13
Apa lagi ini? batinku kesal. Langkah-langkah kakiku memelan seolah ada beban berat yang menghambatnya. Bahkan kalimat-kalimat pedas yang terlontar dari bibir Mama Darren masih berkutat di dalam kepalaku dan aku mesti dihadapkan pada kenyataan yang benar-benar mengejutkan di depan sana.
Wanita itu menarik ujung bibirnya dengan sangat canggung. Kaku. Padahal beberapa tahun silam bibir itu selalu menderaikan tawa tanpa sungkan di hadapanku. Bahkan aku juga ikut tertawa saat itu. Kami tertawa bersama.
"Be."
Kepalaku berpaling ke satu sudut dinding rumah sakit ketika wanita itu menyebutkan nama panggilanku. Aku sudah terlalu sering mendengar suaranya memanggil namaku, tapi sekarang terdengar sangat asing. Perutku mendadak mual karenanya.
"Aku turut sedih mendengar berita itu," ucapnya dengan nada yang menurutku terlalu didramatisir. Tidak ada orang yang benar-benar sedih melihat kemalangan yang menimpa orang lain.
"Tidak usah bersedih untuk apa yang menimpaku," timpalku dengan nada ketus. Kedua tanganku mengepal.
"Maafkan aku, Be." Mendadak ia menyeruak ke hadapanku dan berusaha meraih kedua kepalan tanganku. Namun, aku mencegahnya sebelum ia benar-benar menyentuhku.
"Sayang, kamu di sini? Aku tadi mencarimu..."
Sempurna! batinku ingin muntah. Laki-laki sialan itu mendadak muncul dan mendekati si wanita. Rendy dan Zoya, pasangan pengantin baru yang berbahagia. Mereka benar-benar membuatku muak.
"Beta?" Rendy membelalakkan kedua matanya begitu menyadari kehadiranku di sana. Tidak, aku memang pantas di sana karena mama dirawat di bangsal itu.
"Bisa kalian menyingkir dari hadapanku?" Aku melancarkan tatapan kejam ke arah mereka. Supaya mereka tidak menghalangi jalanku untuk masuk ke dalam kamar mama. Aku benar-benar ingin tahu kondisi mama sekarang.
"Beta, maafkan aku..." Wanita bernama Zoya sekaligus sahabat baikku di masa lampau itu merengek sembari menarik ujung cardigan yang membungkus tubuh kurusku. Apa ia tidak menyadari perubahan fisikku pasca ditinggalkan Rendy? Aku bahkan kehilangan beberapa kilo bobot tubuhku setelah mereka resmi berpacaran!
"Apa jika aku memaafkanmu, semua akan kembali seperti semula?" geramku. Ya, Tuhan... Bahkan untuk melihat wajah wanita itu aku benar-benar tidak sanggup untuk melakukannya. Lebih baik kami tidak dipertemukan lagi. Selamanya.
"Be." Tiba-tiba saja Rendy berinisiatif maju dan menyela percakapan penuh emosional kami. Mungkin akan lebih baik jika Rendy tidak pernah ada di dunia ini. Paling tidak, ia terlahir di belahan dunia yang lain. Dan bukan di sini. Dengan begitu persahabatan antara aku dan Zoya tidak akan pernah terkoyak. "Zoya sudah meminta maaf padamu. Aku juga, dengan segala kerendahan hati meminta maafmu."
"Maaf?" Aku mengulang satu kata penting yang selalu kedua orang itu ulang sejak tadi. Senyum sinis kupasang bersamaan saat bibirku bergumam pelan. "Apa sakit hati akan sembuh hanya dengan satu kata maaf?" sindirku dengan sengaja. Pelan, namun cukup pedas. Aku harap kalimatku bisa menusuk hati keduanya.
Dengan sengaja aku menabrak ujung bahu Zoya saat melenggang dengan kesal ke arah kamar mama. Mungkin itu satu-satunya cara untuk melampiaskan sakit hati, dendam, atau sejenisnya yang sudah terendap cukup lama dalam diriku.
Entahlah, sepertinya hari ini adalah hari terburuk sepanjang hidupku. Kalimat mama Darren yang menancap bak duri dalam hatiku seakan masih menyisakan luka sampai sekarang meski aku sudah mencoba untuk melupakannya. Tapi, nyatanya mengenyahkan suara mama Darren yang terus bergaung dalam hatiku tidak semudah yang kupikirkan. Ditambah lagi dengan kehadiran Zoya dan Rendy yang tiba-tiba bagai ingin mengoyak kenangan pahit masa lalu.
Pintu kamar mama terkuak perlahan. Begitu ujung sepatuku menapak di lantai ruangan itu, mendadak hawa aneh menyergap tubuhku. Atmosfer di dalam ruangan itu terasa berbeda dengan saat aku masih berada di luar tadi.
Tubuhku tercekat. Pemandangan beberapa jengkal di depan sana seketika menghentikan gerak kaki dan tanganku. Detak jantungku seolah juga ingin melakukan hal yang sama saat ekor mataku menangkap bayangan selembar kain putih terbentang menutupi seluruh tubuh mama tak terkecuali wajahnya. Kenapa mereka melakukan itu pada mama?
Kak Alfa terlihat pucat dengan tatapan menerawang kosong ke arahku. Segumpal ketakutan dan kecemasan berkumpul di wajahnya. Kacau, begitulah yang terbaca pada dirinya. Sementara Jenny tampak membeku di sudut ruangan dan tak ada yang bisa terbaca dari ekspresi wajahnya.
Pikiranku bergegas bekerja untuk menyimpulkan keadaan yang tertangkap oleh indra penglihatanku. Meski batinku menolak, tapi apa yang terlihat di depan mataku dan kebisuan yang tercipta di bibir Kak Alfa, serta selembar kain putih yang menutupi tubuh mama, sudah cukup menjelaskan apa yang terjadi.
"Mama sudah pergi, Be."
Satu kalimat yang kutunggu beberapa lama kemudian akhirnya terlontar dari bibir Kak Alfa. Aku hanya ingin diyakinkan. Itu saja. Meski kenyataan yang terbentang di depan sana sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya.
"Kenapa?"
Bibirku bergumam lirih dibarengi butiran air mata yang mendadak jatuh berhamburan ke atas pipiku.
Pertanyaanku tak terjawab. Kak Alfa justru menarik tubuhku ke dalam pelukannya tepat di saat aku nyaris kehilangan keseimbangan. Dan bukannya mereda, tangisku malah kian menjadi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top