18
Bagiku, hidup sudah berhenti. Meski pada kenyataannya jantungku masih berdetak dengan ritmenya sendiri. Napasku masih berembus dengan teratur meski menyesakkan. Aku hidup, tapi jiwaku seolah mati. Entah di mana aku meninggalkan sekeping hati dan perasaanku. Mungkinkah kepingan hatiku berbaur dengan rintik hujan yang turun sore ini?
Aku tidak tahu.
"Be."
Suara Kak Alfa benar-benar membuatku jengah. Bosan. Dalam sehari laki-laki itu bisa puluhan kali keluar masuk kamarku. Dan aku merasa sangat tidak nyaman dengan tindakannya.
"Kamu benar-benar ingin membuatku marah?"
Aku terpaksa mengalihkan tatapan dari jendela kaca yang menampilkan pemandangan hujan di luar sana demi mendengar pertanyaan Kak Alfa yang terlontar dengan nada tinggi. Laki-laki itu sedang berdiri kaku dengan kedua tangan di pinggang. Sepasang matanya melebar menatap ke arahku.
"Sampai kapan kamu akan seperti ini, hah?!" Ia setengah berteriak kali ini. "Sudah dua hari kamu tidak makan dan hanya melamun terus di kamar. Kamu bisa sakit jika seperti ini terus, Be..."
Aku melenguh mendengar kalimat Kak Alfa yang terdengar berlebihan. Dua hari ini aku memang mengurung diri di dalam kamar, tapi aku masih sempat mengisi perut meski dalam porsi sedikit.
"Aku akan makan, tapi nanti. Kakak tidak perlu khawatir." Aku mencoba menenangkan hati Kak Alfa.
"Nanti itu kapan? Makan siangmu masih utuh, Be." Dagu Kak Alfa bergerak menunjuk ke arah meja tak jauh dari tempat tidurku.
"Aku tahu," sahutku setengah bergumam.
"Apa yang membuatmu seperti ini? Mama? Papa? Atau Darren?" desak Kak Alfa seolah enggan membiarkanku kembali menikmati pemandangan hujan.
Kenapa mesti ada nama Darren dalam opsi yang ia sebut?
"Kak Alfa tahu," Aku menelan saliva sebelum melanjutkan kalimat. "dulu kupikir hidupku sangat bahagia karena aku memiliki kalian semua, keluarga yang utuh. Tapi, aku sadar aku tidak sepenuhnya memiliki kalian. Kalian seperti punya dunia lain yang tidak bisa aku masuki. Dan aku merasa sendirian saat itu..."
"Hei, siapa bilang kamu sendirian?" Kak Alfa memotong sebelum aku sempat menyebutkan apa saja kesibukan Papa dan Mama beberapa puluh tahun lalu yang masih berlanjut sampai waktu yang lama. Kak Alfa juga. Ia sibuk dengan kegiatan pecinta alam saat duduk di bangku sekolah dan kuliah. Bahkan ia lebih sering mendaki gunung ketimbang tidur di rumah. Aku nyaris merasa tak punya saudara saat itu.
"Tapi, aku baik-baik saja saat itu." Aku menyambung kembali kalimatku meski sesungguhnya bukan itu yang hendak kuucapkan. "Aku mulai terbiasa mandiri, melakukan apa-apa sendiri. Dan konyolnya terkadang aku merasa hanya punya diriku sendiri dan Bibi Sati. Aku pikir suatu hari nanti kalian akan kembali padaku satu per satu, tapi kenyataan berkata sebaliknya. Suatu hari itu datang dan membawa kalian pergi dari hidupku. Papa dan Mama..."
Harusnya aku menambah daftar nama satu lagi, yaitu Darren. Diakui atau tidak, laki-laki itu, pernah datang dalam hidupku menjadi bagian dari diriku meski itu hanya status belaka, lalu kami terpisah. Memang, harusnya aku senang dengan perpisahan kami karena sejak awal aku tidak pernah menginginkan pernikahan itu, tapi entah kenapa pikiranku menolak keadaan yang sesungguhnya. Tetap saja itu bernama 'kehilangan'. Aku benar-benar merasa kekosongan mulai menggerogoti hatiku. Mungkin akan lebih baik jika aku bisa melihatnya meski hanya punggung bisu Darren. Daripada tidak sama sekali.
"Aku minta maaf," ucap Kak Alfa terdengar tulus. Selama ini ia tidak pernah merasa bersalah pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama untuk kegiatan pendakian. Sudah puluhan gunung yang ia taklukkan, tapi sekarang ia tampak menyesal. Bukan karena pendakiannya melainkan untuk waktunya yang tidak pernah tersisihkan meski sedikit untukku.
"Apa kata maaf akan mengembalikan semuanya?" tanyaku dengan nada getir. Dan pertanyaanku sanggup mengunci bibir Kak Alfa. Apa yang bisa ia katakan demi menukasnya? Tidak ada. "Bukan salah Kak Alfa kalau aku harus menjalani semua ini," tandasku.
"Kakak benar-benar minta maaf, Be." Laki-laki itu beralih dari tempatnya berdiri dan apa yang sedang ia lakukan sekarang? Ia bahkan berlutut di depan tempat dudukku seraya menggenggam kedua tanganku.
"Sudah kubilang tadi kalau ini bukan salah Kak Alfa," tandasku sembari mencoba melepaskan genggaman tangan Kak Alfa padaku. Sungguh, ini membuatku risih. "Ini takdir yang harus terjadi pada keluarga kita, Kak. Kita tidak bisa memperbaiki masa lalu, kan?"
"Ya." Kak Alfa bergumam pendek. Laki-laki itu bangun dan menempati sebelah tempat dudukku lalu ikut menerawangkan pandangan ke arah jendela yang tak lagi menampilkan pemandangan hujan. Hanya temaram yang tersaji di sana. "Vonis papa jatuh hari ini." Sekilas Kak Alfa menoleh padaku.
"Oh." Suaraku tercekat di tenggorokan. Rasanya sulit untuk mengeluarkan sesuatu dari bibirku. Apa yang mesti kukatakan perihal papa?
"Papa akan tinggal di sana dua tahun, Be."
Dua tahun bukan waktu yang singkat. Tapi, bukan tidak mungkin untuk menunggu selama itu. Papa pasti bisa menjalani hukumannya dengan baik.
"Setelah bebas nanti, Papa akan berhenti dari dunia politik dan kembali ke usaha transportasi keluarga kita," beritahunya. Ada secercah harapan terselubung dengan indah di balik sorot mata Kak Alfa. "Kamu lega?"
"Mungkin," jawabku canggung. Setidaknya papa tidak perlu hidup dalam dunia politik yang penuh dengan intrik dan konspirasi.
"Bagaimana kalau kita pergi makan? Kamu mau soto?" tawar Kak Alfa sejurus kemudian, mengubah topik pembicaraan. Tanganku sudah siap diseretnya pergi. Lalu apa aku bisa menolak?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top