus dan kualitas bisa didapat dengan harga jauh lebih terjangkau. Hitung-hitung juga memberdayakan usaha anak negeri.

"Sint, kamu kok mau sih, kerja jadi staff admin bisa, padahal udah punya segalanya." Baim akhirnya melempar pertanyaan.

Sintya tertawa, "Oh, itu sih karena dulu biar deket sama Shaka, makanya pilih satu kantor sama dia. Tapi Shaka malah pilih Siena." Blak-blakan Sintya memaparkan alasannya. Baim ikut tertawa pelan.

"Patah hati dong kamu."

"Nggak lah, ngapain patah hati cuma gegara Shaka. Kan, masih ada Oppa," cetus Sintya. Tangannya merangkul lengan Baim sampai lelaki memekik kaget.

"Jual mahal dikit dong, masa terlalu frontal gitu."

"Udah capek Pak. Yang ada kalau akunya jual mahal terus, susah dapat pasangan. Biar aja khusus sama Oppa, aku terang-terangan."

"Serius kamu mau sama aku?"

Sintya mengangguk dalam, "Mauuuu."

"Kalau gitu mulai sekarang kurang-kurangin tuh, belanja barang branded yang ga terlalu kamu butuh. Aku ga yakin bisa penuhin semua kebutuhan kamu kalau kebiasaan shopping brand kamu ga dikurangin." Baim mengatakan dengan nada bercanda. Takut juga kalau Sintya akan tersinggung.

"Oppa tenang aja, soal belanja aku bisa cari uang sendiri. Tabunganku banyak kok."

Senyum di wajah Baim perlahan memudar. Padahal itu hanya pancingan, bukan jawaban yang Ibrahim mau. Setidaknya kalau dia ingin melihat seberapa serius kata-kata Sintya, gadis itu bisa memberi jawaban lain, mungkin dengan berkata iya, atau akan mencoba. Tetapi jawaban Sintya isyaratkan kalau gadis itu belum siap menanggalkan gaya hidup glamor-nya.

Baim embuskan napas, ingin sekali mulutnya merapalkan salah satu ayat dalam Al-Qur'an tepat di telinga Sintya.

Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Isra ayat 26 dan 27, yang artinya; "Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya."

Akan tetapi Ibrahim cukup sadar diri. Siapakah dia, yang harus melarang Sintya akan kesenangan gadis itu. Dia sama sekali tidak berhak.

"Pak, saya turun di sini saja ya, mau mampir ke toko buku." Suara Ananta menyadarkan Baim dari pikirannya tentang Sintya. Baim mengangguk sekilas, sejurus matanya beredar pada sisi jalanan, mencari ruang untuk memarkir mobil.

🌻🌻🌻

Mohon bantu koreksi kalau ada yang kurang tepat ya.
Jazakillahu Khair ❤️

Tabik
Kachan

1400

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top