20
"Apa kalian sudah berbaikan?"
Aku nyaris melompat dari atas tempat tidur saat mendengar suara Jenny di ujung telepon. Nada bicaranya santai tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Aku pasti akan memukulmu saat bertemu nanti," ancamku seraya turun dari atas tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Darren masih asyik terlelap dan aku tidak mau mengganggunya dengan obrolan garing bersama Jenny.
Wanita itu tertawa cukup keras. Semoga ia sudah berada di dalam kamarnya malam ini. Suasana tenang rumah sakit akan sangat terganggu oleh suara tawanya.
"Hei, aku melakukan itu untuk kalian berdua, Be. Dan Kak Alfa sangat mendukung ideku. Jadi, maaf kalau aku tidak memberitahumu sebelumnya."
"Jadi, itu ide konyolmu, hah?!" Dugaanku benar soal persekongkolan itu. Dan aku pasti akan membuat perhitungan dengan mereka berdua. "Harusnya aku tidak pernah mempercayai Kak Alfa," sesalku.
"Kami hanya ingin yang terbaik buat kamu, Be. Lagipula sepertinya Darren sangat mencintaimu. Apa salahnya kami membantu dia untuk memperjuangkan cintamu? Kamu juga mencintainya, kan?"
Aku sengaja tak menjawab pertanyaan wanita itu dan memilih mendengus kuat-kuat. Aku hanya bisa melampiaskan kekesalanku dengan cara itu.
"Ayolah, Be. Jangan kekanakan seperti itu." Jenny mengambil kesempatan lagi untuk mendominasi percakapan. Dengusanku pasti cukup keras tadi sehingga kekesalanku mudah terbaca olehnya. "Kamu berhak bahagia, Be. Dan kamu harus bahagia. See?"
Aku menyemburkan tawa. Lebih tepatnya meledek sahabatku itu habis-habisan.
Semua orang berhak dan layak mendapatkan kebahagiaan. Tanpa terkecuali. Tapi, hidup tidak selalu bercerita tentang kebahagiaan, bukan?
"Harusnya kamu mulai berpikir untuk mencari kebahagiaan sendiri ketimbang menceramahi orang lain tentang kebahagiaan." Tak terasa langkah kakiku sampai di teras depan. Aku mengambil tempat duduk di atas satu-satunya bangku kayu yang menghuni tempat itu.
"Aku sudah menemukan kebahagiaanku," bisik Jenny membuatku tercengang. Ia tak perlu berbisik seperti orang bodoh karena kami tidak sedang berbincang di tengah-tengah keramaian manusia.
"Apa? Siapa?" cecarku tak sabar. Tapi, hanya tawa sumbang dan memekikkan telinga yang kudengar. Wanita licik itu ingin mempermainkanku.
"Aku akan memberitahumu suatu saat nanti. Tunggu saja tanggal mainnya," ucap Jenny dengan tawa berderai. Ia sangat menyebalkan.
"Apa dia salah satu dokter muda dan tampan di rumah sakit?" Aku mencoba peruntunganku. Siapa tahu tebakanku benar.
"Bukan."
"Apa dia staf di rumah sakit?"Aku masih belum ingin menyerah. Aku tahu wilayah pergerakan Jenny hanya berkutat di dalam rumah sakit. Jadi, besar kemungkinan ia mengenal seseorang yang spesial di sana.
"Kamu salah lagi, Be. Sudahlah, jangan menebak lagi. Kalau saatnya sudah tiba, aku akan memberitahumu. Oh, ya, bagaimana hubunganmu dengan Darren? Kalian sudah berbaikan, bukan?" Jenny kembali pada topik awal. Aku memang belum menjawab pertanyaannya tadi.
"Ya, kurasa begitu." Aku membuat suaraku terdengar tak begitu yakin. Hubunganku dengan Darren bisa dikatakan mengalami perkembangan yang sangat baik, hanya saja masih ada persoalan yang mengganjal di antara kami. Dan aku masih saja enggan untuk terbuka pada Jenny. Aku benci membebani sahabatku sendiri dengan masalah pribadi.
"Mulai sekarang kamu harus bersikap baik padanya, Be."
"Kami akan kembali ke Jakarta lusa," beritahuku seketika membuat wanita itu menjerit kegirangan.
"Oh, ya? Benarkah? Aku senang kamu kembali, Be. Aku sudah berjanji akan mentraktirmu wafel saat kamu kembali, kamu masih ingat kan?"
Tanpa sadar kepalaku mengangguk. "Ya, tentu aku masih ingat. Aku akan memesan wafel termahal di sana," gurauku sembari terkekeh. Wanita itu berhasil membuatku mengenang tempat nongkrong favorit kami. Aku bahkan bisa mencium aroma wafel hangat dari tempat dudukku.
"As your wish." Aku mendengar wanita itu menguap. "Aku akan menunggumu. Oh ya, jangan lupa beritahu aku kalau kamu sudah sampai di Jakarta. Aku akan mengambil libur nanti."
"Pasti."
Aku mengembangkan senyum usai mengakhiri sambungan telepon. Salah satu hal yang membuatku merasa beruntung di dunia ini adalah memiliki Jenny. Ia adalah satu-satunya sahabat yang selalu mendukungku dalam keadaan apapun. Tapi, kenapa Jenny mesti merahasiakan laki-laki yang sudah berhasil mencuri hatinya? Apa ia pikir ini petak umpet? Aku pasti akan mencecarnya habis-habisan saat bertemu nanti.
Kuharap Jenny lebih beruntung dariku. Menemukan laki-laki yang tepat dan datang dari keluarga baik-baik. Ia pun berhak untuk bahagia. Sama seperti yang lain.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top