19

Gamang. Itulah yang kurasakan pertama kali saat melihat ke bawah, pada jajaran mobil yang sedang bergerak di atas jalan raya pusat kota. Kemudian rasa takut dan ngeri ikut bermunculan di dalam benakku. Dunia seakan ikut berputar sejurus kemudian. Mungkin Kak Alfa lebih terlatih berada di ketinggian semacam ini dan bisa menghalau rasa takutnya. Tapi tidak denganku. Aku takut ketinggian. Mungkin Mama juga.

Papa berselingkuh.

Tanpa sengaja pagi ini aku menemukan berita dari situs online yang menyebut jika seorang wanita muda datang berkunjung ke rutan untuk menjenguk Papa kemarin sore. Berbagai spekulasi bermunculan di media juga dalam benakku. Kenapa seorang wanita mengunjungi Papa jika ia tak memiliki hubungan dengan ayah kandungku itu? Mereka berselingkuh, kan? Apa kesimpulanku mengada-ada? Kupikir tidak. Mungkin Mama juga menyimpulkan hal yang sama hingga pada akhirnya memilih berhenti dan mengakhiri kehidupannya sendiri ketimbang mengetahui lebih banyak tentang perselingkuhan Papa.

Dan sekarang aku tahu apa yang Mama rasakan saat itu. Gamang dan kacau. Itulah yang Mama rasakan kala ia berdiri di ketinggian seperti yang kulakukan sekarang.

Ada dua jalan berselubung dilema membentang di depan Mama ketika itu. Jika ia memilih untuk melangkah maju maka semuanya akan berakhir. Menyakitkan memang. Sangat menyakitkan malah. Bahkan aku sendiri tak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Namun, jika Mama memilih untuk melangkah mundur dan menegakkan kepala, mungkin sampai detik ini ia masih ada di dunia. Ia bisa menegarkan diri dan mencari dukungan, dariku misalnya. Mungkin juga ia bisa memilih berpisah dari Papa dan memulai kehidupannya yang baru. Tanpa Papa.

Mama, Tante Sarah, dan aku adalah tiga wanita dalam keluarga kami yang memiliki problem dengan laki-laki. Kami sama-sama ditinggalkan meski dengan alasan yang berbeda. Aku tidak menyebut ini sebagai kutukan, hanya saja kenapa kebetulan ini memiliki kemiripan satu dengan yang lain? Kenapa kami sama-sama tidak beruntung soal pasangan hidup?

Lalu bagaimana dengan akhir kisah hidupku? Apakah aku akan berakhir seperti Mama ataukah Tante Sarah?

Kurasa aku butuh waktu untuk memikirkannya.

"Beta!"

Teriakan lantang itu mengakhiri pergulatan hebat di dalam kepalaku.

Ketika kepalaku memutuskan untuk menoleh, ekor mataku mendapati sosok tak asing yang sedang berjalan tergesa ke arahku. Bersama dengan tiupan angin yang cukup kencang, menerbangkan lamunan dan ujung-ujung rambutku.

"Kumohon jangan lakukan itu, Be!"

Tiba-tiba saja tangan Darren menarik pinggangku dan alhasil tubuh kami saling merapat nyaris tanpa jarak. Dan aku menemukan tubuhku menegang seketika. Degup jantungku mendadak tak beritme seperti biasa. Kali ini lebih keras dan cepat.

Bagaimana ia bisa menemukanku di atap gedung kantor penerbitan?

"Aku datang tepat waktu, kan?" gumamnya di sela-sela mengatur pernapasan. Wajahnya terlihat tegang dan panik. Semacam itu.

"Kenapa kamu bisa datang ke sini?" tanyaku akhirnya. Aku terlalu bingung menghadapi laki-laki itu yang mendadak muncul di kantorku. Ia tak pernah datang berkunjung sebelumnya dan aku benar-benar terkejut dibuatnya.

Oh. Aku nyaris lupa untuk melepaskan tubuhku dari rengkuhan tangan laki-laki itu. Segera, setelah tersadar terjebak dalam situasi yang tidak nyaman dan mendebarkan, aku melepaskan diri dari tangan Darren.

