12

"Mama minta pikirkan tentang masa depanmu ...."

Kedua ujung sepatuku berhenti melangkah. Begitu juga dengan tanganku yang hendak menguak pintu lebar-lebar, mengambang di udara tanpa kepastian. Pasalnya kedua indra pendengaranku menangkap sebuah suara yang tak begitu asing, namun jarang kudengar. Suara mama Darren.

Tubuhku beringsut merapat ke dinding.

"Kenapa? Bukannya mama yang dulu antusias menjodohkan kami?" Suara Darren menyahut beberapa waktu kemudian.

Meski tubuhku berada di balik tembok, telingaku masih bisa menyimak percakapan itu dengan baik. Setidaknya aku bersyukur untuk itu.

"Ya, tapi itu dulu. Sebelum Mama tahu betapa bobroknya keluarga mereka."

"Dan sekarang, Mama menyesal?"

"Tentu saja." Mama Darren menyambar cepat. Terbersit kilatan amarah dalam nada suaranya. "Kalau saja Mama tahu akhirnya akan seperti ini, Mama bersumpah tidak akan pernah menjodohkan kalian berdua."

"Tidak ada yang pernah tahu tentang masa depan, Ma." Samar-samar aku menangkap suara Darren. Pelan. Tak ada riak sama sekali dalam nada suaranya.

"Ya, kamu benar. Makanya Mama menyuruh kamu untuk memikirkan masa depanmu. Mama tidak mau putra kesayangan mama mempunyai mertua tukang suap, dipenjara pula. Dan Beta..."

Deg. Begitu mendengar namaku disebut mama Darren, jantungku mendadak berdentum dengan keras. Ada apa denganku?

"Beta kenapa?" Sebuah pertanyaan yang menjadi penghubung percakapan mereka berdua, sudah cukup untuk mewakili apa yang melintas di dalam kepalaku.

Mama Darren tak langsung menyahut. Sepertinya ia perlu jeda sesaat untuk mengambil napas atau menyusun ulang kata yang akan ia lontarkan. Tentangku.

"Kamu tahu ...," Suara mama Darren akhirnya terdengar juga. "Mama Beta mengalami depresi setelah suaminya ditahan polisi. Itulah kenapa dia nekad melompat dari lantai tiga gedung kantornya. Dan setelah kejadian itu, seseorang memberi tahu mama kalau Tante Beta juga mengalami hal yang sama."

"Tante Beta?"

"Ya, adik mama Beta. Dia dirawat di rumah sakit jiwa karena mengalami depresi akut pasca bercerai dengan suaminya beberapa tahun lalu. Kabarnya dia sudah sering melakukan percobaan bunuh diri, tapi gagal. Makanya selama ini kita tidak pernah diperkenalkan dengannya. Mereka pasti sangat malu memiliki keluarga seperti itu."

"Lalu? Kenapa mama membahas soal itu?"

"Ya, ampun. Darren, Darren. Kamu masih belum paham juga?"

Tak ada jawaban. Entah bagaimana ekspresi Darren sekarang. Namun yang pasti seluruh ingatanku tertuju pada Tante Sarah, adik mama yang nyaris lima tahun ini tinggal di rumah sakit jiwa. Mama Darren benar. Entah siapa yang memberitahunya tentang Tante Sarah.

"Keluarga mereka mempunyai riwayat penyakit semacam itu, Darren. Mulai dari adik, kakak, dan bisa saja suatu hari Beta akan mengalami hal yang sama ...."

"Cukup, Ma!"

Aku mendengar teriakan Darren memotong ucapan mamanya. Kalimat wanita itu seperti tamparan bertubi-tubi yang hinggap di telingaku. Panas dan menusuk sampai ke relung hati. Dadaku terasa nyeri bahkan napasku mendadak sesak. Pipiku menghangat dan kelenjar air mataku penuh dalam sekejap. Oh, Tuhan! Sayangnya jeritanku hanya tertahan di tenggorokan.

"Non Beta tidak jadi berangkat ke rumah sakit?"

Bibi Sati berdiri menghadang langkahku di ruang tengah. Wanita itu memandangku dengan tatapan ganjil. Bola matanya ikut bergerak menelusuri seluruh lekukan di wajahku.

"Aku mau mengambil sesuatu di kamar, Bi." Aku bohong padanya.

"Apa terjadi sesuatu? Non Beta sakit? Wajah Non Beta pucat?"

Tanganku terangkat ke atas berusaha menepis lengan Bibi Sati sebelum wanita itu berhasil menjangkau tubuhku. Meski aku tahu ia sangat mencemaskanku, tapi aku benar-benar ingin sendirian saat ini.

"Aku baik-baik saja, Bi."

Aku berlalu dari hadapan wanita tua itu secepat yang kakiku bisa meski ekor matanya terus mengarah padaku. Seperti melontarkan berbagai pertanyaan yang sama sekali tidak ingin kujawab.

Tubuhku merosot di balik pintu kamar. Tangisku pecah. Air mataku berhamburan keluar tanpa bisa kukendalikan. Tapi, aku tak ingin orang lain mendengar isakku.

Entah kenapa ini begitu menyakitkan bagiku. Bahkan rasa sakit itu sanggup menyumbat jalan napasku. Sebuah bola besi seperti sedang memukul-mukul dadaku. Oh, Tuhan...

Benarkah mama juga mengalami depresi seperti Tante Sarah? Jika benar, tidak menutup kemungkinan aku akan mengalami hal yang sama suatu hari nanti.

Suatu hari nanti...

Kapan?

Benarkah itu akan terjadi padaku?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top