05

"Sudah lama kita tidak makan soto di sini, ya? Kamu masih ingat kapan terakhir kita berkunjung ke sini? Coba Papa ingat-ingat. Sebelum kamu menikah...mungkin sekitar lima bulan yang lalu. Papa benar, kan?"

"Pa..." Aku mendengus. Jengah dengan ocehan Papa yang bagiku sama sekali tidak penting. Aku akui dalam beberapa hal kami memang memiliki selera yang sama, termasuk dalam hal kuliner. Aku dan Papa sama-sama suka makan soto ayam, tak peduli itu di restoran atau warung tenda dadakan pinggir jalan. Tapi, mengajakku makan soto bersama tiba-tiba seperti ini malah memunculkan beberapa dugaan di kepalaku. "Sebenarnya apa yang Papa inginkan dariku?" desakku didera rasa penasaran.

"Menginginkan apa maksudmu?" tanya Papa terlihat santai. Tangannya sibuk mengaduk isi mangkuk soto yang masih mengepulkan asap tipis. Pandangannya sekilas tertuju ke arahku. "Papa hanya ingin makan bersamamu. Itu saja. Kita sudah lama tidak makan bersama seperti ini, kan?"

Kalimat Papa membuatku harus mengurai tawa sinis. Aku tahu betul sifat Papa. Karena sedikit banyak sifat-sifat yang dimiliki laki-laki itu diwariskan padaku.

"Bukannya Papa sibuk?" sindirku tanpa mengedipkan mata saat menatapnya menyuap untuk pertama kali. Semenjak terjun dalam bidang politik lima tahun belakangan, Papa selalu sibuk sepanjang hari. Bahkan perusahaan transportasi yang ia rintis sejak berpuluh-puluh tahun lalu harus dilimpahkan pada Kak Alfa, kakak tertuaku untuk dikelola. Karena Papa jelas-jelas tak bisa membagi waktu untuk menangani perusahaan dan politik sekaligus. Terlebih lagi setelah ia membulatkan tekad untuk mengajukan diri sebagai kandidat calon walikota pada pemilihan kepala daerah tahun depan.

"Ya, tapi kali ini Papa menyempatkan diri untuk bisa makan bersamamu. Sudah lama Papa tidak bertemu kamu. Papa merindukanmu, Be." Sendok di tangan Papa sempat mengambang di udara beberapa saat hanya untuk menatapku dalam-dalam. "Kamu tidak merindukan Papa? Atau kamu sudah melupakan Papa karena ada Darren di sampingmu?"

Tawaku meledak mendengar tebakan Papa. Tidak. Aku tahu ia hanya bergurau saja saat mengatakan kalimat itu.

"Ayolah, Pa." Pandangan mataku berpendar ke sekeliling restoran yang tak terlalu luas itu. Beberapa orang pengunjung tampak sibuk menikmati makan siang masing-masing sembari mengobrol dengan teman sebangkunya. "Papa tahu kan, dari awal aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Darren juga," tandasku. Mungkin Papa perlu diingatkan sekali lagi soal itu. 

Papa tampak menghela napas. Laki-laki itu bahkan tak mengubah ekspresi wajahnya karena terkejut akan ucapanku. Yeah, ia tahu betul apa yang baru saja kusampaikan adalah sebuah fakta.

"Kalian bisa mencoba untuk saling mengenal, Be. Lalu jatuh cinta."

Ya, ampun. Haruskah aku meledakkan tawa kembali saat mendengar ucapannya? Jatuh cinta? Bahkan aku ragu masih menyisakan sekeping hati untuk dijatuhkan pada seorang laki-laki.

"Apa hidupku harus berjalan sesuai keinginan Papa?" Aku memelankan suara dan menatap lurus ke wajah Papa yang sedang sibuk menekuri isi mangkuknya.

Seraut wajah itu terangkat dan aku bisa melihat ia menegang.

"Be." Papa meletakkan sendoknya. "Papa dan Mama hanya ingin kamu bahagia..."

