⅌ Chapter 17 : ⊰ Miss Each Other.

⅌ Bab 17 : Miss Each Other.
[ Merindukan satu sama lain ]
.
By Ann.
.
· · ────── ·𖥸· ─────── · ·

“HACHUU!!!” Suara bersin yang terdengar keras mengalihkan perhatian beberapa orang yang sedang menikmati pemandangan di kafe, lantai dua. Nanami menatap Gojo dengan aura yang terasa cukup  gelap setelah sadar jika Senpai yang ia tidak hormati ini baru saja melakukan hal yang memalukan.

“Gojo-san ....”

“Maaf, Nanami. Hidungku gatal,” ucap Gojo santai. Tidak menyadari tatapan yang dilayangkan orang lain padanya.

Sekarang Gojo dan Nanami lagi-lagi bertemu di kafe yang berbeda dari tempat kemarin. Entah kenapa. Nanami merasa si surai putih melakukan ini dengan sengaja. Gojo pasti tahu kalau Nanami akan mencari kafe lain untuk menghindarinya. Pria itu mungkin tahu jalan pikiran Nanami. Jadi, dia dengan mudah bisa menebak ke mana Nanami akan pergi selanjutnya untuk tidak bertemu dengannya. Gojo suka mempermainkan orang lain.

Kacamata hitam si surai putih sedikit melorot. Menatap sekitar dengan tatapan malas. Pria ini lagi-lagi mengabaikan misinya untuk menjaga Fuyumi dan lebih memilih mengganggu kouhainya. Nanami masih heran pada Gojo yang masih bisa bersantai saat melaksanakan misi. Padahal, ia tahu para petinggi bisa marah besar padanya.

“Kemarahan Gojo-san lebih menyeramkan ya ...,” gumam Nanami. Kemudian, ia meminum kopinya.

“Hn? Kau bilang sesuatu, Nanami?”

“Tidak.”

Gojo menyandarkan tubuhnya dengan malas ke sandaran kursi. Kacamatanya semakin turun, kemudian memutar leher melihat ke arah jendela.

“Hujan ... lagi?”

Manik ocean eyes menatap setiap rintik hujan yang jatuh dari atas. Membasahi semua tempat terbuka. Tatapan malas ia layangkan. Sampai suara dering ponsel mengalihkan perhatian. Gojo dengan cepat segera merogoh sakunya mengambil ponsel pintar miliknya. Ketika melihat nama sang penelpon, raut wajah Gojo berubah. Bukan Megumi yang ia harapkan untuk menelponnya.

“Yo! Moshi-moshi, Megumi. Apa sekarang kau bersama [Name]ku?”

Nanami menatap Gojo dengan tatapan datar dari balik kacamata aneh yang di gunakannya. Orang ini lagi pamer, ya? batin Nanami.

Gojo mendengarkan perkataan Megumi yang menjelaskan kalau dirinya sekarang berada di supermarket menemani [Name] untuk belanja kebutuhan sang gadis. Si surai putih lantas mencengkeram gelas kaca yang hingga sedikit retak. Terbesit perasaan sesak saat membayangkan gadisnya berdua dengan sang anak asuh berjalan bersama di supermarket. Namun, pemikiran itu langsung ia tepis juga menetralisir dirinya sendiri. Mengingat ia yang memutuskan untuk meminta Megumi agar menjaga miliknya.

“Baiklah! Jaga dia baik-baik, ya, Megumi-chan.”

Di sisi lain, perempatan muncul di jidat Megumi. Dengan kesal menjawab, “Hentikan panggilanmu itu, sensei!!” Megumi langsung memutuskan sambungan sepihak ketika telinganya mendengar tawa jahat keluar dari mulut sensei absurdnya.

“Megumi? Kamu baik-baik saja?”

[Name] melangkah mendekati sembari membawa satu ranjang penuh makanan ringan.

“Aku baik-baik saja, [Name]-san.”

Si gadis tersenyum lebar. Lantas berkata, “Syukurlah. Kalau begitu, tolong bawa ini, ya?” Dengan tangan terulur memberikan keranjang kepada Megumi.

.
.
.

Gojo memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia berdiri dari duduk. Kemudian, melangkah begitu saja tanpa berpamitan pada Nanami.

