23
"Welcome back, Be!" Wanita itu menarikku dengan gerakan kasar ke dalam pelukannya. Bukan itu saja, Jenny juga menghadiahiku sepasang ciuman manis di pipi kanan dan kiriku. Kurasa ia terlalu berlebihan dengan penyambutannya, apalagi kami sedang berada di tempat umum.
"Apa kamu sebahagia itu, hah?" delikku usai berhasil melepas tubuh dari pelukannya. Aku terpaksa harus merapikan kembali long cardigan monokrom yang kupakai hari ini. Benda itu tak sengaja kutemukan di antara tumpukan pakaian milik Darren. Entah aku atau Bibi Sati yang melakukan kesalahan kecil itu, tapi aku senang menemukannya karena aku hampir lupa kalau pernah membeli benda semacam itu. Setidaknya long cardigan itu pernah menjadi tren beberapa tahun silam.
"Tentu saja," decak Jenny seraya menyeret lenganku ke salah satu meja yang kosong. Aku meneleponnya semalam dan ia sengaja mengambil libur hari ini khusus untuk reuni denganku. Jadi, tidak ada aroma rumah sakit yang menempel di tubuhnya dan aku sangat bersyukur. "Kita pesan sekarang?"
"Boleh."
"Mau pesan apa, Be?" tawarnya sebelum berseru memanggil salah seorang pelayan cafe.
"Bagaimana kalau wafel dengan es krim vanila?" Aku memberi ide. Biasanya kami memesan wafel dan kopi.
"Boleh," sambutnya tanpa mengajukan protes. "Kita butuh asupan yang manis untuk merayakan pertemuan kita. Aku betul, kan?"
"Terserah," cibirku lalu tergelak saat menatap ekspresi Jenny yang mendadak berubah kesal.
"Ini seperti keajaiban, kan?" Pesanan kami tiba sepuluh menit kemudian. Sepotong wafel dengan topping es krim vanila di atasnya.
Aku mengerutkan kening dan belum sempat mencicipi rasa wafel di hadapanku saat Jenny bicara sesuatu yang sama sekali tak kupahami maksudnya.
"Keajaiban?" ulangku.
"Yes." Wanita itu menjilati sisa-sisa es krim yang menempel di ujung sendoknya. Bahkan aku belum sempat mengiris wafel bagianku. "Bukankah berbaikan dengan Darren bagaikan sebuah keajaiban?" Jenny menatapku, meminta persetujuan.
Mungkin ia benar. Aku tidak pernah merasa sedekat ini dengan Darren sebelumnya. Obrolan kami lebih berwarna sekarang. Kami juga melakukan banyak hal dan kami hidup seperti pasangan suami istri lainnya.
"Mungkin." Aku mengedik acuh lalu mulai mengiris wafelku.
"Ada saatnya kita harus menciptakan keajaiban untuk kita sendiri, kan?" Jenny bergumam di sela-sela menikmati wafelnya. "Karena menunggu keajaiban membutuhkan waktu sedikit lebih lama dan mungkin saja keajaiban itu tidak akan pernah datang jika kita tidak pernah berusaha menciptakannya sendiri. Aku benar, kan?"
Lagi-lagi aku mengedik. Rasa es krim vanila berpadu gurihnya wafel lumayan memanjakan lidah dan membuatku tak berhenti mengunyah. Mungkin aku harus menambah satu porsi lagi.
"Jadi siapa laki-laki itu?" Mendadak aku teringat sesuatu. "Kamu tidak akan merahasiakannya lagi, kan?" Aku sengaja melebarkan sepasang mata saat mencecar wanita itu. Kali ini ia harus jujur atau aku akan mengoleskan es krim ke wajahnya.
"Hei, kita sedang membahas tentang kamu, Be," tukasnya setengah ngotot. Nada suaranya naik satu tingkat.
"Memangnya apa yang perlu dibahas tentang aku? Bukankah kita sudah cukup membahas tentang aku tadi?" protesku tak terima. Persahabatan kami berisi tentang aku dan Jenny, bukan tentang aku saja.