"Tapi apa harus dengan cara itu?" tukasku ketus. Sekuat tenaga aku harus meredam ledakan di dalam dada. Aku tak bisa meninggikan suara di tempat umum seperti ini. "Aku bukan anak-anak lagi, Pa. Aku sudah dewasa dan bisa menentukan pilihan sendiri."

Aku terdiam kemudian menertawakan diri dalam hati. Konyol. Kenapa aku harus mengoceh hal semacam itu di depan Papa? Toh, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengeluarkan segenap unek-unek yang menyesak di dalam dada. Semua sudah terlambat dan tak ada yang bisa diperbaiki.

"Makanlah." Papa bersuara sesaat kemudian. "Makananmu pasti sudah dingin."

Ah, Papa. Laki-laki itu selalu mengalihkan pembicaraan di saat aku ingin mengangkat sebuah topik yang akan berujung pada perdebatan.

Tak ada pilihan lain. Tanganku mulai bergerak mengaduk isi mangkuk soto di atas meja. Sedang Papa juga kembali menyuap. Setengah dari isi mangkuknya telah tandas.

"Kamu tahu kan, Papa sangat berharap kamu mau membantu Alfa mengelola perusahaan?" Papa mengeluarkan suara di saat aku sudah tenggelam menikmati makan siangku. Tapi, aku tidak akan terkejut lagi dengan kalimat semacam ini. Hanya saja, aku sedikit menyesal tidak bisa menduga jika maksud Papa mengajakku makan soto bersama adalah untuk membahas masalah perusahaan. Lagi. Bahkan aku sudah terlampau jenuh untuk mendengarnya sekalipun.

"Papa tahu aku sangat menyukai pekerjaanku sekarang," tandasku mencoba mengingatkan. Berkecimpung di dunia penerbitan sudah kulakoni lebih dari lima tahun dan aku terlanjur jatuh cinta pada dunia itu.

"Tapi tidak selamanya kamu bisa terus di sana, Be. Alfa membutuhkanmu."

"Bukan Kak Alfa yang membutuhkanku, tapi Papa." Aku menyela dengan kejam. Kalaupun Kak Alfa membutuhkanku untuk membantunya mengelola perusahaan, aku berani bertaruh ia akan merengek-rengek di bawah kakiku. Tapi, apa kenyataannya? Bahkan sampai detik ini Kak Alfa sama sekali tidak menyinggung soal perusahaan di depanku. Ia baik-baik saja dan aku yakin ia mampu menangani semuanya sendirian.

"Baiklah, baiklah. Papa kalah," sahut Papa. Laki-laki itu meletakkan sendoknya lalu meneguk teh manisnya perlahan. "Memang Papa yang ingin kamu mengelola perusahaan. Lagipula kelak perusahaan itu akan menjadi milik kalian berdua."

"Tapi aku tetap tidak mau mengelola perusahaan, Pa."

"Be."

"Kenapa tidak Papa dan Kak Alfa saja yang mengelola perusahaan?" usulku tak mau kalah.

"Kamu kan tahu Papa mencalonkan diri pada pilkada tahun depan, Beta."

"Tapi Papa belum tentu menang, kan?"

"Kamu tidak suka jika Papa menang?"

Bukan begitu, batinku seraya menarik napas panjang.

"Kalau boleh jujur, aku lebih senang Papa menjalankan perusahaan seperti dulu," tandasku berterus terang. Setahuku dunia politik itu kotor dan kejam. Dan aku tidak mau Papa berkubang di dunia yang tak kusukai.

"Be..."

"Aku sudah kenyang, Pa." Aku terlebih dulu menyela sebelum percakapan kami berkembang menjadi sebuah perdebatan panjang. "Aku harus kembali ke kantor sekarang. Papa juga, kan?"

Bahu Papa mengedik tak begitu kentara.

"Papa senang bisa makan siang bersamamu," ucap laki-laki itu dengan senyum tipis tersungging di bibir.

"Aku juga."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top