“Syukurlah dia sudah pergi,” ujar Nanami dengan penuh syukur. Lalu, menatap tubuh Gojo yang kini mulai menuruni tangga.

Si surai putih menatap langit gelap yang masih menangis setelah keluar dari dalam kafe. Infinity ia aktifkan untuk menghalau air hujan yang akan membasahi. Pria itu lantas berjalan dengan santai tanpa mempedulikan orang-orang yang memerhatikannya dengan berbagai tatapan. Raganya tengah berjalan, tapi jiwa pria ini seolah tidak ada di dalam tubuh. Perasaan sesaknyang sama kembali menyerangnya, meski sudah berusaha menetralisir dirinya sendiri.

Gojo sudah memikirkan resiko setelah ia meminta Megumi untuk menjaga [Name], tapi ia tak menyangka rasanya akan cukup parah seperti ini. Dia tidak berpikir yang aneh-aneh pada Megumi dan [Name]. Gojo percaya pada mereka. Hanya saja, rasanya masih sakit. Mungkin Gojo tipe yang posesif pada sesuatu yang telah menjadi miliknya. Apalagi kalau dia sudah merasa sangat cocok dengan seseorang itu.

Ponsel bergetar. Gojo dengan cepat merogoh saku. Melihat ke arah layar ponsel pintar dengan tatapan yang sedikit berbinar. Harapan mendapati [Name] yang menelponnya tetiba hilang saat hanya mendapat notifikasi yang jebol karena muridnya yang ribut di sebuah grup buatan mereka. Gojo kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.

[Name] membuang nafas lelah. Berjalan dari supermarket ke rumahnya bukan masalah yang besar. Hanya saja barang bawaan yang terlalu banyak menjadi beban. [Name] bersyukur ada Megumi yang membantunya.

“[Name]-san, apa kau tidak mengajar hari ini?”

“Aku sedikit tidak enak badan. Makanya hari ini aku minta izin pada kepala sekolah.”

Megumi mengangguk paham. Kemudian, memainkan ponsel saat benda itu terus bergetar. [Name] menghela napas panjang kemudian diembuskan. Dia menatap langit-langit. Sekarang dirinya dan Megumi berada di lantai dua, ruang untuk bersantai. Di samping kamar tamu.

“Setelah hujan ... musim panas, ya?” tanya [Name]. Ia menatap keluar jendela berbentuk lingkaran yang lumayan besar. Megumi mengiyakan tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Membalas pesan teman-temannya yang ribut di sebuah grup yang baru dibuat Nobara kemarin.

“Aku tidak terlalu suka musim panas. Yang kusuka ... mungkin hanya karena ada perayaan kembang api?” [Name] menyentuh dagunya dengan jari telunjuk. Kemudian, tetiba berpikir. Apa Gojo pernah mengirimkannya pesan?

Si gadis lantas merogoh saku, mengambil ponsel lalu menyalakannya. Tidak ada notifikasi yang masuk maupun panggilan telepon. Itu cukup membuatnya kecewa. Dengan berat hati menerima kenyataan selama Gojo pergi ia tidak pernah menghubunginya. Ataupun dirinya yang menghubungi Gojo.

“Tadi aku menelpon Gojo-sensei,” ujar Megumi. Ia tiba-tiba ingat setelah melihat nama gurunya ikut obrolan mereka di grup.

[Name] dengan cepat melihat ke arah Megumi. Lantas bertanya, “Serius?”

Megumi mengangguk. “Aku tadi memberitahunya kalau [Name]-san dan aku pergi ke supermarket,” ucapnya.

Senyuman lembut mengembang pada wajah sang gadis. Begitu juga dengan tatapan matanya. Itu yang tertangkap di mata Megumi. Namun kenyataannya, senyuman itu menunjukkan kesedihan si gadis.

[Name] kembali menghitung jari. Baru hari kedua? batinnya. Ia membuang nafas berat. Kala menunggu sesuatu untuk datang, waktu terasa berjalan sangat lambat karena diri tak bisa sabar. Menunggu itu menyebalkan. Banyak orang yang kurang suka dengan namanya menunggu. Terlebih saat menantikan kedatangan sang kekasih hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top