16
"Ada apa, Be?"
Awalnya aku hanya iseng mencoba menghubungi nomor telepon Kak Alfa, tapi siapa sangka panggilanku malah tersambung. Waktu menunjuk angka tujuh pagi di Makassar. Aku baru membuka mata beberapa menit yang lalu dan mungkin saja aku sudah mengganggu tidur Kak Alfa.
"Aku ingin bicara sesuatu," ujarku seraya bangun dari tempat tidur dan melangkah ke dekat jendela.
"Maaf."
"Ini bukan tentang Darren." Aku menyahut lebih dulu sebelum ia mengemukakan kesalahannya sudah memberitahukan keberadaanku pada Darren. Untuk sementara aku akan menunda masalah itu. "Aku ingin membahas soal mama."
"Mama?" Aku mendengar nada heran dari suara Kak Alfa. "Ada apa dengan mama?"
"Apa Kak Alfa tahu soal yayasan yang dibangun mama di Makassar?"
"Apa tante Lisa yang memberitahumu?"
"Apa Kakak juga tahu soal yayasan itu?" Aku mulai mencurigai sesuatu sekarang. Pertanyaan Kak Alfa seolah ingin membuatku meyakini dugaan yang baru saja melintas di kepalaku.
Laki-laki itu menghela napas cukup dalam, sementara aku harap-harap cemas menunggu penjelasannya.
"Mama memang membangun yayasan di Makassar..."
Dugaanku sama sekali tidak meleset. Kak Alfa tahu menahu soal yayasan yang dibangun mama, tapi ia tidak memberitahuku.
"Kenapa kalian tidak memberitahuku?" selaku. Padahal yayasan itu menggunakan namaku, tapi kenapa aku malah tidak diberitahu. Apa ini adil untukku?
"Sebenarnya mama sudah lama ingin memberitahumu..."
"Tapi?" Aku kembali menyela. Pasti ada alasan kenapa mama tidak memberitahuku, kan?
"Mungkin mama tidak punya keberanian untuk melakukannya."
"Maksudnya??"
"Be." Aku mendengar desahan berat Kak Alfa. "Karena mama berpikir kamu selalu berusaha menjauhinya. Kamu seperti menjaga jarak dengan mama, Be."
Oh.
Aku menelan ludah dan terpaksa menyunggingkan senyum pahit.
"Bukan aku yang berusaha menjauh, Kak. Mama selalu sibuk di luar sana dan dia tidak pernah punya waktu untuk kita berdua. Apa Kakak ingat semua itu?" Sesungguhnya aku enggan untuk mengungkit kembali masa-masa itu, tapi ucapan Kak Alfa memaksaku untuk melakukannya. Mungkin ia sudah lupa bagaimana aku menghabiskan masa kecil dengan Bibi Sati.
"Mungkin itu salah satu kekurangan mama. Tapi, dia sudah sadar dan ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Dia ingin memperbaiki hubungannya dengan kita, Be. Dan aku sudah memberinya kesempatan untuk itu."
Aku menyimak penuturan Kak Alfa tanpa keinginan untuk menyela. Bibirku benar-benar tertutup rapat.
"Mama ingin lebih dekat denganmu, Be. Dan dia ingin menunjukkan kasih sayangnya padamu dengan membangun yayasan sekolah itu. Mungkin itu adalah cara baginya untuk menebus masa-masa yang sudah dilewatkannya saat kita masih kecil. Tapi, mungkin mama ingin mencari waktu yang tepat untuk memberitahumu soal yayasan itu."
Aku masih bergeming. Tanpa kata. Hanya saja pandangan mataku tiba-tiba kabur dan wajahku menghangat. Rasa nyeri menyerang dadaku seketika. Aku tidak pernah merasa sesakit ini sebelumnya. Bahkan saat mama meninggal waktu itu, aku tak merasa sesedih sekarang. Kenapa?
