03

"Temanku akan menikah."

Pandangan mataku yang semula jatuh diantara rerumputan dan tanaman perdu, seketika teralihkan. Darren berdiri kaku di samping kursi rotan yang sedang menopang berat badanku. Ia terlihat menatapku sebentar lalu mengambil tempat duduk di atas kursi rotan kosong yang berada tak jauh dari tubuhku. Aroma segar sabun mandi menebar ke sekeliling tubuhnya.

Aku tak buru-buru merespon ucapannya dan menyesap cairan hangat berwarna hitam dari dalam cangkir. Aku sengaja menyuruh Bibi Sati agar mengurangi takaran gula dalam minumanku pagi ini.

"Lalu?" Aku meletakkan cangkirku tanpa menoleh. Perhatianku kembali pada tanaman perdu berbunga ungu yang tumbuh liar di belakang rumah kami.

"Mereka mengundang kita berdua."

"Kamu bisa datang sendiri ke sana tanpa aku," ucapku datar. Aku menoleh sekilas ke arahnya dan mendapati tatapan mata kami bertumbukan. Dan sialnya jantungku seperti mendapat serangan mendadak.

Darren tersenyum miring.

"Apa kata orang nanti kalau aku datang ke acara seperti itu sendirian?" gumamnya masih dengan lengkung kecil di sudut bibirnya.

"Kenapa?" Aku menyela cepat. "Kamu bisa bilang kalau aku sibuk, sakit, atau apalah. Banyak alasan untuk menjawab pertanyaan mereka," kataku cuek.

Darren malah memperlebar senyumnya usai mendengar pernyataanku.

"Kamu pikir mereka bisa dibodohi dengan alasan seperti itu?" Kedua alis laki-laki tampan itu bertaut gelisah. "Mereka akan berspekulasi tentang banyak hal kalau kamu tidak ikut, Be."

Kali ini aku yang tersenyum. Bermaksud mencemooh.

"Aku tidak peduli pendapat mereka." Aku mengembuskan napas kecil lalu mengalihkan perhatian ke tempat semula. "Toh, dari awal kita tidak pernah menginginkan pernikahan ini, kan? Jadi, kenapa kita mesti bersandiwara?"

Darren terdiam. Tak langsung memberi respon. Laki-laki itu malah ikut membuang pandangan ke arah tanaman perdu berbunga ungu yang sedikit bergoyang tertiup angin.

Aku dan Darren sama-sama tahu, pernikahan kami hanyalah sebuah sarana bagi kedua orang tua kami untuk meraih apa yang mereka inginkan. Papa yang berambisi ingin menjadi walikota dan papa Darren yang ingin melebarkan sayap di dunia perhotelan. Jika kami bercerai setelah tiga bulan melangsungkan upacara pernikahan, maka akan banyak rumor negatif yang menyerang kedua belah pihak. Dan jelas masalah semacam ini sama sekali tidak menguntungkan.

Tapi, sampai kapan kami akan menjadi boneka mereka? Sampai kapan kami akan menjalani pernikahan konyol ini?

"Hidup tidak selalu berjalan sesuai yang kita harapkan, Be." Kalimat itu tandas begitu saja dari bibir Darren dengan pasrah. Laki-laki yang selama tiga bulan terakhir ini hanya bisa kulihat punggungnya saat tertidur tanpa bisa kusentuh, terlihat menerawang kosong ke satu titik di sana.

"Aku berjanji akan mengakhiri semua ini suatu hari nanti," tukasku dengan cepat sebelum laki-laki itu melontarkan kalimat-kalimat melankolis yang lain. Aku bukan orang bodoh yang tidak tahu menahu tentang apa yang menghuni isi kepala Darren. Juga seseorang yang selama ini menghuni hati dan mimpinya. "Kamu bisa menikah dengannya setelah kita bercerai nanti," imbuhku kemudian.

Laki-laki itu menelengkan kepala, memandangku dengan penuh ketidakpercayaan.

"Kamu meragukan ucapanku?" Aku tersenyum pahit saat menebak apa yang sedang ia pikirkan. "Kamu mencintainya, kan?" serangku sedetik kemudian. Aku sengaja tidak memberinya kesempatan bertanya bagaimana aku bisa tahu tentang Serra, wanita yang selalu kulihat dalam telaga bening milik Darren.

Darren tampak tak ingin memberi jawaban. Sedikit petunjuk pun tidak.

Atau, aku harus memberitahunya kalau aku pernah melihat foto wanita itu terpampang di atas layar ponsel milik Darren? Meski menurutku memasang wajah seseorang yang kita cintai sebagai wallpaper di layar ponsel adalah sesuatu yang kekanak-kanakan, tapi hal itu bisa dijadikan indikasi kalau kita benar-benar mencintai seseorang itu. Darren contohnya.

"Aku harus pergi sekarang." Aku mengangkat tubuh dari atas kursi rotan setelah beberapa menit tak ada jawaban. Lagipula aku tidak suka membahas hal ini.

"Kamu masih bekerja di hari Sabtu?" Kening laki-laki itu mengernyit.

"Aku tidak bilang akan bekerja, kan?" Aku mengurai seulas senyum pahit tanpa arti. "Kamu juga bisa pergi kemanapun kamu suka. Atau kamu lebih suka beristirahat di rumah, terserah kamu," imbuhku lagi. Dan aku benar-benar membalikkan tubuh setelahnya.

***

"Non Beta mau pergi?" Bibi Sati menghadang langkahku di depan pintu kamar. Di tangannya terdapat sebuah nampan berisi roti bakar yang berpadu dengan selai kacang favoritku. Beberapa potong buah segar dan susu kedelai tanpa perasa tambahan. Wanita itu menatapku dengan kerutan tajam menghias keningnya.

"Ya. Bibi mau ikut?" tawarku asal. Konyol.

Bibi Sati menggelengkan kepalanya persis seperti dugaanku.

"Kalau mau pergi, sebaiknya sarapan dulu biar tidak masuk angin," sarannya.

"Aku sudah minum kopi tadi, Bi."

"Tapi..."

Aku menyentuh pundak Bibi Sati sehingga wanita tua itu enggan melanjutkan kalimatnya.

"Aku pergi sekarang, Bi," pamitku cepat. Aku mengulas senyum tipis dan segera menjauh dari hadapan wanita yang paling kusayangi di dunia ini.

"Hati-hati, Non Beta..."

Namun, aku masih sempat mendengar suaranya sebelum ujung kakiku mencapai pintu depan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top