18

"Mama tidak bisa melakukan itu pada kami..."

Aku berhenti melangkah dan membiarkan tubuhku membeku di balik pintu. Bahkan hanya dengan mendengar Darren menyebutkan kata 'mama' saja membuat nyaliku menciut. Tanpa kuundang, rasa nyeri merebak di dalam dadaku.

"Aku sudah dewasa, Ma. Aku bisa menentukan jalan hidupku sendiri."

"...."

"Aku mencintai Beta, Ma."

Darren?

Bibirku nyaris menjerit manakala tangan Darren tiba-tiba mencekal lenganku yang menggantung lemas. Laki-laki itu sadar jika aku sedang berdiri di balik pintu. Bukan maksudku untuk menguping pembicaraannya dengan mama, tapi aku tak sengaja melakukannya. Sepulang dari yayasan aku hanya ingin berbaring sebentar di atas tempat tidur sekadar meredakan sakit kepala. Matahari terlalu terik siang ini dan kondisi fisikku sedang tidak bagus beberapa hari terakhir.

Aku berusaha untuk meronta, sekadar ingin menyingkirkan tubuhku dari hadapannya. Tapi, tak seperti harapanku, laki-laki itu malah mengeratkan cekalan tangannya. Tentu saja dengan satu tangan lain masih menggenggam ponsel.

"Sebaiknya mama berhenti mencampuri urusan rumah tangga kami. Aku tidak akan menceraikan Beta apapun yang terjadi," tandas Darren tegas dengan rahang mengeras.

Aku hanya bisa menatap sepasang mata Darren yang mengarah tajam padaku dengan tak percaya. Untuk orang sepertiku, kenapa ia harus mempertaruhkan hubungan darah antara ibu dan anak?

Bukan ini yang kuinginkan, Darren.

Perlahan aku merasakan cekalan tangan Darren melonggar lalu terlepas setelah kalimatnya usai. Perbincangan dengan mamanya telah berakhir.

"Kenapa kamu melakukan ini?" tanyaku pada seraut wajah yang rahangnya mengeras dan sepasang alisnya bertaut tajam di hadapanku. Sepercik amarah terlihat dari sorot matanya.

"Aku melakukan ini karena aku mencintaimu, kamu sudah mendengarnya sendiri, kan?"

"Tapi, bukan ini yang kuinginkan, Darren."

"Lalu apa?" tanya laki-laki setengah menghardik. Percakapan dengan mamanya pasti sudah cukup menguras emosi Darren. Andai saja aku bisa mendengar suara mamanya tadi.

"Aku tidak mau kamu bertengkar dengan mamamu hanya karena orang sepertiku," tegasku.

"Orang seperti apa yang kamu maksud?"

Aku menatap sepasang mata itu tanpa berkedip. Tak peduli akan percikan amarah yang masih terlihat di sana.

"Haruskah aku menjelaskan siapa diriku?" tanyaku pelan.

"Be..."

"Mamamu tidak menginginkanku, Darren." Kalimat ini begitu sulit untuk diucapkan, namun Darren harus diingatkan sekali lagi.

"Tapi aku mencintaimu, Be."

"Aku tahu." Aku menukas dengan cepat. Bahkan mama Darren adalah salah satu penggagas perjodohan kami.

"Lalu?" Ia balas menimpal. "Apa kita akan menyerah begitu saja?"

Aku menelan ludah. Perbincangan seperti ini hanya akan berujung pada perdebatan dan kami sudah pernah melakukannya.

"Sebaiknya kamu pulang," saranku. Bukankah itu yang diinginkan mama Darren?

"Tidak bisa tanpamu, Be."

"Tapi dia adalah orang yang melahirkanmu..."

"Tapi kamu adalah pasanganku, Be." Laki-laki itu menukas cepat.

"Kumohon jangan membuatnya terluka, Darren," pintaku meski segenap hatiku hancur. Seluruh ingatanku tiba-tiba tertuju pada mama. Aku tidak ingin ada penyesalan sama sekali. "Dia hanya ingin kamu bersama orang yang tepat dan sebelum ini kita tidak saling mencintai, kan? Pasti tidak sulit untuk saling melupakan," tandasku.

"Apa?!" Laki-laki itu berteriak dan sepasang matanya melebar. Manik matanya tampak membulat seolah ingin melompat keluar. "Kamu pikir semudah itu saling melupakan?"

"Kenapa tidak?" sahutku dengan cepat. Namun, sejurus kemudian aku membuang tatapan ke sudut lain. Sungguh, percikan amarah di dalam matanya sangat menakutkan. "Itu akan lebih baik untuk kita. Lagipula dari awal kita sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini, kan?"

"Oh, Tuhan..." Laki-laki itu mendesis pelan usai mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku. Mungkin aku terlalu kejam, tapi aku lebih memilih untuk berpisah daripada berjuang yang tingkat keberhasilannya mustahil. Aku memilih untuk terluka. "Aku tidak percaya kamu bisa mengatakan itu, Be."

"Di luar sana masih banyak wanita yang memiliki latar belakang keluarga yang lebih baik. Kamu bisa memilih salah satu dari mereka..."

"Beta!" Teriakan lantang itu menggema di segenap penjuru kamar. Laki-laki itu mengguncang kedua pundakku cukup keras. "Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan, hah?!"

Tentu saja, jawabku dalam hati. Tapi, bibirku sudah terlanjur terkatup rapat dan aku hanya bisa tertunduk menyembunyikan wajahku dari tatapan penuh amarah Darren. Dan usahaku untuk membendung air mata sia-sia sudah.

"Benar kamu menginginkan itu?" desak Darren dengan kedua tangan masih mencekal bahuku. Aku sedikit terguncang, tapi aku tak sanggup untuk mengangkat dagu. "Benar kamu ingin aku memilih satu di antara ribuan wanita di luar sana yang mempunyai latar belakang keluarga yang baik?"

Aku bergeming, sekalipun laki-laki itu kembali mengguncang kedua bahuku. Sementara air mata kian berjatuhan dan membuat genangan di pipiku. Jawaban apa yang mesti kukatakan pada Darren, sedangkan hati dan bibirku bertentangan?

"Baik. Jika itu yang kamu inginkan," Laki-laki itu menghempaskan kedua bahuku dengan kasar. "Aku akan pergi mencari wanita seperti yang kamu katakan."

Darren?

Di saat aku tersadar dari kebodohanku, laki-laki itu sudah membanting pintu dengan keras dan tanganku hanya mengambang di udara, tak sempat mencegahnya.

Laki-laki itu pergi dengan membawa segenap amarah yang tumpah ruah di dalam dadanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top