1. Who Are You?
Pancaran sinar matahari yang menyinari bumi bahkan tak mampu menguapkan aliran deras air terjun yang membasahi kedua pipiku. Aku mengembungkan pipi sembari membanting pantatku ke tepi jalan sepi, merapalkan sumpah serapah pada Shin Yuna yang tega meninggalkanku selama dua jam berturut-turut. Sebagai orang asing yang tidak tahu daerah sekitaran sini, aku bersumpah akan menjambak rambutnya kalau ia kembali.
Ya, kalau ia kembali.
Bisa saja ia menelantarkanku, 'kan?
"Kak, aku kembali ke rumah sebentar, ya. Tunggu saja di sini. Bunganya ketinggalan."
Cih, pembual.
Bahkan suhu angin musim semi yang lebih panas dari biasanya tak mampu memeluk batinku lebih jauh. Ia justru membakarnya. Ah, pokoknya aku kesal! Huwa, Ibu, bagaimana kalau Yuna menelantarkanku di daerah sepi seperti ini? Kenapa pula aku iya iya saja saat ia mengajakku berkunjung ke desa neneknya?
"Itu karena aku tidak punya kerjaan di rumah," jawabku sendiri atas pertanyaanku. Aku mengusap air mata di pipiku dengan kasar. "Aku menyesal kalau tahu akan begini."
Srek.
Aku tersentak. Uh-oh, apa itu? Secepat kilat aku menoleh ke arah bunyi ranting pohon yang terinjak. Sumber suara itu berasal dari sisi kananku, tempat dimana seorang pemuda berbadan tegap dengan mata lebar berdiri menatapku dengan... pandangan yang tak dapat kujelaskan.
Laki-laki itu terus menatapku, tanpa berkedip. Aku menelengkan kepala sembari menaikkan kedua alis, seketika itu juga ia tersentak dan segera mengalihkan pandangan. Aku bangkit berdiri, menepuk pantatku yang kotor dan berjalan menghampirinya.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?"
Awalnya ia tak meresponku. Saat kutekankan telunjukku pada lengannya, laki-laki itu malah memekik dan mundur selangkah.
"Huwaaaa!"
Aku ikut tersentak. "Apa? Apa? Ada apa?"
"Kau mengagetkanku!" serunya seraya mengelus-elus dadanya sendiri. "T-tunggu... kau berbicara padaku?"
"Kau pikir aku berbicara dengan pohon yang ada di belakangmu?"
Ia terdiam selama beberapa saat, berkedip. Kemudian kulihat ia meringis garing. "Maaf," katanya, pelan, tapi terdengar tulus.
"Tidak apa-apa, karena sepertinya kau bukan orang jahat." Dan aku tak mampu menahan senyum saat melihat gelagatnya. Tunggu, kenapa tiba-tiba aku seperti ini kepada orang asing? Biasanya aku akan sedikit was-was. Apa karena ia terlihat seperti laki-laki baik? Ah, memang dari luar ia agak... culun. "Hei, kau belum menjawab pertanyaanku."
Ia hanya menatapku dengan pandangan, apa?
Aku memutar kedua bola mata. "Kenapa-kau-melihatku-seperti-itu-tadi?" aku mengulang.
"Ah..." ia menggaruk belakang kepala. "...aku hanya... tidak biasa melihat gadis menangis sendirian di tempat seperti ini. Kau kenapa? Baru putus dengan pacar?"
"Pacar apaan...," dengusku. "Tidak. Aku hanya kesal dengan temanku."
"Kenapa?"
"Dia meninggalkanku sendirian di sini. Astaga, aku memang bodoh. Kenapa aku tidak ikut saja sekalian dengannya? Hei, ini sudah hampir setengah jalan tapi aku lupa jalan kembali ke rumahnya. Mau tanya orang di sekitar sini aku juga tidak kenal."
"Ah, jadi kau bukan orang asli daerah sini?"
"Ya, tentu saja."
"Temanmu wanita?"
"Tunggu, kenapa kau sangat ingin tahu padahal kita belum saling mengenal?" ekspresi wajahnya seolah tertampar dengan pertanyaanku. Aku bergeser mendekat padanya dan ia terlihat tidak keberatan dengan itu. Dari jarak sedekat ini, aku dapat mencium aroma wangi bunga yang kuat.
"Kau mau mengenalku?" ia tersenyum, dan sumpah aku tidak berbohong mengatakan bahwa ia sangat tampan. Dan aku tidak bohong, seketika mood-ku membaik saat melihat senyumnya.
Aku menyodorkan tangan kanan. "Aku Lee Chaeryeong. Panggil saja Chaeryeong, dan kau?"
Laki-laki itu menatap tanganku yang mengambang di udara selama beberapa saat. Namun aku tahu, di balik tatapan sendu mata lebar itu, ia menyimpan sesuatu. Aku menelengkan kepala, masih dengan posisi yang sama.
Ia tak kunjung menjabat tangananku juga.
"Namaku..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top