Lima

Akhirnya kami mengungsi ke rumahku. Aku mengajaknya ke ruang tamu setelah membuat secangkir teh untuk diriku sendiri. Aku juga sudah menawari Angga demi basa-basi dan dia menolaknya dengan sopan, tentu saja.

Dan harus kuakui. Dia menyenangkan diajak mengobrol. Aku tidak pernah menyangka akan menikmati momen-momen mengobrol bareng arwah seperti ini.

Angga sudah pergi ke beraneka tempat, bertemu banyak orang, dan mengalami berbagai hal. Pengalaman dan wawasannya sungguh luar biasa. Tidak hanya bermodal tampang dan penampilan, ternyata otaknya juga mengagumkan. Sayang sekali orang sepertinya ditakdirkan berumur pendek.

Cerita mulai berubah suram ketika topik sampai ke bagian tunangannya yang kabur dengan lelaki lain, kecelakaan besar yang membuatnya terbaring koma, keluarga yang jarang mengunjunginya di rumah sakit, hingga pada akhirnya dia menjadi seperti ini.

"Kenapa kamu tidak datang ke mimpi tunanganmu dan menghantuinya saja?" tanyaku geregetan. Itu bukan hal yang mustahil. Kujamin aku akan dengan senang hati meloloskan berkasnya. "Atau mengubah isi surat wasiat, biar semua asetmu jatuh ke yayasan sosial milik negara."

"Ide bagus." Di sofa di hadapanku, Angga tertawa terpingkal-pingkal. "Tapi, tidak. Ada yang lebih layak dari itu."

Jadi menggunakan jatah kesempatannyaㅡyang hanya satu-satunyaㅡuntuk mencari teman bicara, jauh lebih layak, begitu?

Sungguh aku tidak paham jalan pemikirannya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya?" Aku bertanya ragu-ragu. Selama ini aku belum menemukan arwah yang bisa kutanyai langsung. "Maksudku, rasanya ... meninggal."

"Rasanya bebas."

Aku tidak menduga jawaban barusan.

"Selama setahun ini aku tidak bisa apa-apa selain tertidur koma, begini rasanya lebih baik. Tapi sayang sekali ...."

Angga terdiam, terlihat seolah sedang berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat untuk digunakan. Beberapa saat kemudian, dia menyerah dan memulai topik pembicaraan baru.

"Apa kamu tahu aku akan ke mana setelah ini?"

Aku menggeleng. Itu adalah pertanyaan yang tidak seorang pun manusia hidup mengetahui jawabannya. Ke mana manusia pergi setelah menyelesaikan semua urusannya di dunia?

Ada yang bilang kamu akan diharuskan menunggu. Menunggu hari akhir. Menunggu hari pembalasan. Menunggu penimbangan amal. Menunggu undangan dari surga atau neraka.

Ada yang bilang kamu akan berkeliaran di bumi. Bergentayangan. Terkatung-katung. Bergerak tak tentu arah. Tiada, tapi tetap ada. Ada, tapi sudah tak bisa berbuat apa-apa.

Ada yang bilang kamu akan diberi kesempatan kedua. Dianugerahi sebuah kehidupan yang lain. Kembali menjadi entitas nyata. Kembali menjadi bagian dunia fana.

Ada yang bilang kamu akan menjadi salah satu dari bintang-bintang di atas sana. Bersinar begitu terang. Berkerlap-kerlip sangat indah. Bertakhta cantik di langit malam.

Ada yang bilang hari setelah akhir itu tidak ada. Sekedar omong kosong belaka. Kamu mati, kamu lenyap. Hanya ada kehampaan yang menunggu. Kosong. Gelap. Lama-lama terlupakan.

Jadi sebenarnya apa yang menunggu setelah kematian?

"Apa pun yang menunggu kita setelah ini ...." Aku sengaja menggunakan kata 'kita', karena cepat atau lambat, aku pun pasti juga akan menyusul Angga. "Setidaknya kita sudah melakukan yang terbaik selama berada di dunia."

Aku mengambil cangkir teh dan menyesap isinya yang sudah mendingin. Ini pembicaraan yang tidak pernah kulalukan sebelumnya. Mau tidak mau, aku jadi ikutan gugup dan diam-diam bertanya dalam hati. Memangnya aku sudah melakukan yang terbaik di dunia ini?

"Tapi Angga sepertinya orang yang baik," tukasku pada akhirnya dan memberikan senyum yang kuharap terlihat meyakinkan. "Aku tidak akan khawatir."

Di hadapanku, Angga hanya balas tersenyum. Aku ingin bercakap-cakap seperti ini sedikit lebih lama lagi, tapi kakek kembali memanggilku dan mengabarkan bahwa matahari akan terbit sebentar lagi. Angga harus segera menyelesaikan urusannya dan kembali meneruskan perjalanan.

"Astaga, lembar perjanjianmu!" Aku bangkit dengan terburu-buru. "Kita belum mengisinya."

Kami berlari ke arah gerbang yang sekarang kosong. Antrean para arwah sudah tidak ada lagi, dan di atas sana, posisi bulan purnama semakin merendah di langit.

Kuisyaratkan Angga untuk duduk di kursi yang disediakan, sementara tanganku buru-buru meraih kertas dan bolpoin.

"Seandainya kita bisa mengobrol lebih lama," ungkapku jujur dari lubuk hati yang paling dalam.

Ini memang hanya beberapa jam, tapi aku sungguh menghargai keberadaannya. Darinya aku belajar banyak hal. Mengenai perjuangan, keluarga, kesabaran dan juga keikhlasan. Darinya aku juga belajar untuk lebih menginstropeksi diri sendiri dan menghargai nyawa yang masih bersarang di jasadku.

