28

"Congratulations, calon adik iparku! Aku janji akan menyusulmu setelah ini." Suara decak bahagia terdengar begitu jelas dari ujung telepon.

"Menyusul ke mana?"

"Menyusul ke pelaminan lalu punya bayi," jawab Jenny lalu terkikik pelan setelahnya. Dulu aku bahkan tak bisa tersenyum saat tahu tanggal pernikahanku ditetapkan. Aku seperti orang tolol yang lupa bagaimana cara untuk tersenyum.

"Apa kamu sudah memilih gaunnya?" Aku masih ingat pernah menawarkan bantuan padanya untuk memilih gaun pengantin. Aku juga siap membantunya mendesain kartu undangan, mendaftar calon tamu, katering.

"Yup. Aku sudah memilih beberapa, tapi aku tetap akan meminta pendapatmu. Tenang saja, Be."

Syukurlah.

"Be?"

"Ya?"

"Kami akan merawat Tante Sarah setelah kami menikah. Apa Kak Alfa sudah memberitahumu?"

Aku mengangguk sambil mengguman kata 'ya'. Tante Sarah lebih baik tinggal bersama mereka ketimbang terkurung di dalam rumah sakit jiwa.

"Sorry, Be. Kak Alfa menelepon. Aku tutup teleponnya..."

Astaga, decakku kesal seraya menatap layar ponsel. Jenny tak pernah seperti ini sebelumnya. Tapi, sekarang ia berani menutup telepon begitu saja padahal aku belum memberi jawaban apapun dan durasi percakapan kami bahkan kurang dari tiga menit.

"Ada apa, Be?"

Darren berdiri di ambang pintu kamar dengan kedua alis bertaut di tengah. Ekspresi wajahnya tak begitu kusukai. Butir-butir keringat terlihat di kedua pelipisnya. Sementara sebuah kardus berukuran cukup besar berada dalam dekapan kedua tangan kokohnya.

"Apa itu?" Aku mengangkat tubuh dari atas tempat tidur dan berusaha mengintip isi kardus yang dibawa Darren. Namun usahaku tak berhasil. Kardus itu masih dalam keadaan tertutup rapat.

"Ini buku-buku tentang parenting."

Parenting? Bahkan usia kandunganku belum genap sebulan, tapi Darren sudah menyiapkan buku-buku pengasuhan? Apa itu tidak terlalu dini?

"Ada buku tentang kehamilan juga," imbuh laki-laki itu seakan bisa membaca isi kepalaku yang penuh dengan pertanyaan. "Apa kamu baru menelepon seseorang?" Darren melangkah ke sudut ruangan lalu meletakkan bawaannya yang tampak lumayan berat di atas lantai dekat kaki rak buku.

"Jenny."

"Apa dia memberitahukan tanggal pernikahannya?" Tanpa menatapku, Darren bertanya. Laki-laki itu mulai membuka kardus dan mengeluarkan isinya satu per satu. Masih ada ruang yang tersisa di dalam rak buku miliknya.

"Belum." Aku menggeleng meski tahu Darren sedang membelakangi tubuhku. "Kak Alfa dan Jenny sepakat akan membawa tante Sarah pulang setelah mereka menikah nanti," ujarku pelan ketika langkah kecilku telah sampai beberapa jengkal di belakang tubuh Darren.

"Oh." Darren menoleh sebentar dan bergumam. Selama ini aku belum pernah menyinggung soal tante Sarah di depan laki-laki itu. Kupikir ia akan memberikan reaksi berbeda. "Itu bagus. Mereka bisa merawat tante Sarah, kan?" lanjutnya seraya melanjutkan kesibukan menata buku-buku baru di dalam rak.

"Kamu tahu tentang tante Sarah?" Aku sengaja memancing.

"Dari mama." Ia masih sibuk dengan kegiatannya dan menjawab pertanyaanku tanpa menoleh.

"Apa kamu tidak takut suatu hari nanti aku..."

"Be. Kumohon..." Aku langsung mengatupkan bibir saat Darren memotong tiba-tiba. Laki-laki itu membalik tubuh dan wajahnya menyiratkan rasa tak suka. "Selama kita bersama-sama, apa yang mesti kutakutkan?"

"Tapi Darren. Penyakit seperti itu bisa saja menimpaku." Aku memandang lurus ke dalam sepasang matanya.

"Kenapa mesti mengkhawatirkan hal yang belum terjadi, hah?" Darren memelototkan kedua matanya. "Aku tidak suka membahas hal itu sekarang. Aku lebih suka memikirkan untuk membeli satu rak buku lagi."

"Kamu bahkan belum membaca buku-buku itu, Darren."

"Aku akan membacanya mulai malam ini."

"Baiklah, jika itu maumu."

"Oh ya, ada satu kardus lagi yang mesti kubawa masuk," beritahu Darren. "Dari mama."

Mama? Aku mengernyit.

"Mama mengirim sesuatu untuk kita?"

"Ya. Hanya beberapa karton susu untuk ibu hamil dan buah untuk kamu."

"Apa?!"

"Kenapa? Kamu tidak suka?" Ganti kening Darren yang mengerut tajam.

"Bukan begitu," jawabku terbata. Hanya saja aku masih tidak percaya tiba-tiba mama berubah baik terhadapku setelah semua pertikaian kami.

"Mama sayang kamu, Be."

"Aku tahu," gumamku pelan. Dan tiba-tiba saja aku jadi teringat pada mama. "Kamu tidak ingin mengambil kiriman mama sekarang?" tegurku sekadar mengusir rasa sedih yang mulai menyerang benakku.

"Tentu saja. Aku akan mengambilnya sekarang."

Aku masih ingat, untuk sampai ke titik ini, ada begitu banyak hal yang mesti kulalui. Terlalu banyak cerita duka dalam hidupku. Tapi, semuanya terbayarkan lunas sekarang. Aku memiliki Darren di sisiku, juga calon buah hati kami.

"Apa aku boleh memelukmu?"

Darren melongo di depan pintu dengan tangan yang sedang sibuk mendekap sebuah kardus.

"Apa penyakit itu sudah mulai menjangkitimu sekarang?"

Aku menggeleng sambil meledakkan tawa kecil.

"Aku merindukanmu, Darren," ucapku usai berhasil mendekat dan memeluk tubuhnya. Tentu saja setelah laki-laki itu menurunkan kardus kiriman mama.

"Siapa yang merindukanku? Kamu atau bayi kita?" bisik Darren seraya balas memeluk pinggangku.

"Aku."

Aku mencintaimu, Darren.


***********TAMAT*************

22 Desember 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top