08

Kak Alfa?

Aku menelan senyumku kembali ketika mendapati laki-laki itu sedang berjalan dengan tergesa menuju ke pintu masuk gedung. Namun, begitu kedua ekor matanya menangkap bayanganku yang sedang berdiri kaku menatapnya, ia segera mempercepat langkah.

"Beta!"

Aku menyeringai mendengar teriakannya. Bahkan tanpa berteriakpun aku bisa mendengar suaranya dengan sangat jelas. Toh, kami sudah berhadap-hadapan sekarang.

"Tumben ke sini? Ada apa? Mau makan siang bersamaku?" cecarku tanpa pertimbangan. Kebetulan beberapa hari yang lalu Papa mengajakku makan siang bersama di warung soto langganan kami. Mungkin saja Kak Alfa juga ingin mengajakku makan pizza di restoran favoritnya meski aku tak begitu suka dengan jenis makanan Italia. Siapa yang tahu?

"Kamu lapar? Mau Kakak traktir makan siang?" balasnya kaku dan nyaris membuatku harus meledakkan tawa.

"Boleh," sahutku cepat. Selain aku memang hendak keluar untuk makan siang, aku juga bisa menghemat pengeluaran. "Mau makan di mana?" Aku mulai mengambil langkah dengan santai. Laki-laki itu tampaknya tak langsung mengikutiku dan berdiri di tempatnya semula selama beberapa saat.

"Be." Kak Alfa sudah menjajari tubuhku tiga atau empat detik kemudian. "Kamu baik-baik saja, kan?"

Ya, ampun. Laki-laki itu hampir saja membuatku tersandung karena pertanyaan tidak penting yang baru keluar dari bibirnya.

"Baik-baik saja?" Aku berhenti, berpaling ke arahnya dengan kening penuh kerutan. Senyum pahit terukir di bibirku. "Kak Alfa sedang melihatku sekarang. Apa aku tampak tidak baik-baik saja?" tanyaku seraya mencermati setiap perubahan ekspresi yang ditampilkan seraut wajah laki-laki itu. Aku heran, kenapa sepertinya Kak Alfa sedang mencemaskanku saat ini dilihat dari wajah tegangnya. Harusnya ia mencemaskanku sejak tiga bulan lalu. Atau jika ia benar-benar khawatir denganku, mungkin Kak Alfa bisa mencegah perjodohan itu.

"Be." Kak Alfa membuang napas dengan gelisah. "Apa kamu belum mendengar berita itu?" Kepala laki-laki itu sedikit menunduk dengan sebaris pertanyaan yang terlontar dari bibirnya.

Aku hening sesaat. Berita? batinku gamang. Apa ia mencemaskan sesuatu yang lain dan bukan seperti dugaanku?

Aku terpaksa menggeleng karena terlalu bingung dengan situasi yang dimaksud Kak Alfa.

"Maksud Kakak?"

"Papa ditangkap polisi sejam yang lalu," ungkap Kak Alfa dengan nada mengalun pelan. Tapi, kalimat itu bagai sebuah tamparan keras di telingaku. "Papa ditangkap atas tuduhan penyuapan pejabat pemerintah. Tapi tuduhan itu belum tentu benar, Be. Bisa saja itu hanya salah paham..."

Lututku mendadak terasa goyah. Papa? Seisi hatiku mendengungkan sebaris nama laki-laki itu. Kata-kata Kak Alfa seperti rangkaian huruf-huruf tanpa arti yang beterbangan di sekitar kepalaku.

Tidak mungkin. Sekuat tenaga batinku menyangkal. Papa tidak mungkin terlibat sebuah kasus apapun. Aku sama sekali tidak percaya jika papa melakukan tindakan kotor itu.

"Be." Suara Kak Alfa membangunkanku dari kesibukan bergelut dengan pemikiranku sendiri. Bahkan lenganku sudah lekat dalam genggamannya. Laki-laki itu sudah mengantisipasi agar aku tetap berdiri di tempatku semula meski tak sekokoh sebelumnya.

"Tidak mungkin papa melakukan hal itu kan, Kak?" Tiba-tiba saja suaraku serak saat menggumamkan sebaris pertanyaan pada Kak Alfa. Aku tahu papa sedikit egois saat memutuskan untuk menjodohkanku dengan Darren, tapi hal ini jelas berbeda. Papa sama sekali bukan seseorang yang akan mengambil segala cara untuk bisa mewujudkan keinginannya.

Kak Alfa belum bersedia menjawab pertanyaanku dan malah membawaku ke sebuah bangku kayu yang berada di taman kecil tak jauh dari pintu masuk gedung. Mungkin ia takut aku pingsan jika terlalu lama berdiri. Entahlah.

"Polisi masih melakukan penyidikan." Kak Alfa baru bersuara setelah kami berdua menempati bangku kayu. Pandangannya lepas ke arah jalan raya dan sarat dengan kegelisahan.

"Kenapa Papa melakukan itu?"

"Belum tentu Papa melakukan tindakan itu, Be. Bisa saja itu transaksi bisnis biasa."

Justru kalimat Kak Alfa membuatku yakin jika tuduhan polisi benar adanya. Semakin Kak Alfa berusaha membela Papa, aku akan berpikir sebaliknya.

"Kakak tahu sesuatu, kan?" delikku bermaksud menarik pandangannya dari jalan raya yang penuh dengan kendaraan bermotor. "Tidak mungkin Kakak tidak tahu menahu soal Papa..."

"Kakak tidak tahu apa-apa, Be," ucap Kak Alfa lirih.

Senyum kecut terbit di bibirku akibat ucapan Kak Alfa. Pengakuannya sama sekali tak bisa membuatku percaya begitu saja.

"Bohong," desisku.

"Be..."

Aku mendesah berat dan bergegas bangun dari bangku kayu.

"Aku lapar," potongku sembari melempar tatapan lelah ke wajah Kak Alfa.

"Baiklah, Kakak akan mentraktirmu makan siang kalau begitu. Kamu mau makan apa?" tawarnya sambil menarik lenganku lalu menggamitnya. "Mau makan pizza?"

Aku mencebik. Jelas-jelas pizza adalah makanan kesukaan Kak Alfa.

"Aku tidak mau."

"Bagaimana kalau pasta?"

Aku terdiam sebentar sebelum memutuskan untuk mengangguk setuju. Bagiku pasta dan mi hanya beda tipis. Jadi, lidahku masih bisa diajak kompromi untuk makanan itu.

***

Seraut wajah Bibi Sati sudah cukup menjelaskan segenap kegelisahan dan kecemasan yang berkecamuk di dalam benaknya. Tentangku.

"Apa Non Beta sudah makan malam?" tegurnya dengan suara pelan. Gerakan tubuhnya mengikutiku menuju ke sofa ruang tamu. Di sanalah aku menjatuhkan tubuh dan menghela napas panjang.

"Ya."

"Apa Non Beta baik-baik saja?" Wanita tua itu berdiri kaku di sebelah tempat dudukku. Sepasang mata redupnya bergerak menyusuri wajahku.

"Aku baik-baik saja, Bi," tandasku sambil mengurai senyum tipis. "Papa tidak akan selamanya di penjara. Jadi, Bibi tidak perlu mencemaskanku."

"Apa berita itu benar? Bahwa Tuan..."

"Menurut Bibi?"

"Bibi tidak percaya Tuan akan berbuat seperti itu," gumamnya ragu. Bola matanya bergulir dengan gelisah.

"Manusia bisa berubah kapan saja, Bi. Termasuk orang yang sangat kita percayai sekalipun."

Bahkan Papa sanggup menjerumuskan putri kandungnya dalam sebuah pernikahan yang sama sekali tidak diinginkannya, batinku menambahi. Apalagi kalau bukan demi karir dan materi.

Darren. Laki-laki yang baru ingin kuenyahkan dari pikiranku, mendadak muncul dari balik pintu. Ia terlihat setengah kaget begitu mendapati kehadiranku di ruang tamu. Raut wajahnya ganjil dan aku sudah bisa menebak apa yang sedang menghuni kepalanya. Darren sudah tahu tentang kabar penangkapan Papa.

"Aku ke kamar dulu, Bi."

Aku sengaja tak menyapa laki-laki itu dan bergegas angkat kaki dari ruang tamu. Namun, beberapa detik kemudian ia memutuskan untuk menyusul langkahku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top