14
"Ceraikan Darren."
Hatiku seperti tertusuk ribuan jarum berkarat saat Mama Darren meluncurkan sebaris kalimat itu. Memang, aku tahu suatu hari nanti--entah itu kapan, namun aku tidak berharap itu sekarang--aku akan melepaskan Darren karena beberapa alasan. Tapi, bukan sekarang. Maksudku tidak secepat ini. Dan bukan di saat aku sedang berduka seperti sekarang. Mama baru dimakamkan tiga hari yang lalu dan hari ini adalah persidangan pertama kasus yang melibatkan papa.
"Darren sama sekali tidak bersalah," ucap wanita itu mengusik kebisuanku. Sedetik yang lalu aku masih menelusuri jejak masa lalu dan suara Mama Darren mengacaukan segala yang ada di pikiranku. "Mama tidak mau Darren menjadi bagian dari keluarga kalian yang ... kamu tahu sendiri seperti apa. Darren terlalu polos dan Mama kasihan kalau nama baiknya ikut tercemar karena permasalahan keluarga kalian. Kamu bisa mengerti maksud Mama, kan?"
Aku bergeming tanpa jawaban. Kenyataannya keluargaku memang bobrok seperti ucapannya. Papa yang terlibat kasus suap pejabat, Mama yang mengalami depresi dan memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengenaskan, Tante Sarah yang sampai detik ini menghuni salah satu ruangan di rumah sakit jiwa dan entah sampai kapan ia bertahan dalam kebisuannya, dan aku yang berpeluang mengalami hal yang sama mengingat ada dua wanita yang mengalami depresi dalam keluarga kami. Meski aku tidak tahu berapa persen kemungkinannya, tetapi ketakutan itu akan terus mengintai. Dan harga diri Darren harus diselamatkan secepatnya sebelum semuanya terlanjur menjadi sebuah penyesalan. Ya, aku sangat mengerti kekhawatiran yang wanita itu rasakan.
"Ya," anggukku seolah terhipnotis sorot mata Mama Darren. Setidaknya aku merasa bersyukur karena tidak perlu memasang raut terkejut di hadapannya.
"Syukurlah kalau kamu mengerti." Wanita itu menarik napas diam-diam. Lega. Seolah ia baru saja melemparkan beban berat yang menimpa pundaknya. "Sebenarnya mama kasihan melihatmu, Beta ...."
Kepalaku urung tertunduk saat Mama Darren melanjutkan kembali celotehannya yang tidak penting. Kasihan ia bilang? Jika ia memang mengasihaniku, harusnya ia memelukku saat ini dan bukannya ingin melepaskan statusku sebagai menantu.
"Aku baik-baik saja, Ma."
Ah, kenapa aku mulai merasa canggung saat memanggilnya dengan sebutan 'Ma'?
Mama Darren mengurai senyum tipis nan elegan. Ada ribuan tanda tanya yang tiba-tiba beterbangan di dalam kepalaku saat melihat ekspresi wajahnya. Aku tidak pernah bisa mengintip apa saja yang menghuni ruang di dalam kepalanya.
Mama Darren menyesap kopi di hadapannya di tengah-tengah keheningan yang tercipta dengan tiba-tiba di antara kami. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik untuk menyentuh minumanku. Sekering apapun tenggorokanku, aku lebih suka membasahinya dengan kopi instan yang disediakan di pantri kantor kami daripada meminum kopi yang dipesan wanita itu.
"Darren akan mengajukan gugatan cerai minggu depan," ucap wanita itu setelah meletakkan cangkir kopinya di atas meja.
Aku masih diam. Hanya ujung-ujung kuku milikku yang bermain di atas pangkuan. Aku tak punya pendapat atau hak untuk berbicara karena sejak awal wanita itu adalah salah seorang penggagas perjodohanku dengan Darren. Lagipula dari awal aku tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tetapi, kenapa ada sesuatu yang mengganjal di dadaku usai Mama Darren meminta kami bercerai?
"Mama saja yang mengatur semuanya," ucapku pada ujung kebisuan.
"Oh?" Sepintas kedua mata Mama Darren terbelalak mendengar ucapanku. Tapi, bukankah itu malah akan memudahkan segala urusan kami? "Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Mama akan mengurus semuanya."
Bukankah ia sendiri yang menginginkan perceraian kami?
Dari tempat dudukku, aku bisa melihat punggung wanita itu bergerak menjauh dari pintu cafe beberapa menit kemudian. Gerakan kakinya ringan menapaki pelataran parkir yang setengah basah akibat gerimis yang turun setengah jam lalu. Sementara aku masih saja bergeming di kursi dan melayangkan pandangan keluar kaca setengah menerawang. Sebentar ke masa lalu, sebentar ke masa sekarang. Dan aku seperti berputar di tengah-tengah pusaran. Aku terjebak oleh takdir! Namun, beberapa detik kemudian getaran ponsel menyentak lamunanku.
Lima menit kemudian aku beranjak dari kursiku, meninggalkan secangkir kopi yang masih utuh belum tersentuh tanganku. Kupikir aku harus pergi ke suatu tempat saat ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top