09

"Sepertinya mama masih betah di Maros."

Aku mulai terbiasa mendengar suara laki-laki itu, Leo. Ia membuatku harus membalik tubuh.

"Maaf, aku tidak tahu kalau kamu datang lagi," ucapnya dengan seulas senyum canggung. "Mau berkeliling? Lagi?" tawar Leo kemudian.

Aku hanya menggeleng. Aku memang tidak langsung masuk kantor untuk mencari tante Lisa, namun malah berdiri di halaman memperhatikan anak-anak yang sedang bermain. Dan laki-laki itu tiba-tiba muncul dari balik punggungku.

"Kapan tante Lisa akan kembali?" Bahkan sampai hari ke lima wanita itu belum juga kembali. Sebenarnya aku tidak terlalu suka menunggu, tapi apa boleh buat?

Bahu Leo mengedik. "Mama tidak memberitahu kapan akan pulang."

Namun, di saat aku berniat hendak angkat kaki dari hadapan Leo, laki-laki itu malah lebih dulu menahan langkahku.

"Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat?" usulnya berhasil membuat kedua alisku bertaut. "Kamu pasti sudah lama tidak berkunjung ke sana. Siapa tahu kamu bisa mengingatku saat melihat tempat itu."

"Memangnya tempat apa itu?"

"Ikut saja denganku," ucapnya masih merahasiakan tempat yang ia maksud. Laki-laki itu menarik tanganku tiba-tiba di saat aku masih diam di tempat untuk berpikir.

Leo menyuruhku untuk masuk ke dalam mobilnya dan meski aku tidak terlalu suka dengan caranya, aku menurut.

"Sebenarnya kita akan ke mana?" Aku menoleh ke arah Leo ketika mobil yang kami tumpangi sedang meluncur dengan tenang di atas aspal. Terus terang aku sangat ingin tahu tempat apa yang tengah kami tuju sekarang.

"Ke sekolah lama kita. Kuharap kamu suka menelusuri jejak masa lalu." Leo menderaikan tawa renyah.

Menelusuri jejak masa lalu? Apa itu berarti aku akan menggali kembali ingatan burukku ketika masih kecil? Di waktu aku harus menatap iri ke arah teman-temanku yang setiap hari diantar jemput oleh orang tua mereka, sementara aku harus pulang bersama Bibi Sati. Apakah ingatan seperti itu yang hendak kutelusuri beberapa saat lagi?

"Kita sudah sampai," beritahu Leo membuyarkan sederet lamunan yang menghuni kepalaku sepanjang perjalanan kami.

Aku tersadar dan ikut turun dari mobil seperti yang Leo lakukan. Tapi, ketika aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, tidak ada bangunan sekolah yang berdiri di salah satu sudut manapun. Hanya ada beberapa rumah dengan pagar besi yang tampak berjajar di sisi jalan dan sebuah bengkel.

Aku menatap curiga ke arah Leo. "Di mana sekolahnya?"

"Itu bekas sekolah kita dulu," tunjuk Leo pada sebuah bengkel motor yang berada tepat di seberang jalan. "Sekolah TK kita dulu berdiri di atas tanah sengketa. Beberapa tahun lalu pemilik tanah itu mengambil kembali haknya. Dan itu hasilnya," urai laki-laki itu seketika mematahkan segenap kecurigaanku padanya.

Diam-diam aku menarik napas lega. Karena aku tidak perlu menelusuri jejak masa lalu di bekas sekolah TK kami dulu seperti kata Leo. Tidak ada yang bisa kuingat sebab tempat itu sudah berubah total.

"Bagaimana kalau kita ke tempat lain?" tawar Leo membangunkan kebisuanku. "Karena kita tidak akan menemukan apapun di sini."

Aku kembali masuk ke dalam mobil seperti yang Leo lakukan. Kupikir di tempat tujuan kami selanjutnya, masih ada sesuatu yang bisa kami temukan di sana. Jejak masa lalu seperti yang Leo katakan.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di tujuan kami yang berikutnya. Kali ini gedung sekolah yang dimaksud Leo masih tampak berdiri di tempat yang sama. Hanya saja banyak renovasi dan tambahan di sana-sini sehingga menjadikan tempat itu sangat jauh berbeda dengan belasan tahun silam.