"Itu seharusnya kata-kataku." Angga tertawa. "Sayang sekali kita harus bertemu dalam kondisi seperti ini."

Benar. Sayang sekali. Namun, aku cukup tahu diri. Di kondisi yang berbeda dari ini, Angga pasti akan menjadi sosok yang tidak akan pernah bisa kujangkau. Bahkan di dunia nyata pun, "dunia" kami masih terlalu berbeda.

Aku baru akan menanyakan namanya ketika ponselku tiba-tiba berdering. Ternyata telepon dari salah seorang temanku di rumah sakit.

"Sherin, maaf terlambat memberitahumu, tapi pasien di kamar 315 meninggal tadi malam. Sekitar jam 10."

Tubuhku membeku seketika.

"Kamu yang selama ini bertugas merawatnya. Jadi kupikir sebaiknya kamu tahu."

Telepon itu berlangsung singkat dan meninggalkanku dalam keterdiaman yang cukup panjang setelahnya.

Pasien di kamar 315. Padahal tadi sebelum pulang, aku masih sempat berkunjung ke tempatnya untuk mengucapkan selamat malam dan sampai jumpa.

Jadi itu adalah terakhir kalinya aku melihatnya.

Air mataku jatuh tanpa sadar.

"Sherin?"

Aku buru-buru menyeka air mata, lupa kalau di depan masih ada Angga.

"Tidak apa-apa," jawabku cepat-cepat. "Hanya saja ... seorang pasien yang selama ini kurawat baru saja meninggal. Dia juga sudah lama koma, sepertimu. Dan aku ... tidak ada di sampingnya waktu dia ...."

Dan aku kembali menangis.

Aku melihatnya nyaris setiap hari, memantau perkembangan kondisinya, dan membantunya membersihkan diri. Aku bahkan sering mengajaknya mengobrol dan bicara tentang apa saja. Rasanya aneh, sekarang tiba-tiba saja dia sudah tidak ada.

"Sherin, kita mulai sekarang?"

Ah, benar. Bukan waktunya menangis. Matahari sebentar lagi muncul. Angga bisa kena masalah kalau tidak cepat-cepat kembali ke alamnya. Aku kembali meraih bolpoin.

"Nama lengkapmu?"

"Erlangga Wiraditya."

Tanganku berhenti bergerak. Tatapanku masih terpaku ke kertas dan air mataku terancam untuk kembali mengalir deras. Di hadapanku, Angga masih lanjut berbicara.

"Usia 33 tahun. Meninggal pada tanggal 20 April. Permohonan: izin untuk mengucapkan terima kasih kepada Sherin, orang yang sudah merawatku selama ini. Yang sering ada di sampingku. Yang selalu mengajakku bicara, walau tahu aku tidak akan pernah menyahutinya. Yang selalu mengucapkan selamat pagi, selamat siang, dan selamat malam tiap kali ada kesempatan. Yang lebih memedulikanku dibanding keluargaku sendiri."

Sekarang aku malah sesenggukan dengan konyolnya.

Angga adalah Erlangga pasien kamar 315 yang kutemui setiap hari? Dia yang ada di ingatanku terkesan begitu berbeda. Tubuh kurus, wajah cekung, dan dia tidak pernah sekali pun membuka mata selama 6 bulan aku ditugaskan untuk merawatnya. Sekarang dia muncul di hadapanku, terlihat begitu sehat dan bugar, tapi sudah dalam wujud arwah.

"Maaf, Sherin. Aku berbohong. Berterima kasih padamu adalah urusan tertinggalku yang sebenarnya." Angga tertawa kecil. "Syukurlah aku juga mendapat bonus. Bayangkan betapa bahagianya aku waktu tadi melihatmu di dekat gerbang."

Dengan tangan bergetar, aku menuliskan informasi Angga di lembar perjanjian. Kemudian kuangsurkan kertas itu padanya untuk ditandatangani.

"Apa ... apa aku sudah membantu memberikan akhir yang baik untukmu?" tanyaku terbata-bata. "Maaf, aku tidak bisa berbuat banyak."

Angga menggeleng. Dia baru saja selesai membubuhkan tanda tangan.

"Suara terakhir yang kudengar adalah suaramu. Selamat malam. Sampai jumpa. Kamu mengatakannya. Itu akhir yang terbaik." Angga tersenyum lembut. Sepasang matanya memandangiku tepat di manik mata. "Bahkan ketika sudah berwujud seperti ini pun, kamu tetap bersedia menemaniku mengobrol. Aku mengakhiri masaku di dunia ini dengan bahagia. Tenang saja. Tidak ada lagi yang kesesali."

Aku membalas senyumnya. Untuk saat ini, hanya itu yang ingin kudengar.

"Sherin, terima kasih banyak. Untuk semuanya."

Angga masih tetap tersenyum sementara tubuhnya perlahan memudar, makin lama makin tembus pandang, dan kemudian menghilang dari hadapanku seutuhnya.

Selama beberapa saat, aku hanya duduk di balik meja itu seorang diri. Terdiam memandangi kursi kosong di hadapanku. Di ufuk timur, matahari mulai mengintip memancarkan cahayanya. Kutengadahkan kepala, memandangi bulan purnama yang juga sebentar lagi akan menghilang.

Sepertinya aku tidak akan pernah bisa melupakan malam bulan purnama ini seumur hidupku.

Seandainya setelah ini ada yang bertanya "apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata 'bulan purnama'?", jawabanku akan berbeda dari sebelumnya.

Kehidupan. Kematian. Pertemuan. Perpisahan. Kesempatan.

Mulai saat ini, bagiku hal-hal itu akan lebih identik dengan kata "bulan purnama".

— TAMAT —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top