02

"Kenapa baru pulang?"

Seraut wajah letih dan penuh dengan kerutan di sana-sini menyambut kepulanganku malam ini. Wanita tua itu menatapku dengan segenap pertanyaan yang terpancar dari sinar matanya.

Aku mendesah kesal seraya menyeruak masuk, tak peduli dengan tubuh rapuh itu yang masih berdiri di ambang pintu.

"Non Beta."

Aku tak menduga jika wanita berusia akhir 60-an itu akan membuntuti langkahku ke kamar. Mungkin kediamanku-lah penyebabnya.

Namanya Bibi Sati. Ia adalah asisten rumah tangga kami selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Ia merawat dan menjagaku sejak kecil. Dengan kedua tangannya, Bibi Sati menggendongku, menggantikan popokku pada malam-malam dingin, menemaniku tidur saat aku ketakutan. Bahkan Mama yang konon adalah orang yang melahirkanku sekalipun tak pernah melakukan semua itu untukku.

Bibi Sati mengasuhku selama Mama pergi bekerja dan bisa dikatakan seluruh masa kanak-kanakku aku habiskan dengannya. Aku tumbuh besar dalam buaian kasih sayangnya. Wanita itu mengenalku lebih dari siapapun, tak terkecuali mamaku sendiri. 

"Ada banyak pekerjaan di kantor, Bi," tandasku seraya melepaskan sehelai blazer yang membungkus tubuhku seharian ini. Sementara wanita itu bergeming beberapa jengkal di belakangku.

"Tapi akhir-akhir ini Non Beta selalu pulang malam."

Kalimat wanita itu membuat gerakan tanganku terhenti sejenak di udara. Aku tahu kalau Bibi Sati sangat menyayangi dan memedulikanku. Karena itulah ia lebih memilih untuk ikut tinggal bersamaku ketimbang bertahan di rumah mama.

"Apa Bibi sekarang ingin mengatur hidupku seperti yang Mama dan Papa lakukan?" Aku membalik tubuh dan memuntahkan kalimat yang tiba-tiba melintas di benakku.

Bibi Sati menggeleng tak kentara. Namun, wajahnya terlihat tenang tak terpercik amarah barang sekecilpun karena ucapan kasarku.

"Bibi hanya bertanya," ujarnya pelan dan tenang.

Aku menarik napas panjang dan kembali membalik tubuh, bermaksud untuk memasukkan blazerku ke dalam lemari. Tidak seharusnya aku mengatakan hal itu padanya. Bibi Sati pasti sedikit kecewa mendengar nada suaraku yang merangkak naik.

"Tadi siang nyonya ke sini."

Lagi. Tanganku mengambang di udara selama beberapa hitungan sebelum akhirnya tersadar dan bergegas menggantung blazer di dalam lemari pakaian.

Mama kemari? batinku.

"Apa yang dia lakukan di sini?" Aku kembali berbalik dan menghadap Bibi Sati dengan tubuh menegang. Sungguh, berita yang ia sampaikan tentang mama membuatku berpikir banyak hal. Terutama hal negatif.

"Tidak ada. Nyonya hanya bertanya keadaan Non Beta," jawab Bibi Sati dengan gaya tenang.

Aku melengkungkan ujung bibir. Seulas senyum licik terpasang dengan tegas di wajahku.

"Bertanya keadaanku?" seringaiku tak suka. Mama cukup menekan nomor ponselku kalau hanya untuk bertanya keadaanku. Atau jika ia memang ingin bertatap muka denganku, mama cukup menyuruh supir untuk mengantarnya ke kantorku. Tapi, wanita itu malah mendatangi rumahku selagi aku tak ada di sana. "Apa lagi yang dia inginkan?" Aku setengah bergumam kali ini. Tak berharap suaraku akan sampai ke telinga Bibi Sati.

"Bagaimanapun juga dia adalah ibu kandung Non Beta." Bibi Sati bersuara kembali ketika aku sudah beringsut ke depan cermin rias dan meletakkan pantat di atas sebuah bangku kayu. Aku perlu menghapus riasan yang melekat di atas kulit wajahku.

Aku menahan napas mendengar suara wanita yang sudah berjasa mengasuhku selama sisa hidupnya itu. Gerakan tanganku yang hendak menyentuh gumpalan kapas di atas meja sempat terhenti karenanya.

"Aku tidak pernah lupa siapa yang melahirkanku, Bi. Juga siapa yang sudah merawatku sepanjang hidupku." Aku melirik ke arah cermin yang memantulkan bayangan tubuh Bibi Sati.

"Dia menyayangi Non Beta..."

Aku berdecak sebal dengan kepala memutar ke belakang.

"Kalau dia benar menyayangiku, mana mungkin dia menjerumuskan aku dalam pernikahan yang sama sekali tidak pernah kuinginkan?!"

Bibi Sati terpana saat nada-nada tinggi mengalun keluar dari bibirku. Sepasang indra penglihatannya bahkan melebar demi mendengar jeritanku.

"Dia tidak seperti itu, Non Beta."

"Dia memang seperti itu, Bi." Aku tak bisa menahan luapan emosi yang mendadak mengalir keluar.

"Semua ibu pasti ingin melihat putrinya bahagia," ucap wanita itu dengan wajah yang mulai menegang.

"Sampai kapan Bibi akan membelanya, hah?!" Sesuatu mendadak menyesak di dalam dadaku lalu menyeruak begitu saja tanpa bisa kukendalikan. "Berapa kali Bibi akan mendebatkan masalah ini denganku?" Aku menatap tajam wanita itu dengan tatapan lelah. Wajahku berangsur menghangat.

Bibi Sati mendekat dengan langkah satu-satu. Pelan dan pasti tangan kanannya hinggap di pundakku.

"Nyonya hanya mencarikan seseorang yang menurutnya sepadan dan terbaik untuk Non Beta." Wanita itu berujar pelan. Sikapnya seperti ini selalu membuatku tak berkutik. Aku benci itu. "Kalau Bibi berada di posisi Nyonya, mungkin Bibi juga akan melakukan hal yang sama."

"Konyol," desisku dengan seringai di bibir. Aku sudah bosan mendengar kalimat itu, yang sering kali ia ulang saat kami membahas hal yang sama. "Menurut Bibi, apa arti sebuah pernikahan?" Aku memicing tajam.

"Setidaknya cobalah untuk menyukai Mas Darren."

Sial. Wanita tua itu malah mengalihkan tema pembicaraan. 
"Lalu apa pentingnya?" sahutku kesal. "Kenapa aku harus menyukainya kalau dia juga tidak pernah menginginkan pernikahan ini?" Bibirku seketika terkatup rapat saat mendengar suara derit pintu pagar terbuka. Darren sudah pulang.

"Bibi keluar dulu." Tapi, baru saja Bibi Sati memutar tubuh, ia berbalik lagi sedetik kemudian. "Apa Non Beta mau makan sekarang?" tawarnya.

Aku menggeleng dengan cepat.

"Tidak perlu."

Wajah wanita itu berangsur kecewa mendengar jawabanku.

"Baiklah. Bibi keluar dulu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top