07

"Kamu jahat, Be! Kenapa kamu pergi tanpa memberitahuku? Kamu juga mengganti nomor telepon. Kamu tahu, aku harus mengemis pada Kak Alfa hanya untuk meminta nomor teleponmu. Ada apa sebenarnya denganmu, hah?"

Mendengar serentet omelan dari bibir Jenny di ujung telepon justru membuatku ingin sekali memeluk sahabatku itu.

"Maafkan aku, Jen," lirihku. "Aku belum sempat meneleponmu."

"Aku tahu kamu sedang banyak masalah, tapi apa harus main kabur-kaburan seperti ini? Kamu bukan anak kecil lagi, Be." Nada suara Jenny memelan usai terdengar embusan napas berat. "Setiap kamu ada masalah, kamu bisa membaginya denganku. Kamu tahu artinya sahabat, kan?"

Aku tahu, batinku. Tapi, sayangnya aku tidak suka membagi kesedihan dan membebani orang lain dengan cerita hidupku.

"Aku baik-baik saja," cetusku kemudian. Suaraku terdengar tegar dan tak bergetar sama sekali. "Aku hanya butuh udara segar dan suasana baru, Jen. Kamu tidak perlu khawatir."

"Ya ampun, Be. Bagaimana aku bisa tidak khawatir setelah semua yang terjadi?"

"Aku baik-baik saja, Jen. Sungguh ..." Ternyata susah untuk meyakinkan wanita itu kalau aku baik-baik saja. Jenny saja yang terlalu mencemaskanku.

"Lalu bagaimana dengan Darren? Apa kamu sengaja pergi untuk mengakhiri kisah kalian?"

Aku bergeming mendengar pertanyaan Jenny. Aku memang pernah mengatakan padanya bahwa suatu hari nanti aku akan mengakhiri kisahku dengan Darren.

"Tidak ada gunanya mempertahankan pernikahan tanpa cinta, Jen," ujarku.

"Lalu apa kamu bahagia setelah pergi meninggalkannya?"

Memang tidak. Tapi, setidaknya beban di pundakku bisa kutanggung sendirian. Darren tak perlu ikut memikulnya.

"Aku merasa jauh lebih baik sekarang," tandasku percaya diri. Aku juga akan mencari kebahagiaan sendiri.

"Dan Darren? Apa dia juga bahagia setelah kalian berpisah? Apa dia juga merasa jauh lebih baik sekarang?"

Bibirku membeku. Otakku pun serupa. Aku tak punya jawaban untuk dilontarkan pada wanita itu. Aku tidak tahu apa yang dirasakan Darren sekarang.

"Be." Suara Jenny terdengar kembali saat kepalaku seolah berputar karena dipenuhi dengan pikiran tentang Darren. "Jalan pintas untuk lari dari masalah adalah pergi sejauh-jauhnya. Tapi, apa itu akan benar-benar menyelesaikan masalah?"

Aku masih diam. Jenny tidak tahu apa-apa tentang mama Darren yang ingin kami bercerai.
"Aku dan Darren akan bercerai, Jen," ucapku akhirnya. Menyimpannya sendirian hanya akan menjadi beban batin untukku. Toh, semua orang akan tahu kalau aku dan Darren sudah bercerai nantinya. Paling tidak aku memberitahu Jenny terlebih dahulu agar ia tidak syok dengan berita perceraianku dengan Darren.

"Apa?!"

"Aku sudah mengatakan akan mengakhirinya, kan?"

"Tapi, Be ..." Kudengar Jenny mengambil napas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kamu menyukai Darren, kan? Aku tahu kamu menyukainya. Tapi kenapa kalian akan bercerai?"

"Dari awal kami dijodohkan, Jen." Jenny tahu hal itu. Dan aku hanya mengingatkan barangkali ia lupa. "Pernikahan kami berlandaskan kesepakatan dan bukan cinta. Untuk apa diteruskan kalau hanya akan membuat kami menderita? Lagipula mama ..." Aku tidak mau meneruskan kalimatku lagi. Toh, Jenny sudah tahu kelanjutannya. Tapi, aku tidak akan mengungkit soal ucapan mama Darren yang sampai sekarang masih kuingat sebagai ribuan jarum berkarat menusuk hatiku. Cukup aku saja yang merasakan sakitnya hinaan itu.

