01
How can I even love the heartbreak
When you're the one I love
I can't give up on us solely because of love
And experience heart wrenching pain
(Akmu-How can I love the heartbreak, You're the one)
____________________________________
"Bagaimana operasinya? Lancar?" tanyaku beberapa detik setelah Jenny mengambil tempat duduk di depanku. Aroma parfum yang menempel di tubuhnya langsung menguar ke mana-mana sehingga menyentuh indra penciumanku. Masih parfum yang sama. Tapi aku bersyukur ia sudah meninggalkan jejak aroma khas rumah sakit.
"Lancar. Tidak ada kendala yang berarti," sahut Jenny seraya melirik secangkir kopi di depanku.
"Mau aku pesankan minuman sekarang?" tawarku sebelum ia sempat mengatakan sesuatu. Kode yang ia lempar sudah cukup untuk membuatku paham.
"Boleh."
Aku memanggil seorang pelayan cafe dan memesan secangkir kopi yang sama untuk Jenny. Juga dua porsi wafel untuk kami berdua.
"Bagaimana kabar Om dan Tante? Mereka sehat?" Aku berinisiatif membuka percakapan dengan menanyakan kabar kedua orang tua Jenny. Aku baru ingat kalau aku sudah lama tidak mampir ke rumah Jenny. Mungkin tiga atau empat bulan yang lalu. Entahlah.
Tapi, wanita itu malah tersenyum tipis dengan kesan mengejek.
"Baik. Mereka baik," sahut Jenny dengan menggerak-gerakkan kepalanya. Lebih tepatnya mengangguk-angguk tak jelas. "Lalu kamu sendiri? Apa kamu juga baik?"
Aku nyaris tergelak mendengar pertanyaan Jenny. Memang wajar menanyakan kabar balik padaku seperti yang baru saja ia lakukan. Tapi aku merasa ia sedang menyindirku sekarang. Apa mungkin aku terlalu sensitif?
"Ya, seperti yang kamu lihat. Aku sehat," ucapku setengah berbangga. Aku sangat yakin kalau tubuhku sehat. Nafsu makanku juga bagus. Aku tak pernah telat makan.
"I see." Wanita itu mendesis pelan dan segera menutup mulutnya saat seorang pelayan datang membawa pesanan kami. Perbincangan di antara kami jeda selama beberapa saat. "Apa ada masalah?" tanya Jenny setelah pelayan selesai melaksanakan tugasnya dan berlalu dari meja kami.
Aku menggeleng pelan dan mulai mengiris wafelku.
"Tidak," sahutku pelan. "Aku hanya ingin makan wafel dan kebetulan cafe ini dekat rumah sakit. Kamu tahu kan, kalau kantin rumah sakit tidak menjual wafel?" Aku menyuap untuk yang pertama kali. Tapi Jenny masih belum menyentuh kudapannya. Wanita itu memilih untuk menyesap minumannya terlebih dulu.
"Ayolah, Be. Aku paling tahu kalau wafel bukan makanan favoritmu..."
Aku mendelik ke arahnya. Sebenarnya ia ingin mengarahkan perbincangan kami ke mana?
"Maksudnya?"
"Mengajakku makan wafel hanya alasan, kan?" Ia menatapku dengan wajah angker. Aku tidak bisa membayangkan jika ia menatap pasien-pasiennya dengan tatapan seperti itu. "Kamu butuh teman bicara, bukan?" sentaknya.
"Ya, ampun," decakku. Aku benar-benar terkejut, tapi bibirku masih bisa melebarkan seulas senyum. Perlahan aku bisa meraba ke mana ia menuntun pembicaraan ini. "Jadi, maksudmu aku mencarimu karena aku punya masalah, begitu?" Aku mencoba menebak, namun aku sangat yakin kalau tebakanku benar.
Jenny tak menyahut. Tapi dari sorot matanya yang terus mengarah padaku, bisa kuartikan jika jawaban dari tebakanku adalah benar.
"Aku tidak bilang seperti itu." Wanita itu mulai berkonsentrasi pada sepotong wafel di depannya.
"Aku tidak akan membebanimu dengan curhatan apapun, Jen. Jadi bergembiralah," ucapku seraya memasukkan irisan wafel ke dalam mulut.
