06
"Apa kamu percaya pada karma?"
Aku terperangah sesaat mendengar pertanyaan Jenny dari ujung telepon. Nada suaranya serius dan nyaris membuatku meledakkan tawa.
"Hei, ada apa?" decakku sambil menjatuhkan pantat di tepian tempat tidur. Pakaian kerja yang melekat di tubuhku, kubiarkan untuk sementara waktu. "Aku baru saja sampai di rumah, Jen. Kamu sudah pulang?"
"Belum." Wanita itu menyahut pendek. "Be..."
"Uhm?"
Aku mendengar helaan napas yang cukup panjang dari nun jauh di sana.
"Zoya dan Rendy mengalami kecelakaan, Be," ucap Jenny sejurus kemudian.
Deg.
Jantungku tiba-tiba berdegup kencang usai mendengar kalimat Jenny.
"Benarkah?" Dan satu pertanyaan itu keluar dari bibirku dalam bentuk gumaman. Setengah tak percaya meski aku tahu Jenny sangat serius dengan kata-katanya.
"Ya. Sejam yang lalu mereka masuk IGD."
Aku menelan saliva. Lalu menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi pasokan oksigen di paru-paruku yang menyusut drastis. Lagi-lagi aku merasakan sesuatu menyerang dadaku. Sakit. Nyeri. Rasanya sama seperti beberapa tahun silam.
"Be, kamu baik-baik saja, kan?" Suara Jenny menyadarkanku dari lamunan kecil. "Maaf, aku..."
"Tak apa, Jen. Aku baik-baik saja." Aku menyahut dengan suara bergetar. Meski aku sudah bersusah payah untuk menguatkan suara sendiri, nyatanya dua nama itu sudah menguak kembali luka lama di hatiku. "Bagaimana keadaan mereka?" Tanpa sadar tanganku bergerak mengusap pipiku yang lembab entah sejak kapan.
"Tidak terlalu parah. Hanya saja Zoya kehilangan calon bayinya. Mungkin itu adalah hukuman untuk mereka karena sudah mengkhianatimu, Be," kata Jenny dengan nada kesal.
Aku bergeming. Bibirku terkatup rapat dan kehilangan sejumlah kata. Haruskah aku memaki mereka demi melampiaskan segenap sakit hati yang menderaku selama bertahun-tahun? Bahkan sejak saat itu aku tak ingin melihat wajah keduanya. Mungkinkah aku sudah kehilangan simpati dan rasa kemanusiaan dalam hatiku?
"Beta, kamu mendengarku, kan?"
"Ya."
"Maaf kalau aku sudah membuka luka lama kamu," sesal wanita itu kemudian. Tapi, bukan salah Jenny atas semua yang kurasakan saat ini. Aku hanya perlu sedikit waktu lagi untuk menata hati dan perasaan agar lebih siap menerima kenyataan.
"Aku baik-baik saja, Jen. Kamu tidak perlu cemas."
"Kalau begitu aku tutup teleponnya. Kamu cepat tidur dan jangan berpikir tentang apapun, okay?"
Aku berusaha tersenyum mendengar nasihat sederhana yang baru saja diucapkan Jenny.
"Okay." Ponsel di dekat telingaku merosot beberapa saat setelah sambungan terputus.
Bahkan sampai detik ini aku belum menemukan jawaban atas pertanyaan yang kerap melintas di dalam kepalaku saat aku merenung, mengurai kisah-kisah lama yang sudah usang. Tentang persahabatan antara aku, Zoya, dan Rendy. Antara belenggu persahabatan dan kisah cinta yang harus berakhir dengan pengkhianatan.
Lalu salah siapa jika pada akhirnya Rendy berpaling dan lebih memilih Zoya sebagai pendamping hidupnya? Aku, sebagai kekasih yang tak bisa menjaga Rendy dengan baik atau Zoya yang terlalu pandai mencuri perhatian laki-laki itu? Ataukah Rendy yang sudah lelah menyukaiku dan memilih Zoya yang polos? Namun yang pasti hubungan pertemanan antara aku dan Zoya resmi berakhir sejak hari itu. Kisah cintaku dengan Rendy juga kandas. Aku telah kehilangan sahabat dan kekasih di waktu bersamaan. Dan rasanya baru kemarin aku menangisi hari pernikahan mereka berdua.