"Setelah kita lulus dari suatu sekolah, pasti akan banyak perubahan di sekolah itu," tandas Leo setelah kami turun dari atas mobil. Aku sedang sibuk mengamati sekitar dan laki-laki itu menghampiri tempatku berdiri. "Tempat itu sudah berubah sama sekali, bukan?"

"Ya, tapi tak banyak yang bisa kuingat," gumamku tak mengalihkan pandangan dari pintu gerbang sekolah. Dulu tidak ada pintu gerbang di sana, namun secuil ingatanku tertambat di sana. Ketika mama datang menjemputku suatu hari. Aku bahagia saat itu, namun itu adalah hal terakhir yang mama lakukan saat aku bersekolah di sana. Karena setelah hari itu, kami sekeluarga bersama Bibi Sati pindah ke Jakarta.

Tawa renyah Leo membuatku harus menuntaskan lamunan lebih cepat dari yang kuinginkan.

"Apa kamu tidak ingat seorang anak kecil yang menarik pita rambutmu? Dia sangat nakal saat itu, tapi sekarang sudah tidak lagi."

"Apa?" Aku menoleh takjub ke arah Leo. "Jadi, anak nakal itu kamu?" decakku. Aku seperti baru saja menemukan kembali ingatanku setelah mengidap amnesia. Namun, aku tidak bisa mengingat semunya. Hanya beberapa bagian penting saja. Dan seorang anak laki-laki yang menarik pita rambutku dengan paksa adalah salah satu ingatan yang berhasil kutemukan.

"Kamu sudah ingat?" Leo memelototkan sepasang matanya. "Anak nakal itu aku, Beta. Kamu tidak dendam padaku, kan?"

Astaga! Ucapan Leo berhasil membuatku meledakkan tawa. Nyatanya momen menyebalkan semacam itu masih diingatnya.

"Kamu suka kalau aku menyimpan dendam?" balasku usai menuntaskan tawa. Setidaknya aku bersyukur masih punya kenangan lain di sekolah itu. Bukan sekadar jejak masa lalu tentang mama belaka. "Kamu tahu, kamu sangat nakal saat itu. Dan bukan aku saja yang menjadi korbanmu," imbuhku.

"Ya, aku memang nakal saat itu. Mungkin karena aku kurang mendapat perhatian dan kasih sayang mama, makanya aku menjadi seperti itu," ucapnya sembari melepaskan tatapan ke arah halaman sekolah yang dipadati anak-anak berseragam putih-merah hati. Jam istirahat baru saja dimulai beberapa detik yang lalu.

"Benarkah?" gumamku terkejut. Jadi, bukan aku saja yang merasa ditelantarkan saat kecil.

"Mama selalu sibuk bekerja saat itu." Leo menoleh. "Sebenarnya aku tidak bisa melimpahkan segenap kesalahan pada mama karena dia harus mencari nafkah demi aku. Bukan salah mama kalau dia ikut membantu papa bekerja. Aku saja yang belum paham keadaan," lanjutnya kemudian. Namun, justru kalimat-kalimatnya membuatku harus merenung kembali.

Apa aku terlalu egois dengan terus-menerus menuntut perhatian dan kasih sayang dari mama kala itu? Sedangkan ia sibuk bekerja demi memenuhi segala kebutuhan aku dan Kak Alfa yang meningkat dari waktu ke waktu. Mama pasti berjuang untuk kebahagiaan kami saat itu, sementara aku sama dengan Leo, belum paham akan keadaan. Aku menghimpun segenap kekurangan mama sepanjang umurku dan tidak pernah memandang kondisi dari sudut pandangnya.

"Sudah berapa banyak yang kamu ingat?"

Aku tergeragap dan menyadari kedua mataku memanas, bukan karena cuaca terik siang, namun karena sesuatu yang lain.

"Oh," Aku mengambil napas dalam-dalam demi menyamarkan raut wajahku yang mengalami perubahan drastis. "hanya beberapa bagian saja yang kuingat. Selebihnya aku tidak berhasil menemukan apapun," lanjutku.

"It's ok. Otak kita masih dalam tahap berkembang saat itu, jadi mungkin tak banyak ingatan yang tersimpan," tandasnya. "Mau pulang sekarang? Atau kamu ingin makan sesuatu?"

Aku mengambil opsi yang pertama. Pulang. Masih banyak hal yang harus kupikirkan kembali. Terutama tentang mama.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top