"Be? Kamu masih di sana, kan?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Kak Alfa, aku malah memutus sambungan telepon tanpa kata. Sungguh, aku terlalu takut untuk mendengar penuturan laki-laki itu kembali. Tentang mama dan segenap penyesalannya. Juga keinginannya untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah ia lakukan saat aku masih kecil.
Tiba-tiba aku sangat merindukan mama. Bisakah waktu diputar kembali? Aku ingin bertemu dengan mama dan mendengar penyesalannya secara langsung. Aku ingin mengulang waktu yang pernah hilang ketika aku masih kanak-kanak. Bisakah?
Namun, sebuah tepukan di bahuku menyadarkanku jika mama sudah pergi dan pengandaian tak ubahnya seperti kebohongan. Mama tidak akan pernah kembali. Selamanya.
"Kamu menangis?"
Sekali lagi Darren menyadarkan jika pipiku sudah basah oleh genangan air mata yang jatuh tanpa kuundang. Aku benar-benar benci situasi di mana aku terlihat rapuh dan lemah.
"Aku..."
Tangan Darren telah lebih dulu mengusap pipiku sebelum aku berhasil membereskan kekacauan di wajah pagiku.
"Ada apa?" tanya laki-laki itu dengan wajah penuh selidik. Seingatku, saat aku meninggalkan tempat tidur, Darren masih terbaring di sana. Atau aku salah mengingat? Yang jelas, aroma wangi sabun yang menguar dari tubuh Darren menjelaskan jika ia sudah lebih dulu membersihkan tubuh. Rambutnya masih setengah basah.
"Aku baik-baik saja," jawabku seraya memutar bola mata. Aku berusaha mengukir senyum, namun gagal total.
"Be. Aku bukan orang lain buatmu. Aku suamimu, satu-satunya tempatmu berbagi suka dan duka. Kamu mengerti?" Tangan Darren menyentuh daguku, sebuah isyarat agar aku menatap wajahnya.
Senang rasanya mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibir laki-laki itu. Aku merasa dicintai dan dihargai, meski aku terlihat lemah di matanya.
"Aku hanya merasa sedih," ucapku lirih.
"Karena?"
"Mama." Aku membiarkan tangan Darren menyibakkan juntaian rambut yang jatuh menutupi sebagian kening dan pipiku. "Kupikir aku sudah begitu egois pada mama dan membiarkan dia berusaha memperbaiki hubungan kami sendirian. Harusnya aku bisa lebih peka saat dia berusaha mendekatiku, tapi aku malah menjauh saat itu. Kalau saja kami bisa memperbaiki hubungan kami, mungkin mama masih ada sampai sekarang. Aku sudah berbuat jahat padanya, kan?"
"Dengar," Darren mencekal bahuku yang nyaris goyah. "aku pernah mengatakan padamu kalau hidup terkadang tidak berjalan seperti yang kita harapkan, bukan?"
Aku masih mengingat kalimat itu. Sampai kapanpun.
"Hidup tidak selalu bercerita tentang kebahagiaan, Be. Selalu ada air mata dan penyesalan dalam kehidupan," tandas Darren kemudian. "Kita memang tidak bisa mengulang atau memperbaiki masa lalu, tapi kita masih bisa membangun masa depan yang lebih baik. Menyesali apa yang sudah terjadi hanya akan membuatmu terpuruk, kamu tahu?"
"Aku tahu," sahutku seraya berusaha dengan susah payah membendung air mata yang mendesak ingin keluar dan menciptakan genangan baru di atas pipiku. Tapi, usahaku tak berhasil. Faktanya kedua pipiku kembali basah.
Aku terisak di dalam dekapan Darren sedetik kemudian. Laki-laki itu bahkan dengan sukarela membiarkan dadanya basah oleh air mataku. Meski aku benci terlihat lemah dan rapuh di depan Darren, tapi aku senang saat ia menopang tubuhku seperti sekarang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top