14

"Kamu sudah datang?" Tante Lisa menyambut kedatanganku dengan ramah. Wanita itu juga memelukku dengan hangat. Senyum semringah turut menghias bibirnya ketika menyilakanku untuk duduk di atas sofa berwarna cokelat tua yang berada di dalam ruang pribadinya.

"Tante kapan datang?" tanyaku berbasa basi usai meletakkan pantat di atas sofa.

"Semalam. Maaf, aku tiba-tiba pergi waktu itu dan tidak pamit padamu," ujarnya. Leo pasti sudah memberitahu tante Lisa kalau aku datang beberapa kali untuk mencarinya. Wanita itu memilih duduk tak jauh dari tubuhku. "Kupikir kamu sudah kembali ke Jakarta."

"Oh." Aku menelan ludah. Aku memang tidak membalas pesan singkat tante Lisa tadi pagi karena aku berencana segera pergi menemuinya sejam kemudian. Tetapi, rencanaku gagal karena Darren. Laki-laki itu berhasil menahanku untuk tetap tinggal di dalam kamar selama beberapa waktu. Dua jam atau mungkin lebih. Entahlah, aku tidak terlalu yakin. "Aku belum berencana untuk kembali," ucapku kemudian.

"Kamu tidak berpikir akan mengembalikan berkas-berkas itu, kan?" Tante Lisa langsung membahas pokok permasalahan.
Aku memang tidak membawa berkas-berkas itu sekarang, tapi aku masih belum memutuskan.

"Aku masih belum tahu, Tante."

"Be." Tante Lisa menyentuh punggung tanganku. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan tentang mamamu."

"Jika tante tahu, kenapa masih memaksa?" Aku menatap wanita itu tajam. Di dalam dirinya aku menemukan seberkas bayangan mama meski itu samar. "Tante juga tidak sungguh-sungguh tahu apa yang aku rasakan saat ini, kan?"

Tatapan tante Lisa menyiratkan keraguan yang mendalam padaku.

"Mamamu sangat menyayangi kamu, Be. Apa kamu masih meragukan kasih sayangnya? Jika bukan kamu yang memegang yayasan ini, lalu siapa lagi? Apa kamu mau menjualnya? Atau kamu mau yayasan ini bermasalah lalu ditutup begitu saja? Lantas bagaimana dengan anak-anak itu? Memang mereka masih bisa sekolah di tempat lain, tapi apa hati nuranimu tidak tersentuh melihat anak-anak itu? Mereka sudah nyaman bersekolah di sini, Be."

"Sebelum aku datang, tempat ini baik-baik saja di tangan tante, kan?"

"Kamu benar. Aku memang dipercaya mamamu untuk mengelola tempat ini. Tapi, aku tidak bisa terus berada di sini, Be."

"Kenapa? Apa tante sakit?" Mungkin pikiranku terlalu jauh tentang wanita itu. Namun, tante Lisa segera membantah.

"Aku baik-baik saja."

Rasanya lega mendengar pengakuan wanita itu. Kulihat ia tampak sehat dan segar bugar.

"Lalu?" pancingku. Entah alasan apalagi yang akan diutarakannya di depanku.

"Ada yang lebih berhak atas yayasan ini, Be. Dan orang itu adalah kamu."

Pernyataan wanita itu seketika mengundang senyum pahit di bibirku. Jadi, alasannya sesederhana itu? Atau alasan itu hanya dibuat-buat?

"Jika itu alasannya, aku bisa memberikan yayasan ini pada tante. Toh, sejak awal tempat ini dibangun tanpa sepengetahuanku. Aku juga tidak tertarik pada yayasan ini," ujarku memamerkan ketidakpedulianku.

"Astaga, Beta." Jeritan wanita itu tertahan. Sedang kepalanya menggeleng sejurus kemudian, menunjukkan keprihatinannya pada ucapanku yang mungkin memang keterlaluan. Aku sudah kehilangan akal untuk membujuk tante Lisa agar bersedia memegang kendali yayasan. "Mamamu pasti tidak suka mendengar ucapanmu," tandasnya kecewa.

"Aku malah lebih kecewa dengan keputusannya mengakhiri hidup." Aku sadar sudah keterlaluan dan pengendalian diriku sudah di ambang batas.

"Mungkin itu adalah kesalahan terbesar mamamu, tapi aku yakin dia mempunyai alasan kuat untuk melakukannya."

"Sekuat apapun alasannya, apa itu bisa dibenarkan?"

Tante Lisa memberi jeda sejenak untuk perdebatan kami dengan menghela napas panjang.

"Ternyata mamamu benar tentang kamu," tandasnya memaksaku mengerutkan kening. Aku tak mengerti apa maksud wanita itu. "Kamu sangat keras kepala, Beta."

Aku terenyak mendengar pengakuan tante Lisa. Jadi, selama ini mama banyak bercerita tentangku padanya?

"Dia mengatakan padaku kalau selama ini kamu seperti membangun benteng yang menjadi pemisah di antara kalian berdua. Kamu selalu menjaga jarak dan menjauh saat mamamu berusaha mendekat," ujarnya. "Mungkin dia sudah banyak membuat kesalahan saat kamu masih kecil, tapi mamamu sudah berusaha memperbaiki sikapnya padamu. Apa kamu pernah menyadarinya?"

"Jadi mama sudah mengeluhkan sikapku pada tante?"

"Bukan mengeluh, Be. Mamamu hanya ...."

"Itu sama saja, Tante. Dan tante juga ingin membelanya sekarang," ujarku kesal.

"Dia sudah meninggal, Be. Apa kamu akan terus membencinya seperti ini?" Aku melihat seberkas amarah terpancar jelas di sepasang mata tante Lisa yang sedang menatapku tajam.

"Aku tidak membencinya, Tante," jawabku cepat. Aku hanya kecewa, batinku. Bukankah benci dan kecewa berbeda makna?

"Sudahlah, Be." Tangan tante Lisa hinggap di atas pundakku. "Hapus semua egomu itu dan maafkan semua kesalahan mamamu. Dengan begitu kamu bisa menjalani hidup dengan baik. Mamamu sudah memilih jalannya sendiri dan kamu harus memilih jalan yang lebih baik. Masa depanmu masih panjang dan masih banyak yang bisa kamu raih. Kamu bisa melakukan banyak hal untuk kebahagiaanmu sendiri."

Tante Lisa menatapku lekat-lekat. Sorot matanya sarat dengan permohonan dan harapan. Tetapi, jauh di dalam hatiku masih berkecamuk. Sementara bibirku hanya bisa terkatup rapat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top