17

"Aku tahu hari ini akan tiba," toleh tante Lisa. Senyum turut menghias wajahnya ketika kalimat itu meluncur. "Apa kamu sudah lega sekarang?"

Aku mengangguk pelan. Kupikir begitu, batinku. Setidaknya aku sudah mengambil keputusan paling bijak dalam hidup. Aku merenungkan kembali saran dari orang-orang di sekitarku, menimbang antara baik dan buruk, dan juga memaafkan egoku sendiri. Meski agak sulit, namun aku juga berusaha memahami kasih sayang mama yang tak pernah tersampaikan padaku.

Aku mungkin tidak tahu apa yang menghuni benak mama saat ia terpikirkan untuk membangun tempat ini, namun seburuk apapun penilaianku terhadapnya, aku yakin jauh di dalam hatinya masih ada secuil kebaikan.

"Apa kamu sudah memaafkan mamamu?"

Aku terenyak dan seketika mengalihkan tatapan dari anak-anak yang sedang berbaris membentuk lingkaran besar. Sementara wajah tante Lisa masih lurus menghadap ke arah halaman.

"Aku merindukan mama," lirihku. Lebih dari itu, aku juga merindukan masa kecil yang sudah terlewatkan dengan sia-sia. Bahkan aku sempat berandai-andai ingin mengulang kembali waktu.

"Aku juga," imbuh tante Lisa.

"Apa tante tahu alasan kenapa mama memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?" tanyaku tiba-tiba. Sekadar mencari informasi untuk meyakinkan diri sendiri jika mama tidak sepenuhnya bersalah atas apa yang menimpanya. Ia pasti memiliki alasan yang kuat sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Tante Lisa menatapku lekat-lekat. Bola matanya bergulir perlahan ketika tatapannya jatuh ke wajahku. Wanita itu terdiam sesaat seperti sedang menimbang sesuatu.

"Mamamu hanyalah wanita biasa, Be. Ada saatnya dia terlihat kuat dan tegar. Tapi, di balik semua itu dia memiliki kelemahan."

Dan aku sama sekali tidak pernah melihat kelemahan itu, batinku sembari menerawang. Anak-anak yang tadinya berbaris dan membentuk sebuah lingkaran besar itu kini telah membubarkan diri. Satu per satu mulai berjalan kembali ke dalam kelas.

"Apa mama pernah mengatakan sesuatu?"

"Ya," angguk wanita itu.

"Apa itu menyangkut tentang papa?" Aku sedikit memutar posisi duduk agar bisa menatap wajah tante Lisa dengan jelas.

"Be..."

"Tante, aku benar-benar ingin tahu. Kumohon..." Aku meraih lengan tante Lisa dan meratap. Mungkin aku bisa merubah penilaianku terhadap mama usai mendengar penuturan tante Lisa.

"Ada kalanya cinta memiliki masa kedaluwarsa," gumam wanita itu perlahan. Dan aku langsung bisa mengartikan kalimatnya.

"Maksud tante, papa berhenti mencintai mama, begitukah?" tanyaku dengan suara terbata. Ketakutan menyergap perasaanku. Bagaimana jika jawaban atas pertanyaanku adalah benar?

"Jangan pernah membenci papamu, Be." Tante Lisa meraih kedua tanganku yang sudah terkepal di atas pangkuan. "Mungkin saja dia punya alasan tersendiri. Atau bisa jadi itu hanya soal kesalahpahaman."

Selama ini mama selalu sibuk di luar sana dan mengabaikan keluarganya. Kupikir hanya aku saja yang merasa kesepian dan kurang mendapat perhatian, namun faktanya papa juga merasakan hal yang sama. Apa mungkin itu yang menyebabkan mama sangat merasa bersalah sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?

"Terkadang hidup berjalan tidak seperti yang kita harapkan, Tante," ujarku mengulangi kalimat Darren. Setelah merenung sejenak, aku menjadi sadar jika hidup tidak selalu bercerita tentang kebahagiaan dan cinta. Lagi-lagi aku mengutip kata-kata Darren. Lagipula aku sudah lelah membahas kesalahan-kesalahan mama. Biarlah mama pergi membawa rahasia hati yang tak pernah kami ketahui.

"Apa kamu menyesal dengan semua ini?"

Tentu saja, kalau aku memang boleh berkata jujur. Tapi, apa penyesalan ada gunanya?

"Tidak ada satupun orang yang menginginkan keluarganya hancur berantakan," ujarku dengan susah payah menguatkan suara. Rasanya tenggorokanku kering sama sekali, sementara kelenjar air mataku penuh.

Jangan sekarang, batinku mencegah. Aku tidak ingin menumpahkan kembali air mata setelah terkuras habis kemarin di dada Darren. Aku benci terlihat lemah di hadapan orang lain. Cukup Darren saja yang tahu betapa lemahnya dan egoisnya diriku.

"Tidak ada hidup yang sempurna, Be." Kalimat tante Lisa membuatku teringat pada Leo. "Dulu aku juga seperti mamamu, selalu sibuk dan sering mengabaikan keluarga. Tapi, seiring berjalannya waktu dan Leo beranjak dewasa, aku menjadi sadar telah melewatkan begitu banyak hal. Aku tidak pernah benar-benar mendampingi Leo ketika dia masih dalam masa pertumbuhan. Rasanya waktu begitu cepat berjalan dan dia sudah tumbuh menjadi sebesar sekarang."

"Tapi Leo lebih beruntung daripada aku," timpalku sambil mengulum senyum getir. Leo pernah mengungkit kisah ini beberapa waktu yang lalu.

"Ini bukan soal beruntung atau tidak beruntung, Be."

"Tapi aku lebih suka menyebutkannya begitu."

Tante Lisa mengurai senyum tipis dan aku ikut tertular olehnya.

"Waktu selalu bisa merubah seseorang," gumam tante Lisa usai mengembuskan napas panjang. Seolah baru saja melepaskan beban berat dari dalam dadanya. Dan ia benar soal ucapannya. "Tapi aku lebih suka dengan perubahan yang baik."

Apa aku juga bisa berubah lebih baik dari yang sekarang?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top