10
"Mama sakit, Be."
Kalimat Kak Alfa semenit yang lalu via telepon masih berdengung dengan samar di dalam telingaku. Menambah pening kepalaku yang sudah terbebani beberapa naskah di atas meja kerja. Beberapa naskah yang dikirim entah oleh siapa, masih teronggok di depan mataku. Menunggu untuk dibaca dan sebagian lagi sudah kuletakkan setelah membuka beberapa halaman. Aku tidak tahu kenapa 'mereka' begitu pandai mengembangkan ide cerita yang sudah terlalu pasaran. Mungkin jiwa labil para penulis muda itu belum bisa menelaah mana khayalan dan kenyataan. Memiliki pacar atau suami seorang CEO tampan rupawan dan kaya raya? Huh! Kurasa mereka hidup di negeri dongeng. Harusnya mereka bangun dan keluar rumah lalu melihat sekitar. Hidup tidak selalu bercerita tentang kebahagiaan dan cinta. Hidup lebih banyak berkisah tentang perjuangan, kerja keras, dan sebagian kecil impian yang terwujud. Sisanya kehidupan normal yang biasa-biasa saja.
Namun, akhirnya aku memutuskan untuk beranjak dari tempat dudukku usai menyambar tas dan ponsel dari atas meja. Kak Alfa sudah memberitahuku di mana mama dirawat dan ia pasti sedang menungguku sekarang.
Seingatku selama belasan tahun terakhir, Mama jarang sakit. Paling-paling hanya flu ringan atau sakit kepala biasa. Mama adalah seseorang yang sangat menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhnya. Wanita itu selalu menghitung jumlah kalori makanannya, maka tak heran di usia mama yang hampir menginjak angka 50 tahun ia masih terlihat cantik dan langsing. Setiap dua kali dalam seminggu ia rutin melakukan yoga bersama teman-teman sebayanya. Apa sakitnya mama kali ini berhubungan dengan kasus yang menimpa papa?
Begitu tiba di depan rumah sakit yang disebutkan Kak Alfa, aku sedikit heran dengan keberadaan beberapa wartawan yang terlihat sibuk mencengkeram kamera masing-masing seolah sedang menunggu sesuatu untuk dijadikan bahan berita. Biasanya kasus kecelakaan atau semacamnya. Aku tidak terlalu peduli dan bergegas mengambil langkah ke ruangan mama.
Dari kejauhan aku bisa menangkap bayangan Kak Alfa yang sedang berdiri tak jauh dari sebuah pintu. Wajahnya terlihat tegang dan aku bisa membaca situasi seketika. Mama tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.
"Bagaimana keadaan mama?" Aku langsung menghampiri Kak Alfa dan mencecarnya.
Sayangnya Kak Alfa terlihat enggan berbagi informasi tentang keadaan mama. Bibir laki-laki itu terkatup rapat bahkan sampai hitungan ke-lima. Membuatku harus melotot sembari menarik ujung jas yang membalut tubuhnya.
"Kak..." desisku tak sabar.
Kak Alfa menarik napas berat.
"Mama koma, Be," ucap Kak Alfa akhirnya meski dengan nada berat.
Suara Kak Alfa terdengar sangat pelan, namun sanggup memerosotkan cengkeraman tanganku dari ujung jas miliknya.
"Koma? Kenapa? Bukankah selama ini mama baik-baik saja?" Tiba-tiba saja kepalaku penuh dengan banyak hal negatif. Mana mungkin orang yang semula baik-baik saja mendadak jatuh koma? Mustahil, kan?
"Mama jatuh, Be," ungkap Kak Alfa menjawab pertanyaanku.
"Jatuh? Kenapa mama bisa jatuh, Kak?" Kepalaku berputar ke samping ketika suara detak sepatu di atas lantai mengalihkan perhatianku bahkan sebelum Kak Alfa sempat berkata-kata.
Jenny?