"Baik, baik." Ia mengangkat kedua tangannya ke atas. Harusnya ia juga mengibarkan bendera putih. "Kamu akan bertemu dengannya sebentar lagi."
"Kamu mengundangnya juga?" Alisku berkerut. Aku bukan protes, hanya saja ini adalah reuni kami berdua. Kenapa mesti menambah satu kursi lagi di meja kami?
"Yes." Ia mengangguk dengan sangat yakin. "Kamu tidak keberatan berbagi meja dengannya, bukan?" Jenny mengerling. Sarat makna.
Kepalaku bergoyang seperti robot. Bagaimana aku bisa mengajukan keberatan untuk berbagi meja dengan 'calon masa depan' sahabatku sendiri?
"Apa dia masih lama?" Aku menyuap kembali. Isi piringku nyaris tandas, namun untuk menambah porsi lagi aku harus berpikir dua kali.
"Aku tidak tahu. Mungkin sebentar lagi."
Semoga ia laki-laki yang baik, batinku seraya kembali menikmati suapan-suapan terakhir.
"Itu dia datang!" Seruan Jenny membuatku spontan menoleh ke arah pintu masuk cafe. Dan betapa terkejutnya aku begitu mengetahui siapa gerangan yang datang. Benarkah laki-laki itu 'calon masa depan' Jenny?
"Kak Alfa?!" Aku memekik tanpa sadar. "Jadi kalian..." Aku menatap Jenny dengan serius. Wanita itu tampak cengar-cengir seperti orang idiot.
"Kapan datang, Be? Kenapa tidak menelepon?" sapa Kak Alfa sambil memelukku sekadarnya. Laki-laki itu langsung mengambil tempat duduk di kursi kosong dekat Jenny. Ekspresinya datar seolah tak pernah ada sesuatu antara ia dan Jenny.
"Sejak kapan kalian pacaran, hah? Kenapa tidak memberitahuku?" Aku menatap pasangan itu dengan geram. Ini tidak adil saat mereka memiliki hubungan spesial, tapi aku sama sekali tidak tahu apa-apa.
"Maaf, Be." Jenny memamerkan wajah polos, tapi bagiku itu terkesan palsu dan dibuat-buat. "Kami tidak bermaksud menyembunyikan hubungan kami. Hanya saja kami memang belum lama dekat."
"Lalu?"
"Sejak kamu pergi, kami sering berkomunikasi untuk membahas kamu. Kami sepakat untuk memberitahu Darren di mana keberadaanmu dan setelah itu kami dekat," tutur Jenny dengan nada kalem.
"Lalu kalian pacaran setelah itu?" desakku tak sabar.
"Ya."
"Kami tidak bermaksud merahasiakan hal ini dari kamu, Be. Kami hanya mencari waktu yang tepat," ujar Kak Alfa turut urun suara.
Aku paham.
"Lalu kapan kalian menikah?"
Keduanya saling pandang, berbagi tatapan dan tampang bodoh. Mereka pasangan yang sungguh menggelikan.
"Kalau begitu aku yang akan menentukan tanggal pernikahan kalian, mencari gedung, katering, memilih undangan..."
"Be!"
Aku tergelak melihat ekspresi keduanya. "Kenapa?"
"Kamu ini keterlaluan, Be," sungut Jenny. Wajahnya berubah semerah tomat segar di supermarket. Tapi, aku yakin seratus persen hatinya bersorak kegirangan. Harusnya sejak dulu aku menjodohkan mereka berdua.
"Kami bisa mengurus semuanya sendiri," tukas Kak Alfa seraya meraih tangan Jenny.
"Baiklah. Tapi, aku masih lapar..."
"Aku akan memesan lagi," ucap Jenny seraya bangun dari kursinya. Ia tampak terburu-buru. Bukankah ia bisa memanggil pelayan tanpa harus meninggalkan tempat duduknya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top