22
Rumah itu terlihat sedikit kotor dan berantakan. Berbeda jauh dengan saat aku dan Bibi Sati masih tinggal di dalamnya. Sepertinya Darren terlalu sibuk dan tidak punya waktu hanya untuk sekadar membersihkan lantainya semenjak aku pergi meninggalkan rumah itu. Atau ia menginap di rumah mama selama ini?
Justru Bibi Sati yang terlihat gembira ketika kami tiba di sana. Darren juga. Tapi, tidak denganku. Aku akui, aku memang bahagia, tetapi tidak sebahagia mereka. Bagaimana jika mama Darren tahu kalau aku sudah kembali dan mengingkari kesepakatan kami?
"Sebaiknya Bibi istirahat saja di kamar. Biar aku yang membersihkan lantainya," suruhku pada Bibi Sati saat Darren sibuk memindahkan koper kami ke kamar. Aku kasihan pada wanita renta itu. Penerbangan jauh pasti cukup menguras tenaganya. Setidaknya ia bisa beristirahat satu ada dua jam.
"Tapi, Non..."
"Tidak apa, Bi." Aku menyentuh pundaknya. "Sekali-sekali biar aku yang menggantikan tugas Bibi."
"Iya, Bi. Biar aku dan Beta yang membersihkan rumah. Bibi istirahat saja." Darren muncul dan mengutarakan inisiatifnya. Laki-laki itu tidak seperti Darren yang biasa kukenal. "Kenapa menatapku seperti itu, Be? Apa ada yang salah denganku?"
Teguran Darren menyadarkanku dari sekelumit lamunan tentangnya. Laki-laki itu berkacak pinggang dan mengerutkan kedua alisnya.
"Tidak juga." Aku mengedik cuek. "Sebaiknya kita mulai membersihkan lantainya agar kita bisa segera beristirahat," ucapku sengaja mengalihkan perhatiannya. Ditatap seperti itu membuatku geli.
"Baik. Aku akan mengambil kain pel dan kamu menyapu lantainya. Deal?"
"Okay."
Harusnya hari ini tercatat dalam buku sejarah hidupku. Untuk pertama kalinya Darren dan aku bersama-sama membersihkan rumah. Aku bertugas menyapu lantai dan Darren kebagian mengepel.
"Apa ada novel yang kisahnya mirip dengan kisah kita?" Darren memandangiku sementara tangannya memainkan ujung gagang pel. Bukankah kami harus berbagi pekerjaan dan bukan berbagi obrolan seperti ini?
"Tidak mirip seratus persen," jawabku dengan meliriknya sebentar. "Ada begitu banyak kisah pernikahan yang membahagiakan. Dan romantis."
"Oh, ya?" Sepasang mata laki-laki itu melebar dan kalimatku membuatnya benar-benar melupakan tugas yang seharusnya ia kerjakan. Setahuku selama ini Darren hanya membaca buku tentang ekonomi, bisnis, dan beberapa yang bertema politik.
"Cerita yang berakhir bahagia selalu lebih banyak diminati, kan?" Laki-laki itu mengangguk beberapa kali. "Tapi, cerita dengan akhir sedih bisa membuat orang tersentuh dan biasanya akan selalu diingat," imbuhku.
"Tapi, tidak ada orang yang ingin hidupnya berakhir menyedihkan."
"Tidak ada yang bisa memilih, Darren." Aku mencoba mengingatkan.
"Aku ingin akhir yang membahagiakan."
Aku juga, batinku. Tapi, apa bisa? Membayangkan wajah mama saja sudah membuatku ketakutan. Aku sungguh tidak siap angkat kaki dari rumah ini dan bercerai.
"Lalu kenapa tokoh dalam novel selalu berwajah cantik atau tampan?" Darren pasti sengaja ingin membuyarkan lamunanku dengan pertanyaan tak berbobotnya. Mungkin kebisuanku sangat mudah tertebak olehnya.
"Kamu ingin mengujiku?"
"Tidak, Be. Aku kan hanya bertanya." Darren memasang ekspresi polos tanpa dosa. Astaga, kami bertingkah sangat kekanakan hari ini. "Terus jawaban pertanyaanku apa?"
"Karena pembaca lebih suka dengan karakter tampan dan cantik. Apa kamu puas sekarang?"
"Lumayan," jawabnya acuh. Laki-laki itu mengerjakan kembali pekerjaannya. Nyatanya Darren cukup bisa diandalkan dalam urusan mengepel lantai. Harusnya kami bisa bekerja sama seperti ini sejak dulu dan Bibi Sati bisa bersantai. "Bacaan apa yang paling kamu sukai?"
"Aku suka cerita petualangan."
"Mungkin lain kali kita bisa membeli buku bersama-sama nanti." Ide bagus, batinku. Pergi berdua dengan Darren belum pernah kulakukan sepanjang perjalanan pernikahan kami. "Bagaimana kalau kita memesan pizza setelah ini?"
Mengerjakan pekerjaan rumah seperti ini memang cukup menguras energi. Meski tawaran Darren terdengar menggiurkan, tapi aku tak serta merta memberikan persetujuan.
"Bibi Sati tidak suka pizza. Kamu belum tahu itu?"
"Maaf. Tapi, kita tidak punya persediaan bahan makanan di kulkas."
"Sebaiknya kita memesan sesuatu yang bisa dimakan Bibi Sati," saranku.
"Baiklah."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top