05

Yayasan sekolah PAUD dan TK 'Nadya Beta' terbagi dalam tiga kelas. Satu kelas PAUD, satu kelas TK A, dan satu kelas TK B dengan jumlah murid tak kurang dari 40 anak tiap kelas. Ada delapan guru yang mengajar di sana dan semuanya adalah lulusan universitas terbaik di Makassar.

Bangunan gedung sekolah masih tampak baru meski sudah berusia lima tahun. Ubin yang menutupi lantai tampak bersih dan mengilat. Pada sebagian dinding luar gedung sengaja diberi gambar berbagai macam karakter kartun kesukaan anak-anak. Sementara itu di sudut halaman terdapat sebuah taman bunga yang dikelilingi dengan bebatuan kecil yang dicat warna-warni. Beberapa jenis tanaman dan bunga tumbuh dengan baik di dalamnya. Sedangkan di sudut lain terdapat sebuah taman bermain. Anak-anak bisa menghabiskan waktu istirahatnya sembari bermain ayunan di sana.

Sepertinya mama membangun tempat itu dengan sepenuh hati. Dan harus kuakui jika ia telah berhasil membuatku takjub dengan apa yang sudah dikerjakannya. Tapi, tetap saja aku masih enggan untuk mengambil alih tempat ini meski di atas kertas aku adalah pemiliknya.

Suara riuh anak-anak dan derap sepatu mereka membuatku terpaksa harus menghentikan langkah dan mengalihkan tatapan dari halaman sekolah. Tampaknya waktu belajar anak-anak itu telah berakhir. Namun, pemandangan yang terhampar di depan sana justru membekukan kedua kakiku.

Anak-anak kecil itu tampak bersuka cita saat berhamburan keluar dari kelas masing-masing, sementara para ibu sudah siap menyambut putra-putri mereka dengan pelukan hangat dan senyum terkembang di bibir. Sebuah ikatan antara ibu dan anak yang terjalin penuh kasih sayang dan tak tergantikan oleh apapun juga di dunia ini. Dan pemandangan semacam itu justru membuat dadaku tiba-tiba terasa nyeri. Kedua mataku juga memanas tanpa bisa kukendalikan.

Aku sadar, masa kecil tak akan pernah bisa terulang kembali dan aku sama sekali tak memiliki kenangan indah apapun kala itu bersama mama. Masa kecilku berbeda. Namun, kenapa hanya dengan melihat pemandangan seperti itu saja membuatku ingin menangis?

Betapa cengengnya diriku!

"Hei, kamu datang?"

Teguran lancang itu berhasil merusak suasana dan membuatku harus mengembuskan napas kesal. Seketika keharuan di dalam dadaku buyar begitu mendengar suaranya.

Dengan gerak refleks aku memutar tubuh dan menemukan laki-laki itu sudah berdiri di depan tubuhku. Nyaris tak ada yang berubah darinya. Ia masih sama seperti kemarin saat bertandang ke rumahku untuk menyerahkan berkas-berkas kepemilikan yayasan.

"Aku mencari tante Lisa," ucapku datar. Tapi, sayangnya aku tak bisa menemukan wanita itu di kantor tata usaha beberapa menit yang lalu. Seseorang memberitahuku jika ia belum kembali dari luar kota.

"Mama belum kembali, mungkin dua atau tiga hari lagi."

"Aku tahu." Seseorang yang kutemui di kantor tata usaha juga mengatakan hal yang sama, namun ia tak menyebutkan keperluan tante Lisa pergi ke Maros. "Aku akan datang lagi kapan-kapan."

"Kamu tidak mengingatku?"

Pertanyaan laki-laki itu berhasil menahan pergerakan kakiku yang hendak terayun pergi dari atas lantai koridor. Apa aku mengenalnya? batinku seraya balas menatapnya.

Kepalaku menggeleng pelan. Mungkin aku pernah memiliki teman di Makassar saat aku masih kecil mengingat aku lahir dan tumbuh di tempat ini, tapi mana mungkin aku bisa mengenali wajah mereka setelah puluhan tahun berlalu?

"Apa dulu kita satu sekolah?"

"Ya." Laki-laki itu mengangguk dengan penuh keyakinan. "Kita pernah satu kelas saat TK dan SD. Tapi, waktu naik kelas tiga kamu pindah ke Jakarta. Itu sudah lama sekali, jadi wajar kalau kamu tidak ingat," ujarnya seraya mengembangkan senyum.

"Mungkin," gumamku. Memang benar tante Lisa adalah sahabat mama, tapi aku tak selalu berjumpa dengannya saat berkunjung ke Makassar. Apalagi bertemu dengan putranya.

"Aku Leo." Laki-laki itu mengulurkan tangan kanannya ke hadapanku sambil menyebut sebuah nama. "Selamat bertemu lagi, Beta."

Leo? batinku seraya meraih jabat tangan laki-laki itu meski rasa ragu menggayut di hatiku. Entahlah, aku mungkin tak bisa mengingat pernah memiliki teman masa kecil bernama Leo. Tapi, kurasa dia benar. Kami berteman saat kecil.

"Kamu sudah ingat padaku?" sentaknya membuatku tersadar untuk segera mengakhiri acara jabat tangan kami.

"Entahlah, aku tidak terlalu ingat," ucapku sambil tersenyum bodoh. Kupikir ingatan masa kecilku hanya terfokus pada mama.

Leo tergelak mendengar pengakuan konyolku. Dan beberapa detik kemudian kami telah menempati bangku kayu panjang yang pernah kududuki bersama tante Lisa beberapa hari yang lalu. Tempat itu berangsur sepi. Hanya sebagian kecil anak-anak yang masih bertahan di sana karena harus menunggu jemputan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top