"Kenapa kamu tidak mencoba untuk berjuang sedikit saja demi Darren, Be? Kulihat dia sangat perhatian padamu saat di rumah sakit."

Jadi, Jenny melihat kami hari itu?

"Kurasa dia melakukan itu hanya karena kasihan. Siapa yang bisa menjamin kalau dia menyukaiku?" tandasku.

"Bagaimana kalau dia melakukan itu karena menyukaimu?"

Aku tersenyum getir usai mendengar pengandaian yang dilontarkan Jenny. Yeah, andai saja itu benar. Setidaknya di dunia ini ada yang menyukai diriku dan segala keegoisan yang berkembang di dalam pikiranku. Tapi, bagaimana jika rasa suka itu hanya didasari rasa kasihan? Melihat kisah hidupku yang kurang membahagiakan, aku memang pantas untuk dikasihani. Namun, aku bukan tipe orang yang suka dikasihani.

"Darren hanya kasihan padaku," tegasku. "Dia tidak bertanya padamu tentang aku, kan?"

"Tidak. Mungkin belum."

"Biarkan kami menentukan jalan hidup sendiri-sendiri, Jen," tandasku sesaat kemudian. "Aku juga tidak mau membebani Darren dan keluarganya. Cukup keluargaku saja yang hancur, jangan keluarga Darren juga. Nama baik tidak bisa dibeli, bukan?"

"Jadi, perceraian itu idemu?" tanya Jenny langsung menohokku. "Aku sama sekali tidak habis pikir dengan jalan pikiran kamu, Be. Harusnya kamu mencari tahu bagaimana perasaan Darren sebenarnya padamu. Bukannya malah kabur setelah memutuskan untuk bercerai tanpa tahu perasaan Darren yang sesungguhnya. Tentang mama dan papamu, kurasa itu urusan mereka. Kamu sama sekali tidak bersalah atas apa yang menimpa diri mereka. Kamu tidak perlu bertanggung jawab sampai harus melakukan semua ini, Be."

Aku menelan ludah. Haruskah aku meluruskan salah paham ini? Atau aku akan membiarkan Jenny dengan dugaan salahnya?

"Ini terlalu sulit buatku, Jen." Rasanya aku ingin memuntahkan segenap keluh kesah yang mendera hati dan pikiranku. Namun, bibirku tidak bisa sembarangan bicara meski pada sahabat terbaikku sekalipun. "Kurasa aku butuh waktu untuk menenangkan diri," ucapku akhirnya.

"Kamu hanya perlu bicara dengan Darren untuk menyelesaikan masalah kalian berdua, Be. Kalau kamu kabur hanya karena tidak ingin membebani Darren dan keluarganya, kurasa pemikiran seperti itu terlalu sempit. Siapa tahu Darren masih ingin bersamamu. Keluarganya juga mungkin menerima kamu setelah semua yang terjadi. Who knows?"

Tidak, Jen. Kepalaku menggeleng pelan meski tahu Jenny tidak bisa melihatku sekarang. Justru mama Darren yang menginginkan semua ini. Batinku terus berbicara, namun bibirku memilih untuk tetap bungkam.

"Aku akan memikirkannya lagi," ucapku tak serius, sekadar ingin menenangkan hati Jenny. Agar ia tidak terus-terusan menohokku dengan petuah-petuah bijaknya. "Tapi, untuk saat ini aku hanya ingin sendiri. Aku sudah mengatakan kalau aku butuh udara segar untuk menjernihkan pikiran, kan?"

"Yes, maybe you need it," tukas Jenny. "Apa kamu akan kembali setelah pikiranmu jernih?"

Aku tidak bisa berjanji untuk itu, sahutku dalam hati. Kepergianku ke Makassar memang terkesan mendadak, namun aku tidak berencana untuk kembali ke Jakarta.

"Aku merindukanmu, Be."

Aku menghela napas panjang. Satu-satunya teman dekat Jenny adalah aku, begitu juga aku. Meski kami memiliki segudang kesibukan, tapi kami selalu meluangkan waktu untuk berkomunikasi atau sekadar makan wafel berdua.

"Aku juga."

"Aku akan mentraktirmu wafel kalau kamu kembali nanti."

Aku tertawa mendengar penawaran Jenny yang lumayan menggiurkan.

"Aku akan pegang janjimu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top