Laki-laki itu mengembuskan napas berat.

"Sejak kamu pergi dari rumah, aku selalu dihantui mimpi buruk tentangmu, Be," ungkapnya dengan ekspresi frustrasi. "Aku takut terjadi sesuatu denganmu..."

Kalimatnya memaksaku mengembangkan seulas senyum getir. Terjadi sesuatu denganku? Kalaupun itu benar-benar terjadi padaku, siapa yang akan peduli selain Bibi Sati?

"Aku takut kehilangan kamu, Be."

Usai laki-laki itu membungkam bibir, aku tercekat dengan rangkaian kalimat yang baru saja ia susun dengan rapi.

"Kamu takut kehilangan aku?" ulangku dengan menyelipkan senyum bodoh. "Jangan bercanda, Darren..."

"Aku tidak bercanda, Be." Laki-laki itu menatapku lurus demi menunjukkan keseriusannya. Aku nyaris percaya dibuatnya. Bagaimana mungkin orang yang setiap malam tidur memunggungiku takut kehilangan aku? Siapa yang tidak waras di sini?

"Lalu?" pancingku. Lagi-lagi aku terlalu bingung dengan situasi ini.

"Aku..." Darren terlihat bingung hendak mengucapkan kalimat apa. "aku tidak tahu sejak kapan, tapi saat melihatmu berdiri di sana tadi, aku berpikir kalau aku tidak mau kehilangan kamu."

Ah, ya, Tuhan. Kali ini aku berhasil meledakkan tawa kecil penuh ejekan padanya.

"Itu hanya sebuah ketakutan, Darren. Aku hanya berdiri di sana tadi, tapi bukan berarti aku akan melompat ke bawah. Kamu paham?" Aku menekan intonasi suaraku pada ujung kalimat. Kuharap kejadian ini bukanlah sebuah kesalahpahaman.

"Bukan, Be. Aku tahu apa yang kurasakan sekarang. Maaf jika aku terlambat menyadarinya, tapi aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu."

"Tapi aku tidak punya perasaan yang sama denganmu, Darren. Lagipula kita akan segera bercerai. Aku sudah menyerahkan urusan perceraian kita pada Mamamu."

"Tidak, Be." Kepala Darren menggeleng kuat-kuat. "Mama tidak berhak mencampuri urusan pernikahan kita dan aku tidak mau bercerai. Jadi, maukah kamu kembali ke rumah? Aku ingin memulai hidup denganmu sebagai suami istri," ucap Darren sarat dengan permohonan. Pun tanganku sudah bersarang dalam genggaman tangannya.

Aku terbelalak antara percaya dan tidak. Bagiku ini adalah sebuah kejutan yang benar-benar mengejutkan.

"Kupikir aku tidak bisa kembali ke sana," tandasku setelah merenung beberapa lama. Begitu banyak hal yang melintas di dalam benakku dan aku tidak bisa berpikir dalam waktu sesingkat ini. Aku butuh waktu lebih.

"Kenapa? Apa karena Mama? Aku akan bicara padanya, Be..."

"Bukan," sahutku seraya menarik kembali tanganku dari dalam genggamannya.

"Lantas?" pancingnya menunjukkan ketidaksabarannya. "Masalah Papa atau Mamamu, bukan salahmu, Be. Juga bukan tanggung jawab kamu. Kamu punya kehidupan sendiri."

"Aku tahu," potongku. "Tapi, ada beberapa hal yang harus kupikirkan kembali sebelum mengambil keputusan."

"Hal? Misalnya?"

Aku mengembuskan napas panjang.

"Apa kamu bisa memberiku waktu untuk berpikir?" tanyaku sejurus kemudian. Karena bagiku terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan Darren.

Laki-laki itu menganggukkan kepala.

"Jika itu yang kamu butuhkan, kenapa tidak? Aku bisa menunggu untuk kamu."

Aku mengulum senyum tipis dan membisikkan kata terimakasih tanpa suara.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top