26
Kabar rencana pernikahan Kak Alfa dan Jenny membuat suasana hatiku berangsur membaik usai mengunjungi makam mama. Pikiran galau tentang mama seketika teralihkan, bahkan aku sempat melambaikan tangan serta melempar senyum saat melepas Kak Alfa pergi. Namun, begitu kakiku menapaki ubin ruang tamu, seketika senyum di bibirku memudar dan suasana hatiku kembali merosot dengan drastis.
Akhirnya hari ini datang juga.
"Kamu sudah pulang?" Mama Darren terlihat sedang duduk di atas sofa dan langsung menegur begitu melihatku masuk.
"Ya," sahutku ragu. Rasa takut dan gugup serempak menyergap perasaanku. Kedua kakiku juga enggan beralih dari atas lantai yang sedang kupijak sekarang. Bagaimana aku bisa mengatasi ini sendirian?
"Duduklah," suruh wanita itu seakan bisa menangkap keraguan yang berusaha sekuat tenaga kusembunyikan darinya.
Dengan terpaksa aku berangsur melangkah ke salah satu sofa kosong tak jauh dari tempat duduk mama Darren. Bagaimanapun juga aku harus menghadapi kenyataan ini.
"Sebenarnya apa maksudmu?" Sorot mata tajam wanita itu mengarah tepat ke wajahku dan siap mencabik-cabik harga diriku yang bahkan telah terkoyak sebelum ia bicara. "Bukankah kamu setuju untuk bercerai? Kenapa kamu malah merayu Darren? Apa kamu sengaja melakukan ini? Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Beta?"
Apa yang kuinginkan? Aku ingin tinggal di sisi Darren, berbagi segalanya, dan menua bersamanya.
"Apa kamu tidak kasihan pada Darren jika dia harus ikut menanggung aib keluargamu?" Ia bersuara kembali. Sementara aku, bahkan untuk mengangkat dagu di hadapan wanita itu aku tidak akan sanggup. Aku terlalu malu padanya. "Beta, pikirkan sekali lagi. Kalau kamu peduli dengan Darren, lepaskan dia. Dia berhak untuk menjalani hidupnya tanpa dibebani permasalahan keluarga orang lain. Dia tidak bersalah, Beta. Darren tidak seharusnya menderita karena permasalahan keluargamu."
"Maafkan aku, Ma." Suaraku tersendat.
"Mama tidak habis pikir dengan kamu, Beta. Bagaimana kamu bisa melakukan ini..."
"Mama?!"
Mendengar suara teriakan itu membuatku seketika menoleh ke arah pintu. Tiba-tiba Darren muncul dengan wajah tegang. Laki-laki itu menatapku sebentar lalu melangkah menghampiri tempat duduk mamanya.
"Apa yang mama lakukan pada Beta?" Ia setengah menghardik mamanya.
"Mama hanya bicara padanya, Darren." Mama Darren mengangkat tubuh dari atas sofa.
"Bukankah aku sudah mengatakan tidak akan menceraikan Beta apapun yang terjadi?"
"Tapi Darren..."
"Ma." Darren mengembuskan napas kasar. "Mama tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga kami, sekalipun mama yang menjodohkan kami. Mama mendengarku, kan?"
"Mama hanya tidak ingin kamu menanggung aib keluarganya, Darren. Kamu tidak bersalah dan tidak seharusnya nama baikmu ikut tercemar..."
"Nama baik apa?" Darren menyunggingkan senyum getir. "Beta juga tidak bersalah dalam masalah ini. Tidak seharusnya dia juga ikut menanggung aib kedua orang tuanya, kan? Beta juga korban, Ma. Dan aku mencintainya. Apa aku harus meninggalkan orang yang kucintai saat dia ditimpa banyak masalah?"
"Darren, dengarkan mama dulu..."
"Ma." Darren berusaha menepis tangan mamanya. "Sekali ini saja aku mohon pada mama, biarkan kami hidup bahagia, Ma. Aku tidak bisa hidup tanpa Beta. Aku sangat mencintainya..."
"Cinta katamu?" Mama Darren menertawakan kalimat yang baru saja terlontar dari bibir putranya. "Dulu kamu pernah mengatakan mencintai Serra saat mama menjodohkan kamu dengan Beta. Lalu sekarang kamu mengatakan mencintai Beta. Bahkan kamu bisa jatuh cinta pada wanita manapun yang mama jodohkan denganmu, Darren."
"Ma!"
"Kenapa? Bukankah mama benar?"
Darren mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapannya gelisah. Apa ia sudah bisa membaca keraguan yang seketika tergambar di wajahku? Tentang dirinya. Tentang cintanya. Dan tentang semua yang pernah ia ucapkan padaku.
Bagaimana jika hatinya berpaling pada wanita lain saat aku benar-benar pergi dari sisinya? Apakah ia akan melupakanku begitu saja? Apa cintanya padaku akan terkikis habis saat ia telah menemukan pengganti diriku?
"Beta adalah yang terakhir untukku, Ma," ucap laki-laki itu masih dengan menatapku. Seolah ingin mengusir segenap keraguan yang masih jua menyelimuti perasaanku.
"Ayolah, Darren. Pikirkan sekali lagi." Wanita itu masih berusaha untuk mempengaruhi pikiran putranya.
"Ma..." Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengeluarkan suara, menyela percakapan antara ibu dan anak itu. "Aku... biar aku yang mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama," ucapku pelan. Toh, bagi Darren tidak akan sulit untuk membangun cinta baru setelah kami berpisah. Hati nuraniku memilih untuk terluka.
"Be! Apa kamu sudah gila, hah?!" Darren mengguncang pundakku dengan gerakan kasar. "Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan?"
Ya, aku sadar dengan apa yang kuucapkan. Namun, bibirku hanya bisa membeku. Aku membiarkan Darren mengguncang pundakku lebih keras lagi.
"Kamu tidak bisa melakukan ini padaku, Be."
"Bukankah aku sudah mengatakan akan mengakhiri semua ini suatu hari nanti?" lirihku. Sebutir air mata lolos begitu saja tanpa bisa kucegah.
Jika ini jalan yang terbaik untuk kami, kenapa tidak? Toh, kami tidak bisa berbahagia tanpa restu mama Darren.
"Ini tidak adil untuk kami, Ma."
Darren membalikkan tubuh dan ganti memprotes mamanya. Jangan ada perdebatan lagi, batinku mencegah. Namun, tanganku malah mengambang di udara. Tiba-tiba saja aku merasa duniaku berputar dengan kecepatan tinggi. Membuat tubuhku limbung dan kehilangan keseimbangan.
Aku masih bisa melihat punggung Darren sebelum tubuhku benar-benar jatuh ke lantai. Hatiku berteriak memanggilnya, tetapi suaraku tersendat di tenggorokan.
Darren, aku mencintaimu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top