Seraut wajah wanita itu tampak lesu dan nyaris tak terlukis sebuah harapan pun. Langkah-langkahnya terlihat berat. Ada apa sebenarnya? Kenapa aku merasa menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa di sini?
"Bagaimana kondisi mama?" cecarku pada Jenny begitu ujung sepatunya berhenti melangkah beberapa jengkal di depanku. Karena aku belum mendapat jawaban apapun dari Kak Alfa.
Tapi, alih-alih menanggapi pertanyaanku, Jenny malah melempar tatapan mencurigakan pada Kak Alfa. Apa maksudnya? Kenapa aku melihat ketidakberesan antara mereka berdua? Seperti sedang menyembunyikan rahasia yang tidak boleh bocor ke telingaku.
"Be..."
Suara Kak Alfa segera kuputus. "Katakan sebenarnya, Jen," desakku dengan melotot tajam ke arah Jenny. Karena aku tidak yakin akan mendapatkan jawaban sesuai yang kuinginkan dari laki-laki itu.
Jenny melirik ke arah Kak Alfa sejenak, mungkin untuk meminta izin.
"Maaf, Be." Wanita itu tertunduk sebentar dengan mendesah berat. "Kami tidak bisa berbuat banyak. Mamamu terluka cukup serius... dan kemungkinan untuk sembuh sangat kecil. Hanya keajaiban yang bisa membuatnya..."
Cukup.
Kalimat Jenny seperti sebuah palu besar yang tiba-tiba menghantam kepalaku hingga serombongan kupu-kupu berdatangan dan berputar di sekelilingku, mengaburkan pandangan dan nyaris membuatku kehilangan keseimbangan. Namun, tiba-tiba saja dengan gerakan sigap seseorang mencekal pinggangku sehingga aku tak sampai tersungkur ke atas lantai rumah sakit yang dingin.
Darren?
Batinku memekik lemah. Dalam sekejap aku menyingkirkan tangan kokoh milik Darren dari tubuhku. Laki-laki itu--entah kapan dan dari mana datangnya, aku tidak pernah menyadarinya--sudah berdiri di sebelahku dengan tatapan iba.
"Aku baik-baik saja." Aku bergumam pelan dan mencoba menarik napas dalam agar tampak baik-baik saja seperti ucapanku. "Bisa aku melihat keadaan mama?" tanyaku kemudian entah pada Kak Alfa atau Jenny.
Dari sorot mata Kak Alfa aku bisa membaca selintas prasangka ketika aku bersikeras menyingkirkan tangan Darrren. Tapi sudahlah. Aku tidak terlalu memikirkannya.
Jenny membawaku masuk ke dalam kamar mama tanpa suara sejurus kemudian. Kali ini ia tak melempar tatapan ke arah Kak Alfa untuk sekadar meminta izin. Toh, aku adalah putri pasien.
Di dalam kamar hening itu aku mendapati tubuh mama terbaring kaku. Wanita itu bergeming dengan selimut berwarna putih membentang menyelimuti tubuhnya. Sehelai perban membalut kepala hingga nyaris menutup seluruh rambutnya. Alat bantu pernapasan dan sebuah penyangga leher terpasang di wajahnya yang terlihat pasi. Tabung infus yang nyaris penuh tampak tergantung tak jauh dari ranjang milik mama.
Wanita itu, bagaimanapun juga ia adalah orang yang melahirkanku ke dunia ini. Meski sebagian masa kecilku dalam pengasuhan Bibi Sati, ia tetaplah mama kandungku. Ada sebuah ikatan tak kasatmata yang menghubungkan diriku dan dirinya. Aku adalah bagian dari darah dagingnya. Bagaimana aku bisa tak trenyuh saat melihatnya terbaring antara hidup dan mati?
Dan tiba-tiba saja bibit-bibit penyesalan mulai tumbuh dalam hatiku. Aku merindukan mama.
Andai waktu bisa kuputar kembali.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top