"Aku tidak keberatan mendengar curahan hatimu." Ia menukas lebih cepat dari yang kuperkirakan. "Aku sahabatmu, Be. Dan kamu bisa mempercayaiku."
Aku menelan kunyahanku tanpa suara dan nyaris tersedak karenanya.
"Tapi aku benar-benar tidak ada masalah, Jen." Aku menyunggingkan senyum tulus di bibir usai menyesap kopiku yang berangsur dingin. "Aku hanya ingin makan wafel denganmu dengan gembira. Kamu tidak keberatan, kan?"
"Okay." Kedua bahu Jenny mengedik pelan. Wanita itu sibuk mengiris wafelnya dan terus mengunyah tanpa melanjutkan perbincangan. Kami menikmati wafel masing-masing tanpa bertukar kalimat.
"Mau tambah lagi?" tawarku setelah melongok isi piring Jenny yang nyaris kosong.
"No." Ia menggeleng dengan tegas. "Aku tidak mau menambah berat badan, Be," ujarnya seperti biasa.
"Sepotong wafel tidak akan membuatmu gemuk, Jen. Kamu bisa membakar kalori dengan berjalan kaki dari sini ke rumah sakit, kan?"
"Tapi aku sudah kenyang, Be. Lagipula jam istirahatku hampir habis."
"Okay." Aku menggumam pelan lalu meneguk sisa kopiku yang menghuni cekungan cangkir putih.
***
"Thanks sudah mentraktirku wafel," ucap Jenny ketika aku mulai melambatkan mobil dan menepikannya tak jauh dari pintu gerbang rumah sakit. "juga mengantarku."
"It's okay."
"Oh ya," Jenny urung melepaskan sabuk pengaman dari tubuhnya padahal mobil yang kukemudikan sudah benar-benar berhenti. Wanita itu menoleh dan mengarahkan tatapan matanya lurus ke arahku. "bagaimana kabar Darren? Apa kalian..."
Aku cukup terkejut mendengar pertanyaan Jenny dan kalimatnya yang sengaja digantung. Kupikir ia tidak akan menyinggung masalah pribadiku setelah acara makan wafel di cafe tadi. Tapi nyatanya aku salah.
Aku menarik sudut bibirku dengan gerakan canggung.
"Ya ampun," Aku sedikit menggelengkan kepala. "kupikir kamu sudah bosan bertanya hal yang sama," gumamku tak percaya. Beberapa kali pertemuan kami sebelumnya, Jenny tak menyentuh topik perbincangan ini. Kupikir ia sudah bosan dan enggan menyinggung soal kehidupan pribadiku, namun faktanya ia masih menyimpan keingintahuan dalam kepalanya. Tentang aku dan Darren.
"Aku mencemaskanmu, Be."
Aku menemukan seberkas ketulusan dalam sinar mata dan nada kalimatnya. Tapi bagiku itu sama saja dengan belas kasihan. Dan aku tak butuh semua itu.
"Aku baik-baik saja, Jen. Aku masih bisa menjalani hidupku dengan bahagia. Kurasa kamu tidak perlu mencemaskan aku," tandasku seraya mengurai tawa hambar.
"Aku tahu kamu baik-baik saja," sahutnya dengan tegas. "Tapi kamu tidak bisa seperti ini terus menerus, Be."
"Ya, aku mengerti." Aku menyahut dengan cepat "Harus ada akhir dalam sebuah cerita, kan?"
Tak kusangka wanita itu terperangah mendengar kalimatku. Apa ada yang salah dengan ucapanku?
"Maksudnya? Apa kamu benar-benar akan mengakhiri semuanya suatu hari nanti?"
"Mungkin." Aku mengedik pelan karena tak yakin dengan jawabanku sendiri. "Kamu tidak mau turun?" tanyaku bermaksud menghentikan perbincangan membosankan ini.
"Uhm." Jenny tergeragap dan segera melepas kunci sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil. "Hubungi aku kalau kamu punya masalah, okay?"
Aku hanya mengedik. Mungkin, batinku dalam hati. Aku melambaikan tangan dan bergegas melajukan kembali mobil yang kukemudikan menuju kantor.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top