25

Suasana hatiku mulai memburuk ketika langkah-langkah berat kami bergerak menyusuri jalan keluar area pemakaman. Aku hanya tertunduk lesu menekuri ujung sepatu yang bergerak begitu gontainya. Kak Alfa pun sama. Laki-laki itu merangkul pundakku, bahkan ia juga membuka pintu mobil untukku, sesuatu yang jarang ia lakukan. Mungkin ia takut aku akan ambruk sewaktu-waktu karena tak kuat menahan luapan perasaan di dalam dadaku. Yang pasti sikapnya sangat berlebihan.
Sejauh ini aku merasa baik-baik saja. Meski perasaanku sedang kacau, aku bisa menopang berat tubuhku sendiri, berjalan tanpa bantuannya, dan aku masih ingat cara membuka pintu mobil.

Sunyi masih jua mengisi ruang kosong di antara kami berdua ketika mobil Kak Alfa meluncur dengan tenang di atas jalanan. Pandangan mataku lurus ke depan, kosong, dan pikiranku terus tertuju pada mama. Sedang Kak Alfa juga larut dalam kebisuan. Fokus matanya ke depan kemudi, entah dengan pikirannya. Semoga tak mengembara tanpa arah.

Di sebuah perempatan, lampu merah menjebak mobil kami. Kak Alfa akhirnya berdeham setelah bermenit-menit lamanya terdiam. Laki-laki itu melirikku dari spion tengah.

"Apa kamu lapar?" tegurnya.

Aku menggeleng sebagai balasan.
Kak Alfa terdiam kembali karena lampu merah sudah berganti warna. Ia meluncurkan kembali mobil yang kami tumpangi setelah kendaraan di depan melaju terlebih dulu.

"Apa kamu tidak ingin mengunjungi rutan?" tanya laki-laki itu menyambung kembali percakapan yang sempat jeda beberapa saat.

Rutan adalah tempat di mana papa berada sekarang. Dan semenjak hari itu aku sama sekali belum bertemu papa. Sejujurnya aku kecewa padanya.

"Aku belum siap bertemu papa," tandasku lirih, tanpa menoleh. Aku sedang berusaha menyembunyikan wajah kesalku dari pandangan Kak Alfa.

"Belum siap bertemu atau kamu masih marah pada papa?"

"Aku tidak pernah mengatakan aku marah pada papa, kan?" Nadaku sedikit meluncur naik.

"Papa merindukanmu, Be." Kak Alfa menoleh demi menegaskan kalimatnya. "Kamu tidak merindukan papa?" Ia mempertanyakan perasaanku.

Akhir-akhir ini masalah datang bertubi-tubi pada keluarga kami dan aku terlalu sibuk menguatkan mental. Tapi, jika aku menengok kembali ke belakang, sebenarnya masalah demi masalah itu datang dari keluarga kami sendiri, bukan orang lain. Dan kesimpulannya aku adalah korban dari permasalahan ini. Lalu siapa yang menjadi pangkal semua masalah ini? Apa aku boleh berterus terang kalau mama dan papa adalah orang yang harus bertanggung jawab atas semua yang menimpaku?

"Papa hanya ingin bertemu denganmu," ucap laki-laki itu meski aku bergeming, enggan untuk membalas kalimat-kalimatnya. "Belakangan ini dia terlihat kurus."

"Kak!" Aku setengah berseru seraya menatap kesal ke samping. "Kumohon jangan bicara lagi tentangnya. Bukan karena aku marah padanya..."

"Lantas?"

"Aku sudah mengatakan belum siap bertemu dengannya, kan?"

"Baiklah."

Terima kasih sudah mengerti, batinku sambil mengalihkan pandangan ke depan. Pikiranku sudah penuh dengan mama dan aku benci harus memikirkan papa juga.

"Oh ya, Be..."

Aku mengembuskan napas kesal mendengar suara Kak Alfa. Ada apa lagi?

"Apa?" tanyaku malas. Aku terpaksa menoleh kembali. Tidak bisakah ia diam dan membiarkan aku hanyut dalam lamunan barang sejenak? Aku ingin ketenangan selama dalam perjalanan pulang.

"Aku ingin membawa tante Sarah ke rumah. Aku ingin merawatnya. Bagaimana menurutmu?"

Aku melongo mendengar ide konyolnya. Sesungguhnya niat Kak Alfa baik, hanya saja tidak mudah untuk merawat seseorang dengan gangguan jiwa.

"Apa Kakak serius?"

"Ya. Aku juga sudah bicara dengan Jenny dan dia tidak keberatan."

"Apa?!" Aku memekik histeris. "Jadi kalian sudah bicara sejauh itu?"

Kepala Kak Alfa mengangguk. "Kami memutuskan akan menikah."

"Kapan?" Tiba-tiba saja aku jadi antusias dan bersemangat. Untuk Jenny dan Kak Alfa, aku sangat mendukung mereka berdua.

"Dua bulan lagi." Senyum bahagia tak bisa disembunyikan dari bibir Kak Alfa.

"Astaga! Kenapa kalian tidak memberitahuku saat di cafe?" Bukankah saat itu aku sudah menawarkan diri untuk menentukan tanggal pernikahan mereka?

Laki-laki itu malah meledakkan tawa. "Kami baru membicarakannya semalam dan orang tua Jenny setuju," ungkapnya.

"Oh my God."

Setidaknya masih ada berita membahagiakan di tengah-tengah semua permasalahan yang ada. Semoga nasib pernikahan mereka jauh lebih baik daripada aku.

"Tapi, kamu bisa membantu Jenny memilih tempat resepsi dan gaun pernikahannya. Bagaimana? Kamu suka, kan?"

"Tentu saja," gelakku.

Perlahan suasana hatiku mulai membaik ketika mobil yang kami tumpangi hampir sampai rumah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top