Tanganku kembali mengusap area pipiku yang lembab. Sial. Padahal aku sudah berjanji untuk berhenti menangisi mereka berdua. Tapi sekarang?
Ya, Tuhan!
Aku nyaris saja berteriak demi menyadari sosok Darren sudah berdiri di depan pintu dengan sorot mata lurus ke arahku. Sejak kapan ia berdiri di sana? Kenapa aku tak mendengar suara derit pintu, derap sepatu, atau apapun itu, yang memberitahukan kedatangannya ke kamar.
"Ada sesuatu yang terjadi?" tegur Darren seraya melangkah maju.
"Tidak ada," sahutku datar setelah berhasil membereskan kekacauan di wajahku.
Darren tak langsung menyambung percakapan. Laki-laki itu meletakkan tas kerjanya di atas meja lalu mengambil tempat duduk di sebelahku. Sekilas aroma parfum miliknya bertebaran di sekitar kepalaku.
"Kamu sudah makan?" Laki-laki itu menoleh.
"Apa?" Aku, dengan bodohnya bertanya padahal telingaku bisa menangkap suara Darren dengan sangat jelas. Tapi, pertanyaannya justru membuatku ingin memuntahkan tawa. "Sejak kapan kamu peduli soal perutku? Atau kamu sedang mengasihaniku?"
"Apa aku tampak sedang mengasihanimu?"
"Ya." Aku menyahut dengan cepat. "Aku baik-baik saja, kamu tahu? Oh, atau jangan-jangan kamu sedang mencoba bersikap baik karena ingin mengajakku pergi ke resepsi pernikahan temanmu itu?" Tiba-tiba saja aku teringat akan tawaran Darren untuk pergi ke pernikahan salah satu temannya.
"Aku hanya bertanya, Be. Kenapa kamu malah berpikir ke sana kemari?" Laki-laki itu terlihat mencebik. Apa ia sedang kesal padaku?
Aku segera mengurai senyum sinis.
"Jangan bersikap baik padaku, Darren. Karena sikap baikmu sama sekali tidak terlihat tulus di mataku, okay?"
"Apa?" Laki-laki itu seketika terperangah mendengar kalimatku. Mungkin ia tak percaya aku bisa mengucapkan kata-kata itu padanya.
"Aku harus mandi sekarang," ucapku sambil mengangkat pantat dari atas tepian tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi.
"Serra yang akan menikah, Be."
Langkahku otomatis berhenti dan tanganku yang nyaris menyentuh kenop pintu kamar mandi, mengambang di udara seolah tanpa kepastian.
"Apa?" Aku membalik tubuh sejurus kemudian. "Serra akan menikah?" tanyaku setengah tak percaya.
Kepala Darren mengangguk dan ekspresi wajahnya tidak mencerminkan satu kebohonganpun.
"Lalu kenapa aku harus datang ke sana bersamamu? Oh, bukan. Harusnya aku bertanya, kenapa kamu mesti datang ke pernikahan itu?" Aku tercekat demi menyadari sesuatu. "Hei, bukankah aku sudah pernah mengatakan kalau aku akan mengakhiri pernikahan kita suatu hari nanti? Apa kamu tidak mengatakan hal itu padanya? Apa Serra tidak mau bersabar sebentar lagi?" Aku menghampiri tempat duduk Darren dengan langkah tergesa. Mengajukan sejumlah pertanyaan mendesak yang melintas cepat di dalam kepalaku.
Darren malah menatapku dan tidak segera mengeluarkan sepatah katapun demi menjawab kegelisahanku.
"Serra sudah melepasku sejak hari itu, Be. Dan kami tidak pernah berhubungan lagi sampai surat undangan itu tiba."
"Tapi kalian saling mencintai, kan? Aku tidak bisa melihat kalian berpisah seperti ini, Darren. Semua ini karena aku." Tiba-tiba saja perasaan bersalah menusuk hatiku saat mendengar pengakuan yang terkuak dari bibir Darren.
"Kadang hidup berjalan tidak sesuai dengan harapan, Be. Aku sudah pernah mengatakan itu, kan?"
"Tapi..."
"Sudahlah, Be. Kamu akan mandi, kan?"
"Ya."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top