09
"Kamu sudah mendengar berita itu, kan?" Dari pantulan cermin rias, aku melirik ke arah Darren.
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya dengan gerakan lambat.
"Ya," jawabnya singkat.
"Jadi, kita sudah punya alasan untuk mengakhiri semuanya kan?" Aku mulai mengusapkan lembaran kapas basah ke wajah demi mengangkat sisa-sisa make up yang menempel di sana. Kupikir saat ini adalah waktu yang pernah kusebut sebagai 'suatu hari nanti'.
"Kasus itu tidak ada hubungannya dengan kita, kan?" Laki-laki itu melangkah maju dan berhenti tepat di belakang punggungku. Ekor matanya tekun memperhatikan setiap gerak gerikku.
"Aku sudah pernah bilang akan mengakhiri semua ini suatu hari nanti, kamu ingat?"
"Kamu mau menjadikan kasus itu sebagai alasan? Itu tidak masuk akal, Be." Telingaku jelas-jelas mendengar tawa sinis laki-laki itu.
Aku mendengus dan melempar kapas di dalam genggaman tanganku ke atas meja lalu membalikkan tubuh.
"Memangnya kamu tidak malu punya mertua yang terlibat kasus suap? Apa yang akan dipikirkan orang-orang saat melihatmu? Lalu bagaimana tanggapan keluargamu? Apa kamu tidak pernah berpikir soal itu, hah?" Terus terang saat ini aku tidak bisa mengontrol emosi dengan baik. "Dari awal kita tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Darren." Sekali lagi aku mengingatkannya.
"Lalu setelah kita berpisah, apa hidup kita akan kembali seperti semula?"
Memang tidak. Aku membatin dengan jengkel.
"Mungkin kamu bisa bicara pada Serra agar dia membatalkan pernikahannya, Darren." Aku menarik napas panjang dan berusaha memelankan suara.
Darren melepaskan tawa yang cukup keras setelah aku mengakhiri kalimat.
"Kamu tahu, Serra menikah hari ini. Dan tidak ada satupun yang bisa diperbaiki, Be. Semuanya tidak akan pernah kembali seperti semula meski kita mengakhiri pernikahan ini. Kamu mengerti?"
Aku terperangah dan membisikkan kata 'apa' tanpa suara.
"Serra menikah hari ini?" gumamku dengan menampilkan ekspresi bodoh. Bahkan sebelumnya aku tidak pernah bertanya pada Darren kapan pernikahan Serra. Betapa bodohnya diriku. "Maaf," ucapku dengan bibir bergetar. Dalam waktu bersamaan aku seperti sedang terjun bebas ke dalam jurang penyesalan. Andai saja aku dan Darren tidak pernah terjebak dalam perjodohan sialan ini, ia dan Serra pasti masih bersama sampai sekarang.
"Maaf untuk apa?" tanya Darren dengan mengerutkan kulit keningnya.
"Untuk semuanya." Juga untuk keegoisan papa dan mama yang menjodohkan kita. Sebaris kalimat itu mengalir di pikiranku sesaat usai bibirku terkatup.
Darren menghela napas cukup panjang dan turut memutar bola matanya ke sekeliling ruangan.
"Kupikir kita berdua hanya korban," tandasnya pelan. "Ah, aku mau mandi dulu," pamitnya seraya memutar badan. Bahkan tanpa meminta persetujuanku, ia pergi begitu saja.
Sampai detik ini aku belum mengenalnya. Darren beserta isi hatinya. Aku hanya tahu jika ia mencintai Serra. Itu saja. Laki-laki itu seperti teman asing yang kulihat setiap hari.
"Be, kamu baik-baik saja, kan?"
Sebaris pesan singkat yang masuk ke ponselku, membangunkanku dari lamunan tentang Darren. Dari Jenny.
"Ya, Jen. Aku baik-baik saja."
Aku membalas secepat yang jari jemariku bisa.
"Maaf, aku tidak bisa meneleponmu sekarang. Ada jadwal operasi malam ini. Take care."
Aku meletakkan ponselku setelah membaca pesan terakhir yang dikirim Jenny. Kupikir aku tak perlu membalasnya. Jenny pasti sibuk malam ini.
***
"Tidak bisa tidur?"
Suara parau itu mengusik keheningan di kamar kami. Sungguh, aku tidak terbiasa mendengar suara apapun di tengah malam buta seperti sekarang. Lebih tepatnya mendekati dini hari.
Aku beringsut untuk sekedar mengecek apakah telingaku tidak salah dengar. Bisa saja insomnia membuat seseorang berhalusinasi kan?
Astaga! Jantungku seperti baru saja terkena serangan cukup keras. Tapi ini tidak nyeri. Hanya saja ia berdegup lebih kencang dari sebelumnya begitu ekor mataku menangkap seraut wajah Darren sedang menatapku dengan sepasang mata redupnya. Aku sudah terbiasa melihat punggungnya sepanjang malam selama tiga bulan terakhir dan sekarang ia baru menampakkan wajahnya yang sedang lekat di atas bantal. Wajarkah ini?
"Dari tadi kamu hanya bolak-balik, Be," ucapnya mengungkit apa yang aku lakukan sejak berbaring di atas tempat tidur. Laki-laki itu menatapku lurus dan hembusan napasnya mengarah tepat ke kedua mataku. Kami berbagi tatap dan keadaan seperti ini nyaris membuatku membeku. Aku hampir tak bisa bernapas!
"Maaf." Aku hanya berujar pelan dan segera memutus kontak mata di antara kami. Langit-langit kamar menjadi tumpuan pandanganku selanjutnya. Itu akan lebih baik buatku karena aku bisa bernapas dengan baik.
"Papa akan baik-baik saja," tandasnya seolah berusaha ingin menghiburku. Meski aku tahu ia tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Seseorang yang masuk bui, apa ia akan baik-baik saja?
"Aku hanya menyesal atas apa yang telah Papa lakukan," gumamku masih dengan melepas tatapan ke atas. Membayangkan seseorang sedang terkurung di balik jeruji penjara yang dingin dan gelap. Meski pada kenyataannya dalam beberapa kasus korupsi atau semacamnya, narapidana bisa menggunakan fasilitas tertentu secara ilegal. Papa mungkin akan menjadi salah satunya kelak. Uang bisa membeli apa saja. Bahkan keadilan sekalipun.
"Bukan salahmu," ujarnya. Dan aku bisa merasakan jika ia sedang memandangi wajahku di antara keremangan kamar kami. "Tidak ada yang sempurna di dunia ini, Be. Semua orang bisa melakukan kesalahan."
"Jangan menghiburku, Darren." Kepalaku memutar ke samping dan benar, laki-laki itu sedang menatapku. Mata kami bersitatap kembali. Sial. Jantungku berdenyut kencang.
"Aku tidak sedang menghiburmu, Be." Darren buru-buru bangun, mengikuti apa yang baru saja aku lakukan.
"Baiklah, anggap saja begitu," cetusku segera. Sebelum ia berpikir banyak hal dan tanpa arah. Aku kembali meletakkan kepala di atas bantal dan memunggunginya. Aku merasa lebih nyaman dalam keadaan seperti ini.
"Orang akan berpikir jika kamu jahat jika kamu terus-terusan bersikap seperti itu, Be."
Aku membuka mata sedetik setelah memejam. Padahal aku sudah berniat untuk mengakhiri omong kosong di antara kami.
"Maksudmu apa?" Aku terpaksa membalikkan tubuh untuk mengajukan protes. Meski aku harus kembali bersitatap dengannya. "Aku jahat?" sebutku dengan hati dongkol.
"Kamu selalu menunjukkan sikap permusuhan di depanku, kamu sadar?"
Oh. Aku menelan saliva.
"Apa kamu sangat membenciku dan pernikahan kita?" Bahkan laki-laki itu tak memberi jeda agar aku bisa menyela kalimatnya. Seolah ia ingin menyerangku dengan kejam. "Aku sama denganmu, Be. Aku juga tidak menginginkan pernikahan ini. Aku sempat berharap semua ini akan berakhir suatu hari nanti. Bahkan aku sudah pernah meminta Serra untuk menungguku, tapi dia tidak mau. Kamu tahu, aku merasa dicampakkan saat itu," ungkapnya tanpa menunjukkan rasa sakit hati sama sekali. Mungkin pengendalian diri Darren terlalu bagus sehingga ia bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik.
"Lalu?" pancingku dengan beberapa kerutan menghias kening. Aku benar-benar tidak bisa menebak arah pembicaraannya.
"Mungkin kita tidak bisa saling menyukai satu sama lain, tapi setidaknya kita bisa menjadi teman. Kalaupun kita berpisah suatu hari nanti, kita masih bisa berteman saat itu tiba," tandasnya.
Teman? batinku hampir disertai dengan ledakan tawa. Konyol. Bagaimana mungkin aku bisa berteman dengannya? Bisa-bisa aku jatuh terjerumus dalam pesona laki-laki itu. Tidak!
"Aku tidak mau," desisku seraya membalikkan badan untuk kembali memunggunginya. "Aku mau tidur. Jangan ganggu aku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top