24
"Apa?! Kamu sudah tahu?" Pengakuan Darren soal Kak Alfa dan Jenny nyaris membuatku tersedak. Padahal beberapa detik yang lalu aku baru saja menguraikan kisah cinta mereka berdua dengan pemaparan yang menggebu-gebu. Lalu Darren mengatakan ia sudah tahu? Betapa sia-sianya penjelasanku tadi.
"Ya." Kepala laki-laki itu mengangguk dengan gerakan ringan. Bahkan dengan santai ia menikmati isi piringnya tanpa terpengaruh dengan ekspresi terkejut yang tercetak di wajahku.
"Kamu sudah tahu, tapi tidak cerita padaku?" delikku protes.
"Be." Darren menatapku usai meletakkan sendok di tangannya. "Aku tidak mengatakan 'aku sudah tahu', tapi 'aku tahu'. Karena kamu baru saja memberitahuku," tandasnya diimbuhi dengan gelak tawa seolah ingin melecehkanku. Oh, Tuhan... Laki-laki itu ingin mengerjaiku sekarang.
Aku menarik napas kesal, tak mengeluarkan komentar apapun, lalu melanjutkan makan malamku yang sempat terhenti karena ulah Darren. Aku baru tahu kalau laki-laki itu memiliki sisi menyebalkan dari dirinya.
"Tapi Bibi senang kalau Mbak Jenny dan Mas Alfa pacaran." Bibi Sati muncul dengan membawa air minum dan tiba-tiba mengeluarkan pendapatnya. Berarti ia mendengar percakapan kami dari awal sampai akhir padahal Bibi Sati sedang sibuk di dapur?
"Mereka memang pasangan yang serasi," ujar Darren menyampaikan penilaiannya.
"Bibi berharap agar mereka menikah dalam waktu dekat."
"Apa mama sudah tahu kalau aku ke Jakarta?" tanyaku setelah Bibi Sati selesai mengisi air minum kami dan kembali ke dapur. Aku sengaja memelankan suara agar wanita tua itu tak mencuri dengar pembicaraan kami.
"Aku belum bertemu papa hari ini. Tapi, aku sudah meneleponnya dan mengatakan kalau aku sudah kembali. Jadi, papa pasti sudah memberitahu mama," jelas Darren. "Tapi, aku tidak memberitahu papa kalau kita pulang sama-sama," imbuhnya seolah bisa membaca pikiranku.
Cepat atau lambat wanita itu juga akan tahu kalau kepulangan putranya ke Jakarta bersamaku. Jadi, tinggal menunggu waktu saja. Aku cuma perlu menyiapkan mental untuk menyongsong hari itu tiba. Dan bisa jadi suatu hari nanti aku akan mengenang kebersamaan kami seperti sekarang ini.
"Apa ada masalah di hotel selama kamu pergi?" Aku mulai membahas topik lain selagi kami masih menikmati makan malam. Rasanya akan tidak nyaman kalau kami masih membicarakan tentang mama di meja makan.
"Tidak ada. Hotel baik-baik saja."
"Oh."
"Apa kamu takut bertemu mama?"
Mungkin kegelisahan tergambar begitu jelas di wajahku sehingga Darren dengan mudah membacanya. Tapi, sejujurnya aku lebih suka keluar dari topik itu daripada membahasnya kembali.
"Be, aku sudah menarik ucapanku soal bicara baik-baik pada mama, kan?" Kebisuanku malah mengundang kecurigaannya.
"Aku tahu," tukasku seraya mengulum senyum pahit. Aku jelas masih ingat, namun aku harus bersiap dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, kan? "Aku baik-baik saja, Darren. Jangan cemas," ucapku sok tenang. Padahal kecemasan itu benar-benar bersemayam di dalam hatiku.
"Aku akan melindungi kamu apapun yang terjadi, Be."
"Darren..." Perbincangan kami terlalu serius untuk dibahas di meja makan. "Bisa kita bicara masalah lain?" pintaku dengan sangat. Aku mengerti jika tugas Darren adalah menjaga hatiku sekaligus mamanya. Bukan tugas yang ringan dan gampang, sebuah dilema berat yang mesti dipikulnya.
"Okay." Ia mengangguk mengerti.
Aku melempar senyum tipis dan kembali menyibukkan diri dengan sendok di tanganku. Lebih baik tidak membahas apapun daripada membicarakan tentang pernikahan kami atau mama. Membiarkan semuanya mengalir seperti air, entah berarah ke mana, mungkin jauh lebih baik ketimbang gelisah memikirkan hal-hal buruk yang belum terjadi. Minimal aku harus menyiapkan hati dan mental.
"Kamu mau nambah lagi, Be?"
Tanganku berhenti dan mengambang di udara selama beberapa detik setelah Darren menegur dengan sejumlah kerutan di keningnya.
"Kenapa?" Aku melongo menatapnya lalu melanjutkan niatku menyenduk nasi.
"Tidak apa-apa. Tapi, tidak biasanya kamu makan sebanyak itu," ujarnya masih menunjukkan wajah heran.
"Aku tadi siang hanya makan wafel, Darren," jelasku.
"Oh."
"Apa kamu takut aku gemuk?" tanyaku karena merasa tidak nyaman diawasi terus menerus olehnya.
"Tidak," gelengnya seperti terpaksa.
"Benarkah?"
"Ya, ampun." Laki-laki itu mendesis pelan. "Kenapa aku harus takut kamu gemuk? Aku malah takut kehilangan kamu, Be."
"Okay."
Aku tersenyum puas mendengar kalimatnya. Jadi, sekarang aku bisa tenang melahap makananku, kan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top