08
Prang!
Gelas kaca yang beberapa saat lalu masih ada dalam genggamanku, kini sudah berpindah ke atas lantai dan sempat menimbulkan suara berisik. Namun, sekarang benda itu sudah berubah menjadi kepingan-kepingan kecil berujung tajam dan berserakan di dekat kakiku.
Aku masih bergeming dengan tangan mengambang di udara demi mengumpulkan segenap kesadaran yang ikut tercecer bersama pecahan-pecahan gelas itu. Ada apa denganku? Sudah tak waraskah diriku?
"Non Beta!?"
Bibi Sati mendekat beberapa detik kemudian. Suara kagetnya berhasil membuatku benar-benar tersadar dari lamunan panjang yang terus menggayuti pikiranku sejak tadi.
"Biar Bibi yang bersihkan," tawar wanita tua itu sembari memperhatikan pecahan-pecahan gelas di dekat kakiku. "Hati-hati, Non. Jangan bergerak dulu," ucapnya seraya meraih gagang sapu.
Aku masih terdiam selama menunggu Bibi Sati membersihkan kekacauan yang baru saja kubuat.
"Non Beta ke kamar saja, biar Bibi yang lanjutkan." Bibi Sati datang lagi ke hadapanku setelah membuang pecahan gelas itu ke dalam tempat sampah.
"Maaf, Bi," ucapku penuh penyesalan. Sebenarnya aku hanya ingin meringankan pekerjaan Bibi Sati mencuci piring dan gelas yang kotor. Namun, apa yang sudah kubuat? Aku sukses memecahkan sebuah gelas. Mungkin besok piring.
"Tidak apa-apa, Non."
Aku melangkah gontai ke kamar dan meninggalkan beberapa buah piring dan gelas kotor di atas wastafel untuk dicuci Bibi Sati. Sejak kecil aku memang tak pernah melakukan pekerjaan rumah semacam itu, tapi bukan berarti aku tak bisa melakukannya. Hanya saja saat melakukannya tadi pikiranku entah melayang ke mana. Konsentrasiku pecah berhamburan tak tentu arah.
"Non Beta sakit?"
Entah sudah berapa lama aku duduk terdiam di tepian tempat tidur saat Bibi Sati menegur dan menyeruak masuk ke dalam kamarku. Wanita itu datang dengan membawa sebuah cangkir yang menguarkan aroma pahit kopi.
"Tidak, Bi. Aku baik-baik saja."
Bibi Sati meletakkan cangkir kopi ke atas meja lalu mengambil tempat duduk di sebelah tubuhku.
"Bibi lihat Non Beta tidak seperti biasanya. Ada apa?" tanya wanita tua itu penuh selidik. Tatap matanya menelusuri seluruh wajahku dengan curiga.
Aku menggeleng kuat-kuat. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mengganggu pikiranku. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Jenny semalam lewat telepon atau masalah yayasan milik mama. Kedua-duanya terus bergantian melintas di kepalaku. Jadi, sesungguhnya apa yang lebih mengganggu pikiranku?
"Aku bingung, Bi."
"Soal yayasan itu?"
Itu salah satunya, batinku.
"Aku harus bagaimana, Bi? Tante Lisa sudah memberiku berkas-berkas kepemilikan yayasan itu, tapi aku ..." Rasanya ada sesuatu yang memaksaku untuk tidak menerimanya, batinku menambahi. "apa aku pantas untuk menerimanya sementara yayasan itu milik mama yang dirahasiakannya dari kita?"
"Tapi, nyonya sudah pergi, Non."
Aku menghela napas panjang. Tidak diingatkan pun aku tahu. Mama sudah pergi untuk selamanya.
"Aku tahu."
"Bibi rasa tidak ada salahnya Non Beta menerima berkas-berkas itu. Lagipula Non Beta adalah ahli waris nyonya, jadi Non Beta berhak atas yayasan itu."
Ucapan Bibi Sati dan tante Lisa sama benarnya. Tapi, masalahnya adalah hati kecilku menolak untuk menerima berkas-berkas kepemilikan yayasan itu.
"Apa hanya itu saja yang membuat Non Beta melamun seharian ini?"
Aku terenyak dan menelengkan kepala ke samping. Aku mendapati tatapan penuh curiga Bibi Sati jatuh tepat ke wajahku.
"Maksud Bibi?" Keningku terasa berlipat-lipat saat ini. Aku tidak mengerti apa yang wanita tua itu pikirkan tentangku.
"Apa ada hal lain yang Non Beta pikirkan?"
Sampai-sampai aku memecahkan gelas, begitu? sambungku dalam hati. Mungkin aku tampak aneh karena itu adalah gelas pertama yang kupecahkan seumur hidup. Karena aku memang hampir tak pernah mencuci peralatan makan sejak kecil. Bibi Sati yang selalu melakukannya.
"Memangnya apa yang mesti kupikirkan sekarang?" Aku malah balik bertanya padanya.
"Apa Non Beta tidak merindukan Mas Darren?"
Aku langsung membeku mendapat pertanyaan Bibi Sati yang lebih mirip sebuah kejutan untuk jantungku.
Aku merindukan Darren?
"Kami akan bercerai, Bi." Aku memilih untuk membuang pandangan ke arah lain daripada harus menatap kedua mata Bibi Sati yang terus mengintimidasi. "Itu lebih baik bagi kami."
"Tapi Bibi rasa Mas Darren mencintai Non Beta."
"Bi." Aku terpaksa menatap wajah renta yang dipenuhi kerut-kerut halus itu. Aku menyayangi Bibi Sati, namun aku harus menentang sepasang matanya yang seolah ingin merasuki pikiranku dan membaca situasi di sana. "Bibi sendiri tahu bagaimana dinginnya rumah tangga kami selama ini."
"Tapi, waktu itu Mas Darren tidak ingin Non Beta pergi."
"Dia hanya kasihan padaku, Bi. Lagipula mama Darren tidak ingin punya menantu sepertiku. Apa Bibi paham?" Aku menatap Bibi Sati jengah. "Aku tidak suka membicarakan tentang dia." Aku mengalihkan tatapan ke sudut lain karena tak ingin melukai wajah renta itu dengan kedua mataku.
"Maafkan Bibi kalau sudah menyinggung perasaan Non Beta. Bibi hanya ingin melihat Non Beta bahagia." Wanita tua itu tampak menyesal sudah mengangkat topik pembicaraan tentang Darren kali ini.
Hidup berkecukupan mungkin sudah cukup bagiku. Dan tentang kebahagiaan, kupikir hanya orang-orang beruntung yang bisa mengecapnya.
"Aku ingin tidur," ucapku sembari menaikkan kedua kakiku ke atas tempat tidur. Tak peduli tatapan aneh dari sepasang mata Bibi Sati yang menyorot padaku. Jam dua siang sudah lewat saat aku menarik sebuah guling kepelukanku.
"Bibi keluar dulu."
Aku tak menyahut. Aku bahkan tak menyentuh cangkir kopi yang dibawanya beberapa menit lalu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top