13
"Kamu akan pergi?"
Aku berbalik setelah berhasil mengeluarkan sehelai blazer dari dalam lemari pakaian dan menutup pintunya.
"Ya. Aku harus bertemu tante Lisa," jawabku seraya mengenakan benda itu. Dulu aku biasa memakainya saat masih bekerja di penerbitan. Tak bisa kupungkiri, terkadang aku rindu dengan setumpuk naskah di atas meja atau menatap layar komputer seharian penuh. Aku juga belum lupa dengan segudang kesibukan dan rutinitas sebagai editor.
"Siapa tante Lisa?"
Aku menghela napas cukup dalam. Tubuh Darren berada tepat di hadapanku dan hanya berjarak tiga jengkal saja. Kurasa itu sudah cukup mengintimidasi dan membuat jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Atmosfer di sekitar hidungku memang beraroma wangi sabun mandi yang berasal dari tubuh Darren, namun justru membuatku kesulitan bernapas. Dan aku tak bisa mengalihkan punggungku dari pintu lemari pakaian yang tertutup rapat.
"Dia teman mama," jawabku seraya mengalihkan tatapan dari laki-laki itu. Sejam yang lalu tante Lisa mengirim pesan singkat ke ponselku dan sesaat setelah membacanya aku bergegas turun dari atas tempat tidur untuk mandi.
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu pulang hari ini. Atau besok. Aku ingin kita bicara baik-baik dengan mama ..."
"Darren." Aku memotong secepat yang aku bisa. "Kita sudah membahas itu kemarin, kan?"
"Tapi, kita belum mencapai kata sepakat, Be." Laki-laki itu mencoba meraih genggaman tanganku. "Kamu mau mencobanya, kan?" pintanya dengan memohon.
"Tanpa mencobanya pun aku sudah tahu jawabannya." Aku melepaskan genggaman tangan Darren dengan paksa. Dengan melihat reaksiku, seharusnya ia tahu bahwa aku tidak mau bertemu dengan mama.
"Be, kumohon."
Aku bergeming menatapnya. Darren sedang memohon, batinku. Ia bersungguh-sungguh saat melakukan itu, tapi entah kenapa terlalu sulit untuk meluluskan permintaannya.
Aku tergeragap ketika tangan Darren menyentuh kedua pipiku dan seketika menyadarkan lamunanku tentang dirinya. Embusan napasnya terasa hangat dan jatuh di atas wajahku yang mulai memanas. Mungkin aku akan jatuh pingsan karena kekurangan oksigen setelah ini. Aroma tubuh Darren serupa obat bius yang menyusup ke seluruh aliran darahku.
"Tatap aku," ucapnya.
Kenapa aku harus menatapnya kalau itu hanya akan membuatku terlihat lemah dan rapuh? Aku selalu berdiri di atas ego dan jika situasinya seperti ini, aku bukan seperti Beta yang kupikir berjiwa kuat dan mandiri. Beta yang kutahu adalah seseorang yang memiliki pemikiran dan karakter kuat.
"Kamu mencintaiku, kan?" Laki-laki itu bersuara kembali di saat aku sibuk berpikir tentang diriku sendiri. Membandingkan aku yang dulu dan aku yang saat ini berdiri di hadapan Darren.
"Kenapa bertanya seperti itu?" Sungguh, aku tidak suka dengan pertanyaannya. Juga degup jantungku yang ritmenya berantakan seperti yang kurasakan detik ini. Rasanya tubuhku bereaksi berlebihan tiap kali berdekatan dengan Darren.
"Karena kamu tidak pernah mengatakan perasaanmu, Be."
"Apa itu penting?" Aku menepis tangan Darren dan berusaha pergi menjauh darinya. Namun, tangan kokoh laki-laki itu tiba-tiba menarik pinggangku dengan paksa.
"Ya," jawabnya pasti.
Aku menahan napas ketika tangan Darren menahan pinggangku sehingga tubuh kami nyaris bersentuhan. Sepasang mata kami beradu pandang, seolah ingin berdebat dan berbagi tentang banyak hal. Dalam beberapa hitungan kami larut dalam kebisuan dan hanya suara riuh detak jantungnya yang bisa ditangkap telingaku. Sesuatu sedang bergemuruh di balik kemeja putih itu. Di dalam dadanya, sehebat apa cinta yang tersembunyi di sana?
"Maaf jika aku tidak pernah punya perasaan yang sama denganmu," tandasku dengan suara pelan.
"Kamu ingin mengingkari perasaanmu sendiri?"
"Apa?" Suaraku tersendat di tenggorokan.
"Hanya kamu yang menatapku dengan cara seperti itu, Be," tandasnya penuh percaya diri. Bahkan ia seperti tidak ingin memberiku ruang untuk bernapas. Bagaimana aku bisa menghirup oksigen jika ia masih belum melepaskan pinggangku dan menjauhkan tubuhnya? Dan aroma sabun yang menguar dari tubuhnya benar-benar menghipnotis!
"Lepaskan aku, Darren." Aku berusaha melepaskan tubuhku, namun tangan Darren malah semakin erat melingkar di pinggangku.
"Apa aku salah mengartikan tatapan itu?" Sepasang mata itu bahkan tak berkedip saat menatap wajahku. "Kamu tahu, aku tidak pernah menyukai seseorang seperti aku menyukaimu, Be. Aku menyukai kamu dan keras kepalamu itu."
"Kamu akan menyesali kata-katamu, Darren."
Laki-laki itu menggeleng. "Aku akan menyesal kalau aku melepasmu," ujarnya membuatku ragu akan kewarasannya.
Laki-laki itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya dan menjatuhkan sebuah kecupan hangat di atas bibirku tanpa permisi. Bahkan ia tak memberiku kesempatan untuk bicara atau sekadar mengingatkannya tentang kasus papa, kematian mama yang tidak wajar, dan penyakit tante Sarah. Sekalipun ia tidak peduli dengan semua itu, tapi aku peduli. Aku mencemaskan Darren dan nama baiknya. Aku tidak mau menjadi malapetaka dalam hidupnya.
Tentang perasaanku, aku yakin Darren sudah menarik kesimpulan jauh-jauh hari. Ia hanya ingin mengujiku. Itu saja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top