11

Desakan Kak Alfa yang menyuruhku agar pulang terlebih dulu, sama sekali tak kudebat. Aku patuh. Aku berencana pulang malam ini lalu kembali ke rumah sakit esok pagi-pagi sekali. Sedang Kak Alfa akan tetap tinggal di samping mama sepanjang malam ini.

Namun, ketika aku dan Darren tiba di lantai lobi rumah sakit, beberapa gelintir wartawan mendadak menghadang langkah kami. Mereka segera menodongkan ponsel masing-masing ke arahku seraya mengajukan beberapa pertanyaan yang membuatku membeku di tempat. Sepertinya mereka telah menunggu selama beberapa jam terakhir.

"Mbak Beta, bagaimana kondisi ibu Anda sekarang?"

"Apa benar rumor yang beredar kalau ibu Anda bunuh diri karena depresi? Atau seseorang sengaja ingin melukai ibu Anda?"

"Apa kejadian ini ada hubungannya dengan ditahannya Pak Wijanarko terkait kasus suap pejabat pemerintah?"

Pertanyaan-pertanyaan itu kubalas dengan kebungkaman. Bahkan aku tidak pernah tahu bagaimana mama bisa sampai jatuh seperti ucapan Kak Alfa. Kakak kandungku itu seolah sedang menyembunyikan sesuatu dariku, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan mereka?

"Maaf, kami tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sekarang. Permisi."

Di saat aku mulai terdesak, tiba-tiba Darren mengambil inisiatif. Laki-laki itu merangkul pundakku dan bergegas menerobos kerumunan wartawan yang masih dengan gigih 'bekerja' menggali informasi. Bisa dikatakan Darren menyelamatkanku kali ini. Andai saja papa bukan seorang politisi, mungkin keadaan tidak akan pernah sama dengan yang terjadi sekarang. Andai saja papa tetap menjalani bisnis transportasinya seperti dulu.

"Kita naik mobilku saja, Be," usul Darren saat kami berjalan beriringan menuju area parkir. Terang saja usulnya tak bisa kuterima. Aku membawa mobil sendiri dan rasanya aku tak punya alasan untuk ikut bersamanya.

"Aku membawa mobil sendiri," ucapku setengah melirik ke samping. Di bawah sinar lampu yang temaram, aku mendapati wajah laki-laki itu terlihat gusar.

"Tapi sudah malam, Be. Kamu pasti lelah."

Aku menghentikan langkah dan mengulum senyum pahit usai Darren menuntaskan kalimatnya. Apa ia sedang bersimpati padaku?

"Ayolah. Sekarang bukan saatnya untuk berdebat, Be." Laki-laki itu ikut berhenti dan menatapku seolah bisa membaca sebaris kata-kata yang terlintas di kepalaku.

Apa aku punya pilihan lain? batinku kesal saat tanganku tiba-tiba ditariknya dengan paksa menuju tempat di mana ia memarkir mobil silver-nya.

"Pasang sabuk pengamannya," suruh Darren saat ia sudah berhasil memaksaku duduk di dalam mobilnya. Ia sendiri telah selesai memasang sabuk pengaman di tubuhnya.

Baiklah. Untuk kali ini saja, batinku sambil memasang sabuk pengaman. Dengan setengah hati tentunya. Lagipula aku juga tidak suka mengemudi malam-malam seperti ini. Kegelapan malam bisa membuatku mengantuk.

Tak ada perbincangan sepanjang perjalanan menuju rumah. Aku lebih memilih membuang tatapan keluar jendela, bergelut dengan pikiranku sendiri. Bertanya-tanya tentang mama pada batinku sendiri. Tanpa jawaban. Sesekali bayangan masa kecil juga ikut berkelebat di dalam kepalaku. Menambah kekacauan di dalam sana.

Apa benar mama berniat bunuh diri?

Satu pertanyaan itu terus bergaung di dalam hatiku. Sebelah hatiku tak ingin mempercayainya, tapi sebagian hatiku yang lain mengatakan 'bisa jadi'. Tapi kenapa? Kasus yang melibatkan papa bukanlah kasus yang bisa menjeratnya masuk penjara seumur hidup. Kenapa mama bisa berbuat senekat itu? Apa ia tidak berpikir sedikit saja tentangku? Tentang Kak Alfa?

"Kamu baik-baik saja, Be?"

Teguran dari arah samping membuatku harus mengenyahkan lamunan panjang dan dari menggeleng-gelengkan kepala tak jelas.

"Tentu saja," sahutku sewot.

Tak ada satu kalimatpun yang keluar setelahnya. Aku dan Darren saling terdiam. Aku yang kembali disibukkan lamunan, sedang Darren kembali fokus pada kemudinya karena kami nyaris sampai di rumah. Tinggal beberapa blok lagi.

Bibi Sati menyambut kedatangan kami di depan pintu dengan menampilkan wajah cemas. Wanita itu langsung menghambur ke arahku dan bertanya tentang kondisi mama.

"Bagaimana keadaan Nyonya, Non?" Bibi Sati memegang lenganku dengan tangan bergetar. Wanita itu terlihat sangat mengkhawatirkan mama. Sepasang matanya mengabarkan demikian.

Aku menatap sepasang mata redup milik Bibi Sati dalam kebisuan. Apa yang harus kukatakan pada orang yang bahkan menyayangiku melebihi ibu kandungku sendiri itu?

"Mama koma."

Wanita itu terkejut bukan kepalang mendengar jawabanku.

"Biarkan dia istirahat, Bi." Suara Darren mendadak terdengar menengahi. Dan kupikir ini bukan waktu yang tepat untuk menyela. Bibi Sati bahkan belum berucap sesuatu pun untuk meluapkan keterkejutannya.

Keterlaluan, batinku kesal. Kenapa aku merasa laki-laki itu mendadak jadi menyebalkan seharian ini? Apa ia sedang mengasihaniku?

"Kalian sudah makan? Biar Bibi siapkan makanan..."

"Kami sudah makan di rumah sakit." Darren yang menjawab pertanyaan Bibi Sati. Ya, kalau bukan Darren dan Kak Alfa yang memaksa, mungkin sampai sekarang perutku masih kosong. Tapi, aku lebih suka kelaparan ketimbang makan di kantin rumah sakit.

"Aku ke kamar dulu," pamitku sejurus kemudian. Aku harus segera tidur dan bangun pagi-pagi sekali lalu pergi ke rumah sakit untuk menggantikan Kak Alfa menjaga Mama, meski aku sendiri tak yakin bisa memejamkan mata malam ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top