10

"Apa kamu menyesal tidak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup saat masih kecil?" Aku membuka percakapan ketika mobil yang dikemudikan Leo baru meluncur beberapa meter meninggalkan bekas sekolah kami. Mungkin kami bisa bertukar pikiran karena aku dan Leo memiliki persamaan saat masih kecil.

"Mungkin," sahutnya pendek. Kepalanya masih tegak menghadap ke depan.

"Kenapa jawabannya mungkin?" Aku menatap laki-laki itu dengan sepasang mata memicing.

"Tidak ada orang yang suka menyesal, Beta." Ia menoleh ke arahku sekilas. Dan batinku membenarkan pendapatnya.

"Jadi jawabannya adalah iya?" tanyaku ragu. Aku merasa sangat bodoh.

"Aku tidak suka mengakuinya karena hubunganku dengan mama semakin membaik saat aku dewasa."

"Benarkah?" Aku menggumam lirih. Tapi, hubunganku dengan mama sama sekali tidak berangsur membaik bahkan sampai akhir hidupnya. Apa karena itu ia lebih memilih jalannya sendiri ketimbang berbagi denganku? Karena kami memiliki hubungan yang cukup buruk.

"Aku semakin mengerti tiap manusia mempunyai rutinitas yang berbeda. Tidak semua ibu rumah tangga harus selalu tinggal di rumah dan mengurus keluarga. Ada sebagian ibu rumah tangga yang mempunyai kewajiban di luar rumah, selain untuk mencari nafkah, mereka juga mengabdikan diri untuk masyarakat. Kupikir sesederhana itu," tandas Leo membuatku tercenung. "Jadi, tinggal bagaimana kita menyikapinya saja. Kita tidak bisa menuntut terlalu banyak karena keterbatasan mereka."

Jadi, mama juga seperti itu? Mama termasuk dalam sebagian ibu rumah tangga yang memiliki kewajiban di luar rumah selain merawat kami, anak-anaknya. Dan aku tak bisa menuntutnya sesuka hati.

"Beta? Hei."

Aku tersentak mendengar seruan yang berasal dari sebelah tempat dudukku.

"Kamu melamun?" tegur Leo sembari menatapku curiga. "Apa kamu sudah menemukan ingatan yang lain?"

"Tidak. Aku hanya teringat pada mama."

"Oh."

Leo pasti sudah mendengar berita tentang mama.

"Aku tidak sempat memperbaiki hubungan kami. Maksudku aku dan mama," tandasku pelan dan sarat penyesalan. Kalimatku mengundang tatapan aneh dari kedua mata Leo. Namun, bibir laki-laki itu tampak tertutup rapat. "Mungkin aku terlalu banyak menuntut saat itu dan menilai mama dari semua sudut negatif. Bahkan sampai dewasa aku masih berpikiran seperti itu. Aku sangat egois, bukan?" Aku tersenyum getir menertawakan betapa buruknya karakter yang melekat dalam diriku.

"Tapi, kamu masih bisa berubah, Beta."

"Meskipun aku bisa berubah, mama tidak akan pernah kembali." Mungkin Leo lupa jika seseorang yang sudah meninggal tidak akan pernah hidup lagi sekalipun kita sudah berubah jadi lebih baik dari sebelumnya.

"Setidaknya kamu bisa menatap hidup dari sudut pandang yang berbeda."

Seperti itukah? Mungkin Leo bisa menatap hidup dari sudut pandang yang lain, tapi apa aku bisa melakukannya?

"Kamu harus memaafkan diri sendiri, Beta."

"Atas keegoisanku?"

"Tentu. Lalu kamu bisa merubahnya."

Apa hanya sesederhana itu? Apa Leo juga melakukan hal yang sama?

Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah dan memaksa kami mengakhiri perbincangan.

"Mau mampir sebentar?" tawarku sebelum turun. Kali ini aku serius ingin menjamu Leo dengan secangkir kopi yang kami punya. Juga sedikit cemilan yang tersimpan di kulkas.

"Tidak, terimakasih. Aku masih ada pekerjaan hari ini," tolak laki-laki itu halus.

"Baiklah."

"See ya, Beta!"

Aku melepas kepergian laki-laki itu dengan melambaikan tangan. Kupikir kami sudah berteman sekarang dan bagiku Leo bukan orang asing lagi.

Namun, aku tak bergegas masuk ke dalam rumah meski mobil yang dikendarai Leo telah melesat pergi dan meninggalkan gumpalan asap putih yang kemudian berbaur dengan udara. Lalu terbang menghilang bersama embusan angin.

Laki-laki itu telah pergi, tapi kalimat-kalimatnya seolah merasuki pikiranku dan membuat kekacauan di sana. Jika dia berpikir sesederhana itu dalam memandang hidup dan akhirnya bisa menerima kenyataan dengan lapang dada, bagaimana denganku? Seandainya aku bisa melakukan hal yang sama mungkin aku bisa berdamai dengan mama. Memaklumi segala keterbatasannya dan berhenti menuntut sesuatu yang tak bisa ia lakukan untukku.

Mungkin, yang dapat kulakukan saat ini adalah memaafkan segenap keegoisanku seperti ucapan Leo. Meski tak bisa merubah keadaan, setidaknya aku bisa memandang hidup dengan cara berbeda.

"Beta!"

Aku terlanjur membalik tubuh ketika teriakan itu bergema di belakang punggungku. Suara yang tak asing dan memaksaku kembali membalikkan badan untuk memastikan siapa gerangan dirinya.

Aku terperangah saat kedua tangan kokoh itu tiba-tiba menarik tubuhku ke dalam pelukannya dan menenggelamkan wajahku ke  dada bidang hangat miliknya. Seketika tubuhku membeku. Aku tak bisa bergerak dan jantungku seolah berhenti berdetak. Oksigen di sekitarku kian menipis dan membuat dadaku sesak.

Kenapa mesti datang di saat aku sedang melarikan diri darimu?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top