07

Aku dan Zoya, di mana letak perbedaan kami, jika kami sama-sama merusak hubungan orang lain?

Pikiranku terus merantau sepanjang malam, berbincang tak tentu arah pada sebuah punggung yang terbalut selembar kaus putih tipis. Namun, punggung itu bergeming. Tanpa pergerakan atau suara. Mungkin si pemiliknya enggan untuk sekadar beringsut meregangkan otot-ototnya.

Sungguh, aku tidak mau si pemilik punggung itu datang ke pernikahan Serra dan terluka nantinya. Aku tak akan sanggup melihat ekspresi wajahnya kelak. Mungkinkah akan lebih baik jika Darren tidak pernah datang ke sana?

Be, Zoya menanyakan kabarmu tadi.

Ponselku bergetar memberitahukan sebaris pesan singkat yang dikirimkan Jenny beberapa detik lalu. Sudah terlalu larut hanya untuk berkirim pesan, tapi agaknya Jenny terlalu antusias untuk memberiku perkembangan terbaru tentang Zoya.

"Jen."

Beberapa menit kemudian aku sudah berpindah ke teras belakang rumah dan menghubungi nomor Jenny. Sudah hampir tengah malam sekarang, tapi kupikir ia belum tidur.

"Ya, Be. Kamu belum tidur? Maaf kalau aku kirim sms selarut ini..."

Aku mendesah panjang sembari menduduki kursi rotan yang menghuni lantai teras. Penerangan di sana tak begitu terang sehingga mataku tak bisa menangkap pemandangan tanaman perdu di belakang rumah dengan baik.

"Aku tidak bisa tidur, Jen," ungkapku jujur. Insomnia bagiku bukan hal yang asing, tapi sejujurnya ini sangat menyiksa.

"Maaf..."

"Tidak." Aku menyela sebelum Jenny berpikiran kalau kabar tentang Zoya membuatku tak bisa tidur. "Bukan karena dia, tapi karena ada hal lain."

"Oh."

"Apa yang kamu katakan tentangku padanya?"

"Tidak ada yang penting. Aku hanya mengatakan kamu baik-baik saja dan kamu sudah menikah. Jadi, aku menyuruhnya agar tidak mengganggu hidupmu lagi. Aku benar, kan?"

Bibirku mengulas senyum tipis tanpa kusadari.

"Ya. Terima kasih," ucapku. "Mungkin lebih baik kami tidak pernah bertemu lagi." Mungkin juga aku belum siap melihat kebahagiaan rumah tangga mereka, batinku menambahi.

"Semua sudah berakhir, Be. Kamu juga harus bahagia."

Bahagia? batinku terenyak. Rasanya aku sudah lama tidak mendengar kosakata itu dalam hidup.

"Apa semua orang harus bahagia?" gumamku dengan senyum getir terselip di bibir.

"Be."

"Kupikir tidak semua orang bisa meraih kebahagiaan dalam hidupnya, Jen."

"Hei, kenapa bicara seperti itu?" Telingaku menangkap nada suara Jenny meningkat. "Kamu mabuk, Be?"

Ya, ampun, batinku sambil meledakkan tawa tanpa suara.

"Aku tidak mabuk, Jen. Bibi Sati akan membunuhku kalau aku mabuk, kamu tahu?"

"Tapi, bicaramu melantur, Be. Kamu pasti sedang ngantuk berat, benar kan? Kalau begitu aku tutup teleponnya sekarang dan kamu cepat tidur. Oh, ya. Kapan-kapan kamu harus mampir ke rumah sakit, okay?"

"Jen, aku tidak terlalu suka dengan bau rumah sakit, kamu tahu itu kan? Lagipula kenapa aku harus ke sana? Kita bisa ketemu di tempat biasa makan wafel..."

"Aku ingin memeriksa keadaanmu, Be."

Kali ini aku meledakkan tawa keras mendengar ucapan Jenny.

"Aku baik-baik saja, Jen. Aku sehat. Atau jangan-jangan kamu pikir aku sudah gila, begitu?"

"Bukan begitu, Be. Aku hanya mencemaskanmu." Nada kalimat Jenny memelan dan aku yakin ia menguap sesudahnya.

"Sebaiknya kamu tidur sekarang. Dah..." Aku menutup sambungan telepon sejurus kemudian tanpa menunggunya membalas kata-kataku.

Aku harus bahagia?

Kalimat Jenny terulang lagi di benakku. Memangnya siapa yang mengharuskanku untuk bahagia? Bahkan jutaan orang di luar sana bergelut dengan kemiskinan, kelaparan, musibah, dan peperangan. Kupikir mereka lebih berhak mendapatkan kebahagiaan ketimbang aku. Tapi, sayangnya tidak semua orang bisa meraih kebahagiaan dalam hidupnya.

Kadang hidup berjalan tidak seperti yang kita harapkan.

Ah, tanpa bisa kucegah, satu kalimat milik Darren melintas dengan tidak sopan di kepalaku. Menyusul kalimat Jenny. Apa-apaan ini? Ada apa dengan mereka berdua? Kenapa kalimat keduanya bisa meracuni pikiranku? Apa aku sudah gila? Mungkin Jenny benar, kalau aku harus memeriksakan kondisiku padanya. Tapi, aku baik-baik saja sejauh ini.

Ya, Tuhan. Apa yang baru saja kupikirkan? Harusnya aku bisa mencegah pikiranku agar tak mengembara ke mana-mana.

***

"Be."

Satu suara berirama pelan disertai sebuah tepukan kecil mendarat dengan tiba-tiba di atas pundakku. Membangunkanku dari penggalan mimpi yang harus terberai begitu saja.

Dengan setengah mata terbuka, aku melihat Darren sedang berdiri di samping kursi rotan yang sedang kududuki. Bahkan tanpa sadar kedua kakiku berpijak dengan nyaman pada tepian kursi. Dengan penerangan seadanya aku masih bisa menemukan sejumlah pesona yang wajah Darren tawarkan.

"Aku tadi terbangun dan kamu tidak ada. Jadi aku..."

"Aku tadi menelepon Jenny dan ketiduran di sini," potongku menjelaskan situasi. Kupikir ia perlu diberi penjelasan agar tidak berpikir negatif tentangku. Bisa saja ia berpikir kalau aku berjalan saat sedang tidur, bukan?

"Oh." Ia menggumam pelan. "Kalau begitu kembalilah ke kamar. Udara malam tidak baik untuk kesehatan."

Mulutku ternganga mendengar nasihat sederhana yang baru saja dilontarkan Darren.

Lagi? batinku sambil menatap punggungnya yang terbalut selembar kaus tipis dan sedang bergerak menjauh. Kenapa laki-laki itu seolah sedang memberi perhatian padaku? Bukankah aku sudah pernah mengatakan padanya, jangan bersikap baik padaku? Apa kata-kataku tidak jelas?

Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kuat-kuat. Sepertinya aku perlu lebih banyak pasokan oksigen ketimbang sebelumnya. Apapun itu, nasihat paling sederhana yang baru saja ia lontarkan benar adanya. Udara malam bisa menyebabkan masuk angin